SHALAT KHUSYU YANG MENGHAPUS DOSA (kajian Hadits)
SHALAT KHUSYU YANG MENGHAPUS DOSA
A. Teks hadits yang Dikaji
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَحَجَّاجُ بْنُ الشَّاعِرِ كِلَاهُمَا عَنْ أَبِي الْوَلِيدِ قَالَ عَبْدٌ حَدَّثَنِي أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَبِيهِ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ عُثْمَانَ فَدَعَا بِطَهُورٍ فَقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلَاةٌ مَكْتُوبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا إِلَّا كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنْ الذُّنُوبِ مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ
Abd bin Humaid dan Hajjaj bin al-Sya’ir telah menyampaikan hadits pada kami. Mereka menerima hadits dari Abi al-Walid. Ishaq bin Sa’id bin Amr bin sa’id bin al-Ash telah menyampaikan hadits pada kami. Dia mengatakan menerima hadits dari ayahnya yang mengatakan: Ketika saya berada dekat Utsman, kemudian hendak bersuci. Utsman bin Affan, menerangkan: Saya mendengar Rasul SAW bersabda: Setiap muslim yang tatkala tiba waktu shalat wajib, segera wudlu dengan sesempurna mungkin, menyempurnakan khusyu sesempurna mungkin, menyempurnakan rakaatnya, niscara terhapus sebagian dosanya, selama tidak melakukan dosa beasar. Begitulah keadaannya sepanjang tahun. Hr. Muslim (206-261)[1] Hadits ini diriwayatkan pula oleh al-Nasa`iy (215-303H), Ibn Hibban (270-354), al-Bayhaqi (384-458).[2]
B. Sekilas Sanad Hadits
1. حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ (kata imam Muslim): Abd bin Humaid telah menyampaikan hadits kepada kami. Abd ialah Abd al-Hamid bin humaid bin Nashr, dijuluki Abu Muhammad Abd. Ia lahir di Khims dan wafat di Karbala tahun 249H, sebagai murid atba al-Tabi’in. Guru Imam Muslim.
2. وَحَجَّاجُ بْنُ الشَّاعِرِ dan Hajaj bin al-Sya’ir. Ia bernama Hajaj bin Yusuf bin Hajaj al-Tsaqafi, dijuluki Abu Muhammad ibn al-Sya’ir, wafat di Bagdad tahun 259H, sebagai al-Wustha min tabi al-Atba, guru imam Muslim.
3. كِلَاهُمَا keduanya
Kalimat ini mengisyaratkan bahwa Imam Muslim menerima hadits dari kedua gurunya itu menggunakan mata rantai yang sama.
4. عَنْ أَبِي الْوَلِيدِ dari Abi al-Walid
Abd maupun Hajaj menerima hadits ini dari Abi al-Walid. Ia bernama Hisyam bin Abd al-Malik al-Thayalisi al-Bahili. Wafat di Bashrah tahun 227 sebagai الصُّغْرَى مِن الأتْبَاع (murid kecil tabi’in), ia di masa kecil bertemu Tabi’in.
5. قَالَ عَبْدٌ حَدَّثَنِي أَبُو الْوَلِيدِ (kata Abd al-Hamid; Abu al-Walid menyampaikan hadits padaku). Kalimat ini dikemukakan oleh Hajaj Muslim untuk menegaskan bahwa Abd menerima hadits dari Abu al-Walid secara langsung.
6. حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِ telah menyampaikan hadits pada kami, Ishaq bin Sa’id bin Amr bin Sa’id bin al-‘Ash. Dia keturunan Umayah, sebagai كبار الأتبَاع (murid besar tabi’in), bertemu dengan tabi’in hingga dewasa, wafat di Kufah tahun 170H.
7. حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَبِيهِ ayahku telah menyampaikan hadits padaku dari ayahnya. Ayahnya itu bernama Sa’id bin Amr bin Sa’id al-Ash yang dijuluki Abu Utsman.
8. قَالَ كُنْتُ عِنْدَ عُثْمَانَ فَدَعَا بِطَهُورٍ (Ayah Sa’id) berkata: ketika aku berada di sisi Utsman, ia minta alat bersuci. Ayah Sa’id itu bernama Amr bin sa’id bin al-Ash, dijuluki Abu Umayah, termasuk Tabi’in, karena bertemu dengan shahabat hingga usia pertengahan.
9. فَقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ(Utsman) berkata: Saya mendengar Rasul SAW bersabda.
Dia ialah Utsman bin Affan (46sH-35H), shahabat, Khalifah ketiga (22H-44H), menaklukan Afrika dan Syiprus, menantu Rasul, penulis Mushahaf al-Qur`an yang dijadikan setandar.
C. Syarah Hadits
1. مَا مِنْ امْرِئٍ مُسْلِمٍ tidak ada dari seorang muslim pun.
Kalimat nafy (menyangkal), yang dirangkaikan dengan kata إِلاَّ (kecuali) sebagai jawabnya berfungsi untuk menentukan secara keseluruhan tanpa kecuali. Pekataan مَا berarti tidak, dan إِلاَّ berarti kecuali, maka ma’naya tanpa kecuali, atau seluruhnya.
2. تَحْضُرُهُ صَلَاةٌ مَكْتُوبَةٌhadir padanya waktu shalat fardlu
Perkataan تَحْضُر berasal dari حَضَر- يَحْضُرُ berma’na hadir, tiba, datang. صَلاةُ مَكْتوُبَة shalat yang termakstub, tertulis atau diwajibkan yaitu yang lima waktu. Al-Munawi berkomentar sebagai berikut:
تَحْضُرُه صَلاةٌ مَكْتُوْبة أي يَدْخُلُ وَقْتها وَهُو مِن أهل الوُجُوب قال القاضِي المَكْتُوبة المَفْرُوضة مِن كتب كتابا إذ فرض وهُوَ مَجَاز مِن الكِتابَة فإن الحَاكِم إذا كَتَب شَيْئا عَلىَ أحَدٍ كَان ذلِك حُكْمًا وإلزَامًا
Kalimat تحضره صلاة مكتوبة berma’na tiba waktu shalat yang difardukan. Al-Qadli menafsirkan المكتوبة (termaktub) dengan المفروضة (yang difardukan), berasal dari kata كتب كتابا merupakan kata kiasan dari tertulis, karena hakim jika menuliskan keputusan untuk seseorang sesuatu, berarti kewajiban atau kemestian.[3]
4. فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَاmenyempurnakan wudlu dengan sebaik-baiknya
Kalimat ini menunjukkan bahwa ibadah itu selain berfungsi ritual pada Allah SWT, juga sebagai penghapus dosa. Menurut Al-Zarqani (w.1122H), setiap ibadah yang dilakukan dapat menghapus kesalahan. Ini merupakan bukti karunia dan kemurahan Allah SWT untuk hamba-Nya. [4] Berwudlu yang baik dan sempurna adalah yang memenuhi segala ketentuan berdasar apa yang telah ditetapkan Rasul SAW. Perhatikan hadits berikut.
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ عَطَاءَ بْنَ يَزِيدَ اللَّيْثِيَّ أَخْبَرَهُ أَنَّ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ أَخْبَرَهُ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا
Dari Ibn Shihab, Atha bin Yazid al-Laitsi menerangkan bahwa Hamran Mawla Utsman meriwayatkan. Utsman bin Affan minta air, dan berwudlu sebagai berikut: (1) mencuci telapak tangan tiga kali, (2) berkumur disertai menghirup air ke hidung dan mengelaurkannya, (3) mencuci muka tiga kali, (4) mencuci tangan kanan hingga sikut tiga kali, (5) mencuci tangan kiri seperti pada tangan kanan, (6) menyapu kepala (dalam riwayat lain, berlanjut ke telinga), (7) mencuci kaki kanan hinga mata kaki, tiga kali, (8) mencuci kaki kiri seperti pada kaki kanan . Hr. Muslim.[5]
5. وَخُشُوعَهَاdan kekhusyuannya
Kalimat ini tidak terpisahkan dengan yang sebelumnya, maka ma’nanya adalah وَيُحْسِنُ خُشُوعَهَا menyempurnakan kekhusyuannya dengan sebaik-baiknya. Kekhusyuan merupakan tiang kesempurnaan shalat.[6]
Menurut al-Damaghani, perkataan khusyu yang tercantum dalam al-Qur`an mengandung beberapa ma’na antara lain ialah (1) التواضع tawadlu, merendah kepada Allah SWT., sebagaimana yang tercantum pada Qs.2:45, (2) الخوف khauf (takut, cemas) seprti pada Qs.21:90, (3)سُكُون الجَوارح merunddukan jiwa raga, seperti pada Qs.23:2, (4) التذلُّل merasa hina, dan tuduk seperti yang tercantum pada Qs.20:108. [7]
Pada Qs.2:45 ditegaskan bahwa mohon pertolongan kepada Allah dengan shabar dan shalat itu لَكَبِيرَةٌ (sungguh amat berat) إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ kecuali bagi yang khusyu. Dengan demikian hanya yang khusyu yang dapat melakukannya secara baik dan ringan. Kemudian pada ayat selanjutnya dijelaskan bahwa yang khusyu itu adalah الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.Qs.2:46. Al-Jaza`iri menjelaskan, Khusyu adalah حُضُور القَلْب وسكُون الجَوارح menghadirkan hati dan memusatkan anggota badan. Pada konteks ini berma’na الْخُضُوْع ِلله وَالطَّاعَة ِلأَمْرِه وَنَهْيِه tunduk dan patuh kepada Allah dengan mematuhi segala perintahnya dan menjauhi yang dilarang-Nya.[8] Dengan demikian, shalat khusyu itu mencakup dua aspek: (1) dalam pelaksanaannya dengan memusatkan perhatian rasa, rasio, dan raga pada ritual shalat sesuai dengan apa yang diperaktikan oleh Rasul SAW yang dilihat oleh shahabatnya, (2) dalam kehidupan sosial dengan manifestasikan ma’na dan nilai yang terkandung di dalamnya pada amal di luar shalat. Adapun manifestasi shalat paling utama, ditegaskan firman Allah SWT:
أَقِمِ الصَّلاة إنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَر
Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar. Qs.29:45
Dengan demikian shalat itu baru bisa dinilai khusyu apabila ada dampak pada pencegahan diri dari perbuatan jahat dan munkar. Semua itu didasari pada keyakinan akan bertemu dengan Allah dan akan kembali kepada-Nya (Qs.2:46). Dengan demikian, khusyu dalam shalat termenifestasi dalam keimanan akan hari akhir, serta mempersiapkan diri menghadapi hari depan yang lebih baik, serta siap mempertanggung jawabkan apa yang diperbutan selama hidup didunia.
6. وَرُكُوعَهَا dan raka’atnya
Ma’na kalimat ini adalah وَيُحْسِن رُكُوعَهَا menyempurnakan raka’atnya dengan sebaik-baiknya. Menurut Al-Munawi, istilah رُكُوع mencakup segala perbuatan shalat, baik syarat, rukun, wajib maupun sunatnya. [9] Satu ruku atau satu rak’at mencakup mulai takbir, bacaan, ruku’, I’tidal, sujud dan duduk antara dua sujud. Adapun kesempurnaan shalat secara ritual tergambar pada hadits berikut:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ketika Rasul SAW sedang duduk di masjid, seorang laki-laki masuk dan melaksanakan Shalat. Laki-laki itu menyampaikan salam, dan Rasul SAW menjawabnya وَعَلَيْكَ السَّلَامُ فَارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ. Wa alaik al-Salam, ulangilah shalatmu! Kamu belum shalat! Setelah laki-laki itu shalat lagi, Rasul tetap menyuruhnya lagi shalat hingga dua atau tiga kali. Lalu laki-laki itu berkata: عَلِّمْنِي يَا رَسُولَ اللَّهِ tolong ya Rasul! ajarkanlah padaku cara shalat yang benar! Kemudian Rasul SAW bersabada:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا
Jika kamu hendak shalat sempurnakanlah wudlu, kemudian menghadaplah ke qiblat, kemudian takbir. Bacalah apa yang mudah dari al-Qur`an, ruku’lah hingga tumaninah, berdirilah hingga tegak seimbang, sujudlah hingga tumaninah, bangiunlah dari sujud hingga duduk yang tumaninah. Kemudian lakukan apa yang tersebut tadi itu pada setiap ra’akaat dalam shalat. Hr. Ahmad (164-241H), al-Bukhari (194H-256H), Muslim (206H-261H), Abu Dawud (202-275H), al-Turmudzi (209-279), al-Nasa’iy (215-303H).[10]
7. إِلَّا كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنْ الذُّنُوبِkecuali ada baginya penghapus dosa sebelumnya.
Perkataan إِلاَّ di sini merupakan sambungan dari pangkal kalimat yaitu huruf مَا (tidak). Oleh karena itu bila disambungkan, ma’nanya menjadi tidak ada kecuali, tanpa kecuali, atau seluruhnya. كَانَتْ كَفَّارَةً ada baginya penghapus لِمَا قَبْلَهَا yang sebelumnya مِنْ الذُّنُوبِ dari dosa. Dengan demikian bisa difahami bahwa shalat bisa menghapus dosa yang diperbuat sebelumnya. Shalat zhuhur sebagai penghapus dosa yang dilakukan antara shubuh dan zhuhur. Shalat ashar sebagai penghapus dosa yang dilakukan setelah zhuhur. Kata al-Nawawi (631-676H), wudlu dan shalat khusyu merupakan sebagian dari ibadah penghapus dosa dan yang lainnya pun banyak seperti jum’at, shaum, umrah.[11] Perkataan مِن pada kalimat مِنْ الذُّنُوبِ berma’na sebagian, karena tidak semua dosa bisa dihapus begitu saja dengan suatu ibadah. Dosa terdiri atas beberapa macam, ada yang baru bisa diampuni bila melalui taubat, ada yang mesti menjalani hukuman, ada pula yang diampuni melalui ibadah.
8. مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً yang tidak melakukan dosa besar.
Kalimat ini bisa difahami dua ma’na (1) selama tidak melakukan perbuatan dosa besar, (2) kalau bukan dosa besar. Ma’na yang pertama mengandung implikasi bahwa ibadah bisa menghapus dosa kecil, sepanjang dosa besar ditinggalkan. Ma’na kedua mengandung implikasi bahwa dosa itu bisa diampuni oleh ibadah tertentu, kecuali yang termasuk dosa besar.
Al-Mubarakfuri (1283-1353) menafsirkan kalimat ini sebagai berikut:
معناه إن الذنوب كلها تغفر إلا الكبائر فإنها لا تغفر وليس المراد أن الذنوب تغفر ما لم تكن كبيرة
Ma’nanya ialah sesungguhnya segala dosa itu dapat diampuni dengan ibadah tertentu, kecuali dosa-dosa besar. Dosa besar tidak bisa diampuni secara otomatis, karena mesti melalui proses. Bukan berarti segala dosa kecil bisa diampuni selama tidak melakukan dosa yang besar. [12]
9. وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُitulah berlaku sepanjang tahun
Kalimat ini menunjukkan bahwa pengampunan dosa dengan ibadah itu berlaku sepanjang jaman. Hal ini berlaku bagi dosa kecil, tidak mencakup dosa besar. al-Nawawi menandaskan bahwa dosa besar hanya dapat diampuni melalui taubat, atau hanya atas kebijaksanaan Allah SWT.[13]
D. Beberapa Ibrah
1. Essensi hadits
Berdasar hadits ini ibadah yang dapat menghapus dosa ialah (1) تَحْضُرُهُ صَلَاةٌ مَكْتُوبَةٌ shalat yang dilakukan tepat waktu, (2) فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا melakukan wudlu dengan sempurna, (3) وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا meningkatkan kekhusyuan, (4) مَا لَمْ يُؤْتِ كَبِيرَةً menjauhi dosa besar.
2. Mewujudkan Shalat Khusyu
Berdasar ayat, hadits, dan pandangan ulama, khusyu itu mempunyai arti tunduk dan patuh kepada segala aturan Allah SWT dan Rasul-Nya. Tidak ditemukan pengertian khusyu sebagai cara melakukan sesuatu ritual yang menghilangkan kesadaran atas alam sekitar. Oleh karena itu khusyu bukan hanya pada shalat sebagai ritual, tapi juga manifestasinya dalam kehidupan sosial. Khusyu bukan hanya pada ibadah, tapi juga dalam mu’amalah. Khusyu bukan hanya dalam berdoa, tapi juga dalam ikhtiar.
a. Kemudahan Khusyu.
Siapa pun yang beriman, dapat beribadah dan bermu’amalah secara khusyu, tanpa ada bimbingan atau pun latihan secara khusus. Pada ayat 46 ditegaskan bahwa orang yang khusyu adalah yang yakin betul akan berjuma dengan Allah SWT, dan siap kembali kepada-Nya. Jika diri sudah merasa diawasi oleh Allah SWT dalam segala tindak tanduk, serta ucap dan sikap, kemudian mempersiapkan diri untuk bertanggung jawab di akhirat, maka berarti telah termasuk yang khusyu.
b. Cara Mengkhsyu’kan shalat
Cara yang ditempuh dalam mengkhusyu’kan shalat antara lain sebagai berikut.
(1) dilakukan sesuai dengan apa yang diperaktikan Rasul SAW, sebagaimana di tegaskan oleh sabdanya:
صَلُّوا كَمَا رَأيْتُمُونِي أصَلِّي
(shalatlah kalian seperti yang kalian lihat ketika aku shalat).[14]
(2) mengihklashkan diri, bahwa shalat dilakukan hanya untuk meraih ridla Allah SWT dan menjauhi unsur kemusyrikan, seperti ditegaskan firman Allah SWT:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ* لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ*
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. Qs.6:162-163
(3) memahami dan menghayati ma’na apa yang diucapkan dalam shalat, baik fatihah, takbir, tasbih, maupun do’a yang lainnya, karena shalat ditegakkan untuk dzikir kepada Allah SWT sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.Qs.20:14.
(4) memanifestasikan ibadah shalat di luar shalat, terutama dengan menjauhi perbuatan keji dan munkar, sebagaimana ditegaskan firman Allah SWT
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
Dan dirikan shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar.Qs.29:45. Ditegaskan pula dalam hadits:
مَنْ لَمْ تَنْهَهُ صَلاتُهُ عَنِ الفَحْشَاء وَالْمُنْكَرَ لَمْ يَزْدَد مِنَ الله إلا بُعْدًا
Siapa yang shalatnya tidak mencegah perbuatan keji dan munkar, maka akan semakin jauh dari Allah SWT. Hr.al-Thabarani, al-Bayhaqi.[15]
Berdasar hadits ini hanya yang melarang perbuaan keji dan munkar yang shalat bisa mendekatkan diri dengan Allah SWT.
(5) menjauhi riya dan menindaklanjutinya dengan ibadah sosial.
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ(*)الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ(*)الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ(*)وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ(*)
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya. dan enggan (menolong dengan) barang berguna. Qs.107:4-7
Ayat ini mengecam orang yang shalatnya سَاهُونَ sahun (lalai), yaitu yang يُرَاءُونَ riya, dan وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ yang tidak mau menolong orang lain. Dengan demikian shalat yang khusyu berdasar ayat ini mesti bebas dari ria, dan menindak lanjutinya pada kehidupan sosial dengan banyak menolong orang yang membutuhkan bantuan. Oleh karena itu, ibadah shalat baru dikategorikan khusyu apabila tepat dalam ritual, dan termafestasi dalam kehidupan sosial.
3. Cara Menghapus dosa
Cara menghapus dosa berdasar hadits yang dikaji adalah (1) menyempurnakan wudlu dengan sebaik-baiknya, (2) menegakkan shalat dengan khusyu, (3) memanifesatikan ibadah ritual dalam kehidupan sosial, (4) menjauhi dosa besar[16].
4. Fungsi Ibadah sebagai penghapus Dosa
sebagaimana dikemukan di atas, sebenarnya ibadah itu dapat berfungsi sebagai penghapus dosa bila memenuhi syarat. Perhatikan ayat dan hadits yang tercantum pada tabel berikut:
REDAKSI NASH |
TARJAMAH & SUMBERNYA |
ESSENSI |
|
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَنُكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَحْسَنَ الَّذِي كَانُوا يَعْمَلُونَ |
Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, benar-benar akan Kami hapuskan dari mereka dosa-dosa mereka dan benar-benar akan Kami beri mereka balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. Qs.29:7 |
Iman dan amal shalih dapat menghapus dosa |
|
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ |
Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. Qs.11:114 |
1. Shalat penghapus dosa 2. setiap kebaikan menghapus kesalahan |
|
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ |
umrah ke umrah dapat menghapus kesalahan di antara keduanya. Haji mabrur tiada balasan selain surga. Shahih al-Bukhari II h.692, Shahih Muslim, no.2403 |
1.umrah berfungsi penghapus dosa 2.haji meraih surga |
|
الْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ كَفَّارَةُ مَا بَيْنَهُمَا مَا لَمْ تُغْشَ الْكَبَائِرُ |
Jumah ke jum’ah menghapus dosa di antara keduanya selama dosa besar tidak dlakukan .Sunan ibn Majah, no.1076 |
Ibadah jum’at menghapus dosa |
|
فَالصَّلَوَاتُ الْمَكْتُوبَاتُ كَفَّارَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ |
Shalat yang difardlukan merupakan penghapus dosa yang dilakukan di antara semuanya. Shahih Muslim, I h.208 |
Shalat fardlu sebagai penghapus dosa |
|
رمضان إلى رمضان كفارة لما بينهما |
Ramadlan ke ramadlan sebagai pengahpus dosa di anatarnya. Musnad Ahmad, II h.229 |
Shaum ramadlan sebagai penghapus dosa |
|
الصوم جنة والصدقة تكفر الخطيئة |
Shaum itu prisai, shadaqah dapat menghapus kesalahan. Al-Hakim Mustadrak, II h.447 |
Shadaqah menghapus dosa |
|
وَمَنْ أَتَى مِنْكُمْ حَدًّا فَأُقِيمَ عَلَيْهِ فَهُوَ كَفَّارَتُهُ |
Barangsiapa yang menerima hukuman had maka merupakan penghapus dosa. Shahih Muslim, III h.1333 |
Hukuman had menghapus dosa pelakunya |
|
[1] Shahih Muslim, I h.206
[2] al-Sunan al-Shughra, I h.495, shahih Ibn Hibban, III h.319, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, II h.290
[3] Faidl al-Qadir, V h.472
[4] Syarh al-Zarqani, I h.99
[5] Shahih Muslim, I h.204
[6] Musnad al-Rubaii, I h.120
[7] Ishlah al-Wujuh wa al-Nazda`ir, h.158
[8] Abu bakr al-Jaza`iry, Aysar al-Tafasir, I h.50
[9] al-Munawi, Faidl al-Qadir, V h.472
[10] Musnad Ahmad, II h.437, Shahih al-Bukhari, I h.263, Shahih Muslim, I h.298, Sunan Abi Dawud, I h.226, Sunan al-Turmudzi, II h.104, Sunan al-Nasa`iy, II h.124,
[11] Syarh al-Nawawi al shahih Muslim, III h.113
[12] Tuhfat al-Ahwadzi, I h.535
[13] al-Nawawi (631-676H), Syarh al-Nawawi ala Shahih Muslim, III h.112
[14] Sunan al-Darimi, I h.318, Shahih al-Bukhari, I h.226, Shahih Ibn Khuzaimah, I h.206
[15] al-mujam al-kabir, XI h.54, Syu’b al-iman, III h.174
[16] beberapa macam perbuatan dosa telah dibahas pada makalah terdahulu