TAFSIR AL-NISA: 02
BERIKAN HARTA ANAK YATIM
(kajian tafsir al-nisa: 02)
A. Teks Ayat dan tarjamahnya
وَآَتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. Qs.4:02
B. Kaitan dengan Ayat Sebelumnya
1. Ayat sebelumnya menyerukan agar umat manusia bertaqwa kepada Allah, dan menjaga hubungan keluarga. Ayat ini memberikamn bimbingan bagai mana menjalin hubungan baik dengan keluarga khususnya anak yatim.
2. Ayat sebelumnya berkaitan dengan tanggung jawab manusia dengan keluarga yang bersifat immateri, maka ayat ini berkaitan dengan tanggung jawab keluarga dalam urusan materi.
C. Tinjaun historis
Diterangkan oleh al-Wahidi (w.468H), menurut al-Kalabi (w.146H), ayat ini turun berkaitan dengan ada seorang laki-laki dari Ghathfan yang menjadi penanggung jawab harta yang banyak milik keponakannya (anak saudara laki-laki) yang sudah yatim. Tatkala anak yatim tersebut menjelang baligh, meminta agar pamannya itu menyerahkan semua harta tersebut. Namun pamannya itu menolak. Anak yatim itu mengadu pada Rasul SAW, turunlah Qs.4:2 ini. Setelah paman tersebut, mendengar ayat ini turun, berkata: أَطَعْنا الله وَأطَعْنا الرَّسُوْلَ نَعُوْذُ بِالله مِن الحُوْبِ الكَبِيْر kami tunduk pada perintah Allah SWT dan Rasul SAW. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan yang besar. Kemudian dia menyerahkan harta tersebut kepada anak yatim. Menurut riwayat Muqatil, paman tersebut bernama al-Mundzir bin Rifa’ah..[1]
C. Tafsir Kalimat
1. وَءَاتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka,
Kata ءَاتُوا berikanlah, maksudnya jagalah, jangan digunakan sembarangan tanpa perhitungan, kemudian hendaklah memberikannya ketika saatnya telah tiba. Perkataan الْيَتَامَى bentuk jama dari اليتِيْم menurut bahasa berarti مِنْ مَاتَ أبُوْه orang yang ditinggal wafat oleh ayahnya. Sedangkan menurut istilah adalah anak yang belum baligh dan ditinggal ayahnya. أَمْوَالَهُم bentuk jama dari مال harta, maksudnya adalah harta milik anak yatim seperti waritsan dari ayahnya. Sasaran ayat ini ditunjukkan kepada para pengasuh, agar jangan sampai menggunakan harta anak yatim tanpa perhitungan, apalagi mengorupsinya. Anak yatim yang masih lemah, tentu tidak mampu mengoreksi atau mengawasi harta miliknya.[2] Kewajiban para pengasuh adalah memelihara mereka dan hartanya. Jika anak yatim itu ikut ke ibunya, mesti jelas batas kepemilikannya, mana harta anak yatim mana pula harta mereka. Jalannya adalah dengan segera dilakukan pembagian waris, apabila ada yang meninggal.
2. وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk.
الْخَبِيثَ yang buruk, maksudnya adalah yang haram, dan الطَّيِّبِ yang baik yaitu yang halal. Harta yang baik, jangan ditukar dengan harta yang kurang baik, yang menimbulkan kerugian bagi anak yatim.[3] Harta anak yatim jangan ditukar dengan harta milik sendiri yang kurang baik.
3. وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Yang dimaksud dengan تَأْكُلُوا memakan, mencakup penggunaan yang menimbulkan berkurangnya harta. Digunakan perkataan تَأْكُلُوا, karena penggunaan harta yang menimbulkan kurang, sama dengan memakannya. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah makan biaya, makan waktu, makan ongkos, walau semua itu tidak dimasukan ke mulut. Potongan ayat ini melarang pengasuh memakan harta anak yatim tanpa perhitungan, karena bercampur dengan harta dirinya sendiri.
4. إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.
Jika melanggar atauran ini termasuk dosa besar. Dengan demikian yang termasuk dosa besar berdasar pengunci ayat ini antara lain (1) Mencampuradukan harta diri sendiri dengan milik yatim, (2) memakan harta yatim, tanpa oerhitungan, (3) menukarkan harta yang baik dengan yang buruk, (4) merugikan anak yatim.
E. Beberapa Ibrah
1. Tanggung jawab pengasuh terhadap anak yatim, berdasar ayat ini antara lain : (1) Jujur, (2) menyerahkan harta milik anak yatim yang dewasa, (3) tidak mencampur adukan harta yatim dengan milik sendiri.
2. Merugikan harta anak yatim termasuk perbuatan dosa besar. Dalam hadits dari Abi Hurairah,[4] ditandaskan:
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ
diriwayatkan bahwa rasul bersabda: Jauhilah oleh kalian tujuh perbuatan dosa yang berat akibatnya. Shabat bertanya: Apa itu wahai rasul? rasul SAW bersabda: (1) menyekutukan Allah, (2) sihir, (3) membutuin tanpa alasan yang dibenarkan, (4) memakan harta rima, (5) memakan harta anak yaim, (6) melarikan diri dari peperangan, (7) menuduh salah terhadap wanita yang baik-baik. Hr. al-Bukhari dan Muslim.[5]
Dengan demikian memakan harta anak yaim itu termasuk perbuatan dosa besar yang membawa akibat berat, baik dunia maupun akhirat.
3. Mengasuh anak yatim secara baik, bakal meraih kedudukan tinggi di surga. Perhatikan hadits berikut.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ وَأَشَارَ مَالِكٌ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
Dari Sahl bin Sa’d,[6] diriwayatkan bahwa Rasul SAW\ bersabda: “Aku bersama pengasuh anak yatim di surga seperti ini” sambil berisyarat dengan telunjuk dan jari tengahnya. Hr. al-Bukhari (194-256H), Muslim (206-261H),[7]
Berdasar hadits ini, orang yang mengasuh anak yatim secara baik, bakal berada di surga berasama Rasul SAW.
4. Memelihara anak yatim mesti waspada, jangan sampai hartanya rusak akibat salah mengelolanya. Jika diperkirakan tidak mampu, lebih baik tidak menjadi pengasuh anak yatim. Berbuat baik terhadap anak yatim bisa dilakukan dengan cara yang lain. Dari Abi Dzar, diriwayatkan [8]
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي لَا تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلَا تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ
Bahwa Rasul SAW memberi nasihat kepadanya: Wahai Abu Dzar, saya memandangmu mempunyai kelemahan. Saya mencintaimu seperti mencintai diriku sendiri. Janganlah kamu mengurusi dua hal, jangan pula mengurus harta anak yatim. Hr. Muslim,[9]
Dalam hadits ini terungkap nasihat rasul terhadap Abu Dzar agar jangan mengurus dua hal yang cukup berat yaitu urusan kemasalahatan dunia seperti pemerintahan dan urusan akhirat, seperti keagmaan sekalgus, karena terdapat kelemahan.[10] Dengan demikian pesan Rasul SAW itu menunjukkan saking sayangnya kepada Abu Dzar. Dalam hadits ini juga tersirat anjuran agar setiap muslim berhati-hati untuk memikul tanggung jawab. Jika dirasakan kurang mampu, jangan terlalu berani mengambil resiko yang berakibat merugikan yang lain. Mengasuh anak yatim merupakan tanggung jawab yang berat, bila tidak mampu lakukanlah dengan cara yang lain yang lebih aman dan membawa kemaslahatan bersama.
5. Jika pengasuh terpaksa mesti memakan harta anak yatim hendaklah dengan cara yang baik dan sesuai kebutuhan tidak melanggar hukum perburuhan yang haknya sesuai dengan kewajiban. Dari Amr bin Syu’aib[11] dari ayahnya,[12] dari kakeknya,[13] diriwayatkan sebagai berikut:
أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي فَقِيرٌ لَيْسَ لِي شَيْءٌ وَلِي يَتِيمٌ قَالَ كُلْ مِنْ مَالِ يَتِيمِكَ غَيْرَ مُسْرِفٍ وَلَا مُبَاذِرٍ وَلَا مُتَأَثِّلٍ
Bahwa ada seorang laki-laki menghadap Rasul SAW mengatakan: Wahai rasul saya faqir, tidak mempunyai biaya hidup dan punya anak yatim yang mempunyai harta? Rasul bersabda: Makanlah dari hartanya tanpa berlebihan, tidak boros, dan tidak merugikan. Hr. al-Nasa`iy[14]
Dengan demikian, memakan harta anak yatim itu tidak diperbolehkan, kecuali hanya sebagai upah dari pengelolaannya. Syaratnya adalah tidak boleh boros, tidak merugikan, tidak pula berlebihan, melainkan hanya sseuai dengan hak dan kewajibannya.
6. Menukar harta anak yatim dengan yang kurang baik, merupakan dosa yang sangat besar. Hukumannya langsung dari Allah SWT, baik di dunia kini, maupun di kahirat kelak.
[1]Syihab al-Din Ibn Hajar al-Asqalani (773H-852H) Al-‘Ijab fiy bayan al-Asbab, II h.824
[2] Mushthafa al-Maraghi, tafsir al-Maraghi, IV h.178-179
[3] Tafsir al-Baydlawi, II h.141
[4] Abu Hurairah aslinya bernama Abd al-Rahman bin Shahr (21sH-57H), pada penaklukan Khaibar (muharram 7H) beliau masuk Islam, kemudian menjadi sekretaris pribadi Rasul, dan menjadi ahl al-Shuffah (bertempat tinggal di Paviliun Masjid Nabawi). Meriwayatkan 5364 hadits
[5] Shahih al-Bukhari, V h.2515, Shahih Muslim, I h.92
[6] Sahl bin Sa’d bin Malik, Abu al-Abbas, Shahabat, Anshar, wafat di Madinah 88H
[7] Shahih al-Bukhari, V h.2237, Shahih Muslim, hadits nomor 5296
[8] Abu Dzar al-Ghifari, masuk Islam sejak masih awal kenabian, dikenal sebagai shahabat yang zuhud dan memiliki semangat jihad yang tinggi. Ia yang paling awal menyampaikan salam penghormatan Islam kepada Rasul SAW. (al-Ashbahani, Rijal Muslim, I h.119)
[9] Shahih Muslim, III h.1457
[10] Al-Suyuthi (849H-911H), Syarh al-Suyuthi, VI h.255
[11] Amr bin Syu’aib bin Muhammad bn Abd Allah bin Amr, Abu Ibrahim, al-Qurasyi, al-Shughra min al-Tabi’in, w.118H
[12] Syu’aib bin Muhammad bin Abd bin Amr bin al-Ash, al-Wustha min al-tabi’in
[13] Abd Allah bin Amr bin al-Ash, Abu Muhammad, al-Qursyi, Shahabat, wafat di Tha`if, 63 H
[14] al-sunan al-Kubra, IV h.113