TAFSIR AL-FATIHAH:07
06. AL-FATIHAH:07
A.Teks Ayat dan terjemahnya
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni`mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
B.Kaitan dengan ayat sebelumnya
1. Ayat yang lalu berisi permohonan kepada Allâh SWT agar diberi hidayah, sehingga tetap berada pada jalan yang lurus. Jalan yang manakah yang lurus itu? Ayat terakhir dari surat al-fatihah ini memberikan gambaran tentang jalan yang lurus tersebut.
2. Tatkala hamba Allâh menyadari betapa penting pedoman hidup yang membimbing ke jalan yang benar, membutuhkan figur pelaksananya. Ayat terakhir ini menunjukan figur yang baik mesti diteladani, dan figur buruk yang bukan teladan. Jalan yang lurus itu adalah jalan yang ditempuh orang yang mendapat ni’mat, yang selamat dari pengaruh al-maghdlub dan bebas dari sifat al-dlallin.[1]
3. Setiap muslim selalu bermohon kepada Allâh SWT untuk mendapat petunjuk hidyah al-taufiq pada jalan al-Islâm. Hanya al-Islâm jalan yang lurus, karena tidak ada yang benar, tidak ada yang lurus selain al-Islâm. Ayat ketujuh ini menggambarkan bahwa al-Islâm berbeda dengan jalan yang lain.[2]
C.Tinjauan Historis
1. Diriwayatkan dari Abi Hurairah bahwa Rasûl SAW mengutip langsung firman Allâh SWT, hadits Qudsi[3] sebagai berikut:
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي وَإِذَا قَالَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي وَإِذَا قَالَ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي فَإِذَا قَالَ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ قَالَ هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
Allâh ta’ala berfirman: Shalat itu Kubagi dua antara-Ku dan hamba-Ku. Untuk hamba-Ku ialah apa yang dimintanya. Apabila dia mengucapkan الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ, maka Allâh Ta’ala menjawab, ‘Hamadani ‘abdi (Hamba-Ku memuji-Ku). Apabila dia mengucapkan الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang), maka Allâh Ta’ala menjawab, ‘Atsna ‘alayya ‘abdi’ (Hamba-Ku menyanjung-Ku). Apabila dia mengucapkan مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (Maha Penguasa hari kemudian, maka Allâh Ta’ala menjawab, ‘Majjadani ‘abdi’ (Hamba-Ku mengagungkan-Ku), atau ‘Fawwadha ilayya ‘abdi. (Hamba-Ku berserah diri kepada-Ku). Apabila dia mengucapkan إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (kepada Engkau saja kami menyembah dan kepada Engkau saja kami meminta tolong), maka Allâh Ta’ala menjawab, ‘Hadza bayni wa bayna ‘abdi, wa li’abdi ma saala’ (inilah perjanjian antara-Ku dan antara, Hamba-Ku, Untuk hamba-Ku apa yang dimintanya. Apabila dia mengucapkan اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (Pimpinlah kami ke jalan yang lurus, yakni jalan orang yang tidak Engkau murkai dan tidak pula jalan orang yang sesat), maka jawab Allâh Ta’ala, “Hâdzâ li ‘abdi, wa li ‘abdi ma sa`ala” (inilah bagian hamba-Ku, untuknya apa yang dimintanya). Hr. Malik, Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Al-Tirmidzi , al-Nasa`iy, Ibn Majah.[4]
Berdasar Hadits ini, historis surat al-Fatihah itu berjalan sepanjang masa. Selama ada hamba Allâh yang menegakkan shalat, selama itu pula sejarah surat al-Fatihah berlangsung.
2. Setiap membaca surat al-Fatihah, ditutup dengan mambaca kalimat آمين Âmîn yang berarti semoga Allâh SWT mengabulkan. Hal ini berlaku, baik di dalam, maupun di luar shalat, baik yang membaca maupun yang mendengar. Rasûl SAW bersabda:
إِذَا قَالَ الْإِمَامُ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ قَوْلُهُ قَوْلَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Jika imam membaca غير المغضوب عليهم ولا الضالين maka ucapkanlah Âmîn, maka barang siapa yang ucapannya bersamaan dengan mala`ikat, akan mendapat ampunan dari dosa yang telah lewat. Hr. Al-Bukhari, Muslim,[5]
Hadits ini berisi anjuran bagi ma`mum ketika shalat yang mendengar bacaan imam, membaca amin. Imam yang mengakhiri bacaan al-fatihah, juga membaca amin, sebagaimana hadits berikut.
عَنْ عَلْقَمَةَ بن وَائِلٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ:صَلَّى مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا قَالَ: “غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ، وَلا الضَّالِّينَ” ، قَالَ: آمِينَ خَفَضَ بِهَا صَوْتَه
Dari Alqamah bin Wa`il dari Ayahnya diriwayatkan bahwa Rasûl SAW tatkala membaca غير المغضوب عليهم ولا الضالين suka membaca Âmîn dengan suara yang rendah. Hr. Al-Tirmidzi , al-Thabarani, al-Hakim,[6]
Hadits ini difahami bahwa mengucapkan Âmîn dengan suara rendah adalah berlaku ketika di luar shalat. Sedangkan di dalam shalat yang jahar, bacaan Âmîn pun diucapkan secara jahar, sebagaimana diriwayatkan oleh Wa`il sendiri:
عَنْ وَائِلِ بن حُجْرٍ الْحَضْرَمِيِّ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَالَ: “وَلا الضَّالِّينَ، قَالَ: آمِينَ يَرْفَعُ بِهَا صَوْتَهُ.
Diriwayatkan dari Wa`il yang mengatakan: saya mendengar Rasûl SAW ketika membaca ولا الضالين mengucapkan Âmîn, dengan meninggikan suaranya ketika shalat. Hr. al-Thabarani, al-Bayhaqi.[7]
Dengan demikian membaca Âmîn setelah membaca al-fatihah, secara historis telah berlangsung sejak jaman Rasûl SAW. Beliau juga menganjurkan untuk mengikutinya. Hadits di atas bisa difahami bahwa jika al-Fatihah dibaca ketika shalat jahar, jahar pula mengucapkan Âmîn. Jika sedang sirr, maka membaca Âmîn juga secara sir. Bacaan Âmîn dengan merendahkan suara juga berlaku ketika usai membaca surat al-fatihah di luar shalat.
D.Tafsir Kalimat
1. صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni`mat kepada mereka;
Perkataan أَنْعَمْتَ bentuk kata kerja yang kata jadiannya الإنعام dari نعمة yaitu segala sesuatu yang bisa dimanfaatkan yang menyenangkan dan patut disyukuri.[8] Mereka yang mendapat ni’mat dari Allâh SWT seperti para nabi, orang mu`min yang mebenarkan ajaran al-Islâm, syuhada dan orang-orang shalih.[9] Ni’mat yang paling utama diterima mereka adalah ni’mat iman, Islâm dan nubuwah (kenabian bagi para nabi), sehingga tetap berada pada jalan yang benar.[10]
Ayat ini sebagai penjelas, bahwa jalan hidup yang diminta itu adalah jalan sebagaimana yang telah ditempuh oleh orang yang mendapat ni’mat dari Allâh SWT. Yang mendapat ni’mat dari Allâh SWT cukup banyak, antara lain tersirat pada firman Allâh SWT:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
Dan barangsiapa yang menta`ati Allâh dan Rasûl (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allâh, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Qs.4:69
Berdasar ayat ini yang telah menempuh jalan yang benar yang termasuk kelompok dianugrahi ni’mat dari Allâh SWT adalah (1) para nabi, (2) shiddiqin (yang membenarkan ajaran yang dibawa Rasûl SAW, (3) syuhada (yang memperjuangkan tegaknya Agama Allâh SWT), dan (4) shalihin (yang selalu beramal shalih).[11] Kata kerja dari أَنْعَمْتَ عَليْهِم perlakunya adalah Allâh SWT yang dipanggil dalam bentuk langsung seakan berhadapan, sebagaimana pada ayat 5 dan 6. Ini menunjukkan bahwa ni’mat itu hanya bersumber dari Allâh SWT. Ni’mat yang diberikan Allâh SWT paling utama adalah Iman, karena mencakup segala keni’matan. Dengan iman keni’matan apa pun bakal diraih.[12]
2. غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ bukan (jalan) mereka yang dimurkai
Bentuk kalimat الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ ini beda dengan bentuk kalimat sebelumnya, yang menggunakan dlamir Mukhathab, melainkan dlamir gha`ib.[13] Tidak menggunakan الَّذِي غَضِبْتَ عَلَيْهِم yang Engkau murkai, karena bukan hanya Allâh SWT yang murka pada mereka, melainkan bisa semua makhluq. Orang yang dimurkai itu adalah yang rusak aqidah dan pendiriannya, mengetahui kebenaran tapi dengan sengaja menyimpang darinya, bahkan berani mengubahnya.[14] Orang yang mempunyai perangai demikian seperti tokoh yahudi yang mengetahui kebenaran Rasûl SAW, karena tercantum dalam kitab sebelumnya, tapi mereka tolak dan menyembunyikannya serta mengubah isi kitabnya. ‘Adi bin Hatim menerangkan bahwa Rasûl SAW bersabda:المَغْضُوْب عَلَيْهم اليَهُوْد
Orang yang dimurkai adalah kaum yahudi. Hr. Ibn Hibban (w.354H) dan al-Bayhaqi (w.458) [15]
3. وَلَا الضَّالِّينَ dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Perkataan الضَّالِّينَ berarti orang-orang yang sesat. Setiap hamba berdo’a untuk selalu berada di jalur yang benar, yaitu yang ditempuh oleh yang mendapat ni’mat, bukan yang dimurkai bukan pula yang sesat. Orang sesat menurut hadits dari Ady adalah kaum nashrani.[16] Nashrani dianggap sesat, karena menerima doktrin Paulus, utusan yahudi, tentang penyaliban Yesus sebagai penyelamat mereka. Paulus seorang penganut ajaran yahudi yang fanatik dari Romawi pergi ke Damsyik. Ia mendapat tugas dari pernerintah romawi untuk memberantas penganut Nabi Isa yang berada di Damsyik. Namun ketika sampai di Palestina, Paulus tidak kembali ke Roma, melainkan mendatangi tempat-tempat ibadah kaum nashrani. Di situ telah memperlihatkan dirinya sebgai menganut nashrani. la menda’wahkan, bahwa dirinya bertaubat dari dosa pernbunuhan terhadap Yesus, karena telah bermimpi bertemu dengannya. Pada mulanya, orang nashrani banyak yang tidak percaya kepada Paulus. Namun karena kepandaiannya, dalam meyakinkan orang, apalagi tatkala menyatakan bahwa nashranilah yang benar, kaum nashrani banyak yang percaya. Setelah mendapat kepercayaan dari nashrani, Paulus mulai memasukkan ide kernusyrikannya dalam agarna nashrani. Paulus mengajarkan kepada nashrani bahwa Isa al-Masih itu bukan manusia biasa, Siti Maryarn adalah wanita suci yang menerima titipan anak dari tuhan. Isa atau Yesus, kata Paulus dilahirkan ke muka bumi untuk menebus dosa Adam dan Hawa serta dosa semua umat manusia. Tuhan yang adil dan penyayang mela’nat manusia dosa. Lama tuban berfikir, kata Paulus, bagaimana caranya agar manusia ini bisa selamat dari kutukan, maka ditugaskanlah anaknya untuk menebus dosa. Anak itu dilahirkan dari wanita suci yang akhirnya rela disalib guna menyelamatkan manusia. Ide ini dimasukkan Paulus ke dalam tubuh nashrani sebenarnya untuk membela kaum yahudi agar kaum nashrani tidak membencinya. Dengan ajaran Paulus, yang yahudi itu, kebencian kaum nashrani terhadap yahudi semakin lunak. Akhirnya nashrani menganggap nahwa yahudi yang menyalib Yesus itu adalah benar. Selanjutnya, Paulus ini, oleh kaum nashrani dianggap Rasûl terbesar. Pada awal abad keempat, seorang penganut agarna Romawi kuno yang musyrik, Kaonstantin, kaisar Romawi memeluk nashrani. Di bawah kekuasaan Konstantin, pertentangan tetap meluas dan mengganggu stabilitas. Maka beliau memerintahkan untuk diadakan kongres tentang ketuhanan. Pada saat itu terdapat pula Uskup yang mempertahankan ajaran nashrani yang asli yang menganggap bahwa Allâh itu Esa, Isa itu Rasûl Allâh. Uskup ini bernarna Aryus. Dia juga banyak pendukungnya dan banyak pula penentangnya. Pada tahun 325M kongres dilaksanakan bertempat di Nicea dengan peserta berjunilah 2048 orang yang masing mempunyai pendapat dan mempertahankannya. Dari jumlah yang banyak itu 318 orang di antaranya mempunyai pandangan yang sama dengan Paulus. Sedangkan yang lain mempunyai pandangan sama dengan Ayrus. Perdebatan semakin sengit, akhirnya Konstantin turun tangan dan menentukan pendapatnya. Ma’lum ia baru masuk nashrani dan sebelumnya adalah orang musyrik, yang dibela tentu saja yang mendekati pada pendiriannya. Kesimpulan terakhir ditetapkan bahwa pendapat 318 orang itulah yang harus diterima dan sebagai yang paling benar. Para pendeta yang lain tentu saja tidak setuju, maka kongres tersebut tidak membuahkan kesatuan pendapat. Tahun 381M, kongres diulang lagi di Constantinopel, tidak menghasilkan kesepakatan juga. Tahun 431 diadakan kongres lagi, masih tentang Yesus, dan Ruhul-quds di Episius. Pada tahun 451 pun dilaksanakan kongres lagi dengan topik yang sama bertempat di Calcedon. Semua kongres itu tidak mendatangkan kesepekatan bulat. Namun saat ini ternyata kaum nashrani mengakui bahwa Yesus sebagai juru selamat, dan Paulus sebagai Rasûl terbesar, padahal pendirian semacam ini hanya rekayasa Paulus utusan Romawi. Itulah salah satu bukti sejarah kesesatan nashrani, dan kejahatan yahudi yang dimurkai. Kalimat terakhir dari al-Fatihah tidak berbunyi الَّذِي أضْللت عَلَيْهِم yang Engkau sesatkan, tapi الضَّالِّينَ yang sesat. Orang sesat, bukan disesatkan Allâh, tapi terutama sebagai akibat perbuatan diri sendiri, karena tidak mengetahui jalan. Penggunaan kalimat ini, juga suatu pendidikan pada hamba-Nya, agar menggunakan etika yang baik pada Allâh SWT. Yang buruk tidak layak dinisbatkan pada-Nya.[17] Orang sesat jangan dianggap oleh Allâh SWT, tapi oleh ulahnya sendiri. Al-Zarqani, berpendapat bahwa tafsir yang paling shahih, المَغْضُوب عليهم adalah yahudi, yang dimurkai karena kejahatannya dalam menipu, dan الضَّالِّيْن adalah nashrani, karena gelap kurang menggunakan akal sehat untuk mengeritisi akidahnya.[18] Disambungkannya kalimat صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ dengan kalimat غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ memberi isyarat bahwa ada tiga jalan yang ditempuh manusia; (1) jalan yang lurus yaitu yang ditempuh oleh yang mendapat ni’mat, (2) jalan yang dimurkai, karena kejahatannya, dan (3) jalan orang yang sesat, karena kegelapan tidak tahu aturan, atau kurang memggunakan akal sehat. Isyarat lain dari susunan ayat ini memberikan gambaran bahwa jalan iman itu sangat berbeda dengan jalan kekufuran dan kesesatan. Oleh karena itu jika ingin tetap menempuh jalan iman yang lurus, mesti menjauhi jalan orang jahat seperti yahudi dan jalan orang sesat seperti nashrani.[19] Kalau sudah berikrar untuk ibadah hanya pada Allâh SWT, mohon pertolongan hanya pada-Nya, minta hidayah dari-Nya, maka mesti usaha meneladani para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin, serta harus menjauhi cara hidup yahudi dan sifat nashrani.
[1] Tafsir al-Baydlawi, I h.76
[2] Al-Suyuthi (w.911H), al-Dur al-Mantsur, I h.25
[3] Hadits Qudsi ialah firman Allah SWT yang dikutip langsung oleh Rasul SAW, dan disampaikan pada umatnya, tapi bukan al-Qur`an.
[4] Al-Muwatha, I h.84, Musnad Ahmad, II h.241, Shahih Muslim, I h.296, Sunan Abi Dawud, I h.216, Sunan al-Turmudzi, V h.201, Sunan al-Nasa`iy, II h.136, Sunan Ibn Majah, II h.1243
[5] Shahih al-Bukhari, IV h.1623, Shahih Muslim, I h.310
[6] Sunan al-Turmudzi, II h.28, al-Mu’jam al-Kabir, XV h.384 al-Mustadrak, II h.253
[7] al-Mu’jam al-Kabir, XV h.421, Sunan al-Bayhaqi al-Shugra, I h.256
[8] Syihab al-Din Ahmad, al-Tibyan fi Tafsir Gharib al-Qur`an, I h.52
[9] Ibn Taymiyah (w.728H), Daqa`iq al-Tafsir, I h.82
[10] al-Suyuthi, al-Dur al-Mantsur, I h.25
[11] al-Hilali and Muhsin Khan, The Noble Qur`an, h.2
[12] al-Zarkasyi (w.794H), al-Burhan fi Ulum al-Qur`an, I h.182
[13] Mukhathab yang diajak bicara, dlamir gha`ib ialah kata ganti untuk yang dibicarakan
[14] al-Rifa’iy, Taysir al- ‘Aly al-Qadir, I h.16
[15] Shahih Ibn Hibban, XIV h.139, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, VI h.336
[16] Sunan al-Baihaqi al-Kubra, VI h.336
[17] Ali al-Shabuni, Shafwat al-Tafasir, I h.27
[18] Muhammad al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan, II h.25
[19] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur`an al-‘Azhim, I h.30