SHALAT SAMBIL BERJALAN ATAU BERKENDARA
SHALAT SAMBIL BERJALAN ATAU BERKENDARA
(kajian fiqih surat al-baqarah:239)
A.Teks Ayat dan tarjamahnya
فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalâtlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalâtlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. Qs.2:239
- Tafsir Kalimat
- فَإِنْ خِفْتُمْ maka jika kalian dalam keadaan katakutan.Perkataan خِفْتُم yang berarti takut, bersifat umum, mencakup takut oleh ancaman apa pun, baik perang atau di luar perang. Al-Shabuni, menafsirkan perkataan فَإِنْ خِفْتُم ini dengan فَإِذَا كُنْتُم فِيْ خَوْفٍ مِنْ عَدُوٍّ أَوغَيْرِه jika keadaan kalian dalam suasana ketakutan baik oleh musuh atau pun yang lainnya.[1] Dalam keadaan gawat selain perang, shalât bisa dilaksanakan sesuai kemampuan, seperti dalam keadaan sakit.
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
Imran Bin hushain r.a menerangkan bahwa dirinya menderita penyakit wasir dan bertanya pada Rasul SAW tentang cara shalât. Rasul SAW bersabda: “shalâtlah sambil berdiri, jika tidak mampu shalâtlah sambil duduk, dan jika tidak mampu, shalâtlah sambil berbaring. Hr. al-Bukhari dan Ibn Khuzaymah.[2]
Namun menurut Imam al-Syafi’i (150H-204H), pengertian خفتم dalam ayat ini adalah saat benar-benar terancam oleh musuh yang tidak memungkinkan untuk melakukan shalât secara normal.[3] Namun perkataan خفتم (kamu khawatir, kamu takut), bersifat umum, apakah takut oleh musuh ataukah oleh yang lainnya. Bukankah di perjalanan suka merasa khawatir ketinggalan oleh yang lain? Seorang dokter yang sedang praktik, khawatir pasiennya gawat?
- فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Menurut Ibn Manzhur (630H-711H) perkataan رِجَالا dalam ayat ini merupakan bentuk jama dari راجل yang berarti jalan kaki, sebagai lawan kata dari الفارس. Kemudian dia menandaskan jika situasi tidak memungkinkan untuk shalât secara khusyu seperti aturan yang telah ditetapkan sebelumnya, maka shalâtlah sesuai kemampuan baik sambil jalan kaki atau berkendaraan. [4] Al-Syafi’I menandaskan bahwa shalât di kendaraan atau sambil berjalan itu hanya berlaku tatkalah terancam, bukan waktu aman.[5] Ketentuan semacam ini merupakan keringanan dari Allah SWT dalam melaksanakan shalât, sehingga tidak perlu menghiraukan arah qiblat. Demikian pula caranya, bisa dilakukan sesuai kemampuan, dan mengikuti keadaan.[6] Adapun ruku dan sujudnya bisa dengan cara berisyarat dengan gerakan kepala.[7] Mujahid al-Mahjumi (21H-104H), berpendapat bahwa jumlah rakaatnya tetap dua raka’at, baik di kendaraan mau pun jalan kaki, hanya gerakannya cukup dengan isyarat kepala.[8] Bahkan menurut al-Alusi (w.1270H), bisa saja shalât semacam ini dilakukan hanya dengan berdiri, karena perkataan رجالا disini الراجل الكائن على رجليه واقفا أو ماشيا ma’nanya mencakup berdiri tegak atau berjalan kaki. [9] Adapun cara shalât berjamaah di kala terancam musuh sebagaimana dikisahkan oleh Ibn ‘Umar r.a (10sH-73H)[10] sebagai berikut:
غَزَوْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ نَجْدٍ فَوَازَيْنَا الْعَدُوَّ فَصَافَفْنَا لَهُمْ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي لَنَا فَقَامَتْ طَائِفَةٌ مَعَهُ تُصَلِّي وَأَقْبَلَتْ طَائِفَةٌ عَلَى الْعَدُوِّ وَرَكَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنْ مَعَهُ وَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ انْصَرَفُوا مَكَانَ الطَّائِفَةِ الَّتِي لَمْ تُصَلِّ فَجَاءُوا فَرَكَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهِمْ رَكْعَةً وَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ فَقَامَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ فَرَكَعَ لِنَفْسِهِ رَكْعَةً وَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ
Saya ikut berperang bersama Rasul SAW di kawasan Nejd. Tiba-tiba kami berhadapan dengan musuh, dan segera kami mengatur barisan. Kemudian rasul SAW berdiri hendak untuk shalât dan menjadi imam. Sebagian dari kami ikut shalât bersama beliau, sebagian lagi menghadang musuh. Kemudian Rasul SAW ruku bersama ma’mumnya dan beliau sujud dua kali. Sesudah itu mereka pindah posisi ke tempat yang belum shalât. Pasukan yang belum shalât, segera menuju posisi untuk shalât bersama Nabi SAW, ruku dan sujud dua kali bersama beliau. Setelah itu Rasul menutup shalâtnya dengan salam, dan ma’mum yang belum selesai meneruskannya dengan satu kali ruku dan dua sujud sendiri-sendiri. Hr. al-Bukhari, al-dari dan al-Bayhaqi.[11]
Dalam riwayat lain ditandaskan oleh ibn Umar r.a.
فَإِنْ كَانَ خَوْفٌ هُوَ أَشَدَّ مِنْ ذَلِكَ صَلَّوْا رِجَالًا قِيَامًا عَلَى أَقْدَامِهِمْ أَوْ رُكْبَانًا مُسْتَقْبِلِي الْقِبْلَةِ أَوْ غَيْرَ مُسْتَقْبِلِيهَا
Jika keadaan lebih gawat, maka shalâtlah sambil jalan, berdiri, atau berkendaraan, boleh menghadap kiblat boleh juga tidak menghadapnya. Hr.al-Syafi’i, al-Bukhari, dan ibn Khuzaymah.[12]
Menurut sebagian ulama, shalât dalam keadaan terancam itu berjumlah dua raka’at. Sedangkan yang dikatakan satu raka’at dalam riwayat Ibn Abbas di atas, adalah berjamaahnya, kemudian disempurnakan sendiri-sendiri. Adapun caranya sesuai kemampuan.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي السَّفَرِ عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ يُومِئُ إِيمَاءً صَلَاةَ اللَّيْلِ إِلَّا الْفَرَائِضَ وَيُوتِرُ عَلَى رَاحِلَتِهِ
Diriwayatkan dari Ibn Umar, menerangkan adalah Rasul SAW shalat di perjalanan di atas kendaraannya mengikuti arah kendaraan yang ditumpanginya, dengan cara berisyarat utamanya shalat malam, kecuali shalat fardlu. Beliau juga suka shalat witr di kendaraannya. Hr. al-Bukhari.[13]
Rasul SAW juga memberikan contoh pada umatnya untuk memilih cara yang paling memungkinkan shalat berkaitan dengan perjalanan antara lain:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ
Anas Bin Malik menerangkan: Rasul SAW jika berangkat sebelum matahari tergelincir, suka mengakhirkan shalat zhuhur hingga waktu ashar. Kemudian beliau turun untuk melakukan jama kedua shalat. Jika matahari tergelincir sebelum beliau berangkat, maka melakukan shalat zhuhur terlebih dahulu, kemudian berangkat. Hr.al-Bukhari dan al-Nasa`iy.[14]
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ إِذَا زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَنْزِلَ لِلْعَصْرِ وَفِي الْمَغْرِبِ مِثْلُ ذَلِكَ إِنْ غَابَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَإِنْ يَرْتَحِلْ قَبْلَ أَنْ تَغِيبَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يَنْزِلَ لِلْعِشَاءِ ثُمَّ جَمَعَ بَيْنَهُمَا
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, sesungguhnya Rasul SAW ketika perang Tabuk, jika matahari tergelincir sebelum berangkat maka menjama shalat zhuhur dan ashar (jama taqdim). Jika beliau berangkat sebelum tergelincir matahari, maka mengakhirkan shalat zhuhur hingga tiba waktu ashar dan melaksanakan shalat keduanya (jama ta`khir). Demikian pula pelaksanaan shalat maghrib. Jika matahari terbenam sebelum beliau berangkat, maka menjama antara maghrib dan isya. Jika beliau berangkat seblum matahari terbenam, maka mengakhirkan shalat maghrib hingga tiba waktu isya, kemudian menjama keduanya (jama ta`khir). Hr. Abu Dawud[15]
Dengan demikian shalat di perjalanan itu dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain (1) di kendaraan yang dilakukan sesuai kemampuan, (2) jama taqdim tanpa qashar (jumlah raka’atnya seperti biasa), (3) jama ta`khir dengan diqashar (yang empat raka’aat menjadi dua), (4) qashar tanpa jama (yang empat menjadi dua raka’aat dan tepat waktunya), (5) jama takkhir tanpa qasahar (berlaku bagi yang shalat di tempat kediaman, tapi diakhirkan). Dalam pelaksanaan ibadah haji sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bin Abd Allah, Rasul SAW melaksanakan shalat dengan cara: (1) shalat zhuhur empat raka’at di Madinah sebelum berangkat, karena beliau pergi setelah tiba waktu shalat, (2) sampai di Dzu al-Hulaifah shalat ashar dua raka’at, maghrib tiga raka’at, isya dua raka’at, karena sudah menempuh perjalanan, (3) di Mina Rasul melaksanakan seluruh shalatnya tepat waktu, tapi yang empat menjadi dua raka’at, karena musafir tapi tidak ada kesibukan, (4) di Arafah, Rasul SAW melaksanakan shalat zhuhur dan ashar masing-masing dua raka’at pada waktu zhuhur, (5) di Muzdalifah, Rasul SAW melaksanakan shalat maghrib tiga raka’at di waktu Isya, kemudian shalat isya dua raka’at.[16]
- فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalâtlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. Menurut Ibn Abbas, kalimat ini memerintah untuk bersyukur atas ni’mat Allah yang memberikan kemudahan dalam pelaksanaan shalat sehingga
كَمَا عَلَّمَكُمْ أَنْ يُصَلِّيَ الرَّاكِبُ عَلَى دَابَّتِهِ، وَالرَّاجِلُ عَلَى رِجْلَيْه
( cara shalatnya dilakukan di kendaraan bagi yang berkendara, sambil jalan bagi pejalan kaki).[17]
Potongan ayat ini ditafsirkan oleh Abu al-Hasan Al-Wahidi (w.468H):
أيْ فَصَلُّوا الصَّلَوَاتِ الخَمْس تَامَّة بِحُقُوْقِهَا كَمَا عَلَّمَكُم مَا لَمْ تَكُوْنُوا تَعْلَمُوْن كَمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُم فِي مَوَاقِيتِها
Jika keadaan telah aman secara normal, maka shalâtlah yang lima waktu itu secara sempurna sebagaimana telah diajarkan sebelumnya mengikuti aturan yang telah difardlukan dan tepat pada waktunya. [18]
Dengan demikian kalimat فَاذْكُرُوا اللَّهَ berma’na shalâtlah karena Allah SWT. Namun menurut sebagian ulama kalimat ini berma’na bersyukurlah kepada Allah SWT yang telah memberikan aturan secara lengkap dan memberikan keni’matan berbagai ni’mat, terutama dalam pengajaran syari’ah-Nya yang cukup lengkap serta sempurna.[19] Menurut Ibn Katsir,[20] pengunci ayat ini berma’naمثل ما أنعم عليكم وهداكم للإيمان وعلمكم ما ينفعكم في الدنيا والآخرة، فقابلوه بالشكر والذكر (Allah telah memberi ni’mat padamu, memberi petunjuk dengan Iman, mengajarkan yang bermanfaat untuk kehidupan dunia dan akhirat, maka terimalah aturan ibadah ini dengan dzikir dan syukr). Senada dengan pengunci ayat, Qs.4:101-103 setelah menerangkan cara shalat qashar di perjalanan, kemudian dirangkaikan dengan perintah shalat sebagaimana biasanya tatkala sudah kembali ke tempat tinggal:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. Qs.4:101[21]
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا
Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka`at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu. Qs.4:102.
فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Apabila kamu sudah merasa aman, maka dirikan shalat sebagaimana biasa. Sesungguhnya shalat itu telah difardlukan yang waktunya ditetapkan. Qs.4:103. (ayat ini akan dibahas khusus) Tegaslah bahwa shalat qashar di perjalanan, merupakan pelaksanaan yang sempurna.
- Fiqih ayat
- Shalat bisa dilakukan sambil berjalan atau di kendaraan sesuai kemampuan selama menempuh perjalanan, atau ada sesuatu ancaman. Yang termasuk kategori ancaman adalah kekawatiran berbahaya bila melakukan shalat dengan cara yang sempurna, baik dalam keadaan perang ataupun dalam keadaan damai.
- Dalam kesibukan, shalat bisa dilakukan secara jama antara zhuhur dengan ashar, dan maghrib dengan isya. Melakukan shalat zhuhur dan ashar di waktu zhuhur, serta maghrib dan isya di waktu maghrib, maka dinamakan jama’taqdim. sedangkan melakukan shalat maghirb dan isya di waktu isya, serta zhuhur dan ashar di waktu ashar dinakan jama takkhir.
- Mengqashar shalat yang empat raka’at selama perjalanan, bukan keringanan, tapi diperintahkan, kecuali bagi yang berma’mum kepada pribumi.
- Jika mendapat kesulitan untuk menghadap kiblat, baik disebabkan berkendaraan atau pun sakit, maka boleh menghadap ke mana pun. Sakit juga merupakan bagian dari ancaman, seperti kawatir bertambah sakit bila memaksanakan diri melakukan gerakan dalam shalat seperti normalnya.
- Bila berkesulitan berdiri, ruku, atau sujud baik karena sakit atau pun di kendaraan, maka boleh hanya dengan isyarat sesuai kemampuan.–=o0o=–
[1] Muhammad Ali Al-Shabuni, Shafwat al-Tafasir, I h.154
[2] Shahih al-Bukhari, I h.376, Shahih ibn Khuzaymah, II h.242
[3] Muhammad Idris al-Syafi’i, al-Umm, I h.222
[4] Muhammad ibn Mukram Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, XI h.269
[5] al-Syafi’I, al-Risalah, I h.125
[6] Abu Muhammad al-Husaini al-Baghawi (w.516H), Ma’alim al-Tanzil, I h.221
[7] Abd al-Rahman bin Mahluf al-Tsa’alibi, al-Jawahir al-Hisan, I h.186
[8] Tafsir Mujahid, I h.111
[9] Abu al-Fadl Mahmud al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, II h.157
[10] Abd Allah Ibn Umar ibn Khathab, Shahabat, sekretaris, sekaligus ipar Rasul SAW, yang meriwayatkan hadits berjumlah 2630.
[11] Shahih al-Bukhari, I h.319, Sunan al-Darimi, I h.428, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, III h.260
[12] Musnad al-Syafi’i, I h.23, Shahih al-Bukhari, IV h.1649, Shahih Ibn Khuzaymah, II h.90
[13] Shahih al-Bukhari, no.945
[14] Shahih al-Bukhari, no.1045, Sunan al-Nasa`iy, no.582
[15] Sunan Abi Dawud, 1022
[16] Shahih Muslim II h.88-dan seterusnya, dengan redaksi yang sngat panjang,
[17] Tafsir Ibn Abi Hatim, II h.198
[18] Tafsir al-Wahidi, I h.176
[19] al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam al-Qur’`an, III h.215
[20] Tafsir Ibn Katsir, I h.657
[21] ayat ini akan dibahas tersendiri pada kajian selanjutnya