TAFSIR BASMALAH
01. KAJIAN AL-BASMALAH
A. Teks Basmalah dan Terjemahnya
Dengan nama Allâh Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Al-Qur`ân Surat[1] 1:1
B. Kaitan dengan Ayat Lain
Kalimat بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ini diberi nama البَسْمَلة (basmalah). Dikaitkan dengan ayat lain, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ‘ulama, apakah basmalah ini termasuk ayat pertama dari al-Fatihah, ataukah mempunyai kedudukan lain? Perbedaan tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Pendapat pertama:
Menurut pendapat pertama, Basmalah itu termasuk ayat pertama dari surat al-Fatihah dan ayat:30 dari surat al-Naml. Alasan pendapat ini antara lain hadits sebagai berikut:
عَنْ ابى هُرَيْرَة رَضِى الله عَنْه عَنِ النَّبيِّ صلى الله عليه وسلم انَّهُ كَانَ يَقُوْلُ الحَمْدُ لله رَبِّ العَالَمِين سَبْعُ آيَات احْدَاهُنَّ بِسْمِ الله الرَّحْمنِ الرَّحِيْم وَهِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِى وَالقُرْآن العَظِيْم وَهِىَ اُمُّ القُرْآن وَهِيَ فَاتِحَةُ الكِتَاب
Dari Abi Hurairah radlya Allâh ‘anhu[2] dari Nabi Shalla Allâh ‘alayhi Wa sallam,[3] beliau bersabda الحَمْدُ ِللهِ رَبِّ العَالَمِيْن itu terdiri tujuh ayat, salah satunya adalah بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم dan ia tujuh ayat yang berulang, sebagai al-Qur`ân yang agung, sebagai induk al-Qur`ân dan sebagai pembuka al-Qur`ân. Hadîts Riwayat[4] al-Daruquthni (lahir 306 tahun Hijriah wafat 385 tahun Hijriyah)[5], al-Bayhaqi (384-458 H).[6]
Menurut Ali al-Haytsami (wafat 807 Hijri[7]), Hadîts ini diriwayatkan pula oleh al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Awsath dengan para rawinya orang-orang tsiqat atau yang dapat di-percaya.[8] Menurut Al-Syafi’iyah[9] dan al-Hanabilah,[10] karena basmalah itu termasuk surat al-fatihah, maka dalam shalat mesti dibaca. Jika membaca al-fatihah, maka mesti diawali basmalah. Namun al-Hanabilah berpendapat bahwa membaca basmalah ketika shalat, tidak perlu jahar, melainkan sirr, walau sedang jahar.[11] Sedangkan menurut al-Syafi’iyah mesti jahar dikala bacaannya jahar, dan sirr di kala bacaan sirr. Adapun alasan keharusan membaca basmalah ketika membaca surat al-Fatihah antara lain Hadîts berikut:
إذَا قَرَأْتُم الحَمْد لله فَاقْرَؤُا بِسم الله الرحمن الرحيم انَّهَا اُمُّ القُرْآن وَاُمُّ الكِتاب وَالسَّبْع الْمَثَانِى وَبسْم اللهِ الرّحَمَنِ الرَّحيم اِحْدَاهَا
Jika kalian membaca surat al-Hamdu li Allâh, maka hendaklah membaca بِسْمِ الله الرَّحْمنِ الرَّحِيْم sesungguhnya ia adalah induk al-Qur`ân, induk al-Kitab dan tujuh ayat yang berulang, dan بِسْمِ الله الرَّحْمنِ الرَّحِيْم merupakan salah satunya. Hr. al-Bayhaqi, al-Daruqthni, al-Daylami (445-509H).[12]
Ibn Hajar al-Asqalani (w.852H),[13] berpandangan bahwa Hadîts ini termasuk mawqûf,[14] karena hanya sampai pada shahâbat[15] yang bernama Abu Hurairah r.a (21 sH- 57 H).
2. Pendapat kedua:
Abd Allâh bin al-Mubarak berpendapat bahwa Basmalah termasuk ayat pertama dari seluruh surat dalam al-Qur`ân selain al-Tawbah, dan merupakan salah satu ayat dari al-Naml.[16] Alasan pendapatan ini antara lain sebagai berikut:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ بَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ بَيْنَ أَظْهُرِنَا إِذْ أَغْفَى إِغْفَاءَةً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ مُتَبَسِّمًا فَقُلْنَا مَا أَضْحَكَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُنْزِلَتْ عَلَيَّ آنِفًا سُورَةٌ فَقَرَأَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ { إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ }
Dari Anas bin Malik[17] berkata: Pada suatu hari, Rasûl berada di tengah-tengah kami, tiba-tiba tertidur sejenak dan langsung bangun sambil tersenyum. Kami bertanya: Ya Rasûl! Apa yang menyebabkanmu tersenyum? Rasûl saw bersabda: “Baru saja turun ayat kepadaku satu surat” dan beliau membaca:بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ (Bismillahirrahmanirrahim, Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu ni`mat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.) Hr. Muslim (202-261H).[18]
Hadîts ini di samping dijadikan alasan oleh ulama yang berpendapat bahwa basmalah sebagai ayat pertama dari berbagai surat, juga dijadikan dasar membaca basmalah tatkala membaca al-Qur`ân. Namun di antara ulama ada yang berpendapat bahwa membaca basmalah itu, dilakukan tatkala membaca Al-Qur`ân sejak ayat pertama.
3. Pendapat ketiga
Al-Malikiyah dan al-Hanafiyah berpendapat bahwa basmalah tidak termasuk ayat pertama pada surat apa pun, melainkan hanya merupakan salah satu ayat dari surat al-Naml. [19] Menurut mereka, jika basmalah itu termasuk ayat pertama dari al-Fatihah, tentu Rasûl SAW dan shahabat membacanya secara jahar ketika shalat jahar. Kenyataannya terdapt beberapa riwayat menyatakan banyak shahabat yang tidak menjaharkan bahkan tidak membaca basmalah ketika shalat.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَفْتَتِحُ الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيرِ وَيَفْتَتِحُ الْقِرَاءَةَ بِ ( الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ) وَيَخْتِمُهَا بِالتَّسْلِيمِ
Hadîts dari ‘Aisyah menerangkan adalah Rasûl SAW membuka shalat dengan takbir, membuka bacaan dengan الحَمْد لله رَبِّ العَالَمِيْنdan menutup (mengakhiri) shalat dengan salam. Hr. Ibn Abi Syaibah (159-235H) dan al-Darimi (181-255H).[20]
عَنْ أَنَسٍ قَالَ صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَكَانُوا لَا يَجْهَرُونَ بْ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Anas bin Malik menerangkan: “Saya shalat di belakang Rasûl SAW, juga di belakang Abu Bakar, Umar, dan utsman, mereka tidak menjaharkan بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ Hr. Ahmad (164-241 H) dan Ibn Hibban (w.354 H).[21]
Hadîts ini menyatakan bahwa Anas bin Malik yang berusia hingga 103 tahun (10 sH – 93 H), sempat berma`mum kepada Rasûl SAW, kepada Abu Bakr, dan Utsman. Beliau menyatakan tidak pernah mendengar Rasûl SAW dan ketiga shahabat membaca basmalah ketika shalat. Hadits lainnya menyatakan sebagai berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ حَدَّثَهُ قَالَ صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكَانُوا يَسْتَفْتِحُونَ بِ الْحَمْد لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا يَذْكُرُونَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فِي أَوَّلِ قِرَاءَةٍ وَلَا فِي آخِرِهَا
Dari Anas bin malik diriwayatkan bahwa ia berkata: “Saya shalat di belakang Rasûl SAW, Abu Bakr, Umar dan utsman. Mereka memulai bacaannya dengan الْحَمْد لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ tidak membaca بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ baik di awalnya, mapun di akhirnya (setelah baca fatihah). Hr. Muslim dan Abu ‘Awanah (w.316H).[22]
Berdasar Hadîts ini, Rasûl saw dan ketiga Shahabat tidak membaca basmalah, baik di awal surat al-fatihah maupun di awal surat yang lain setelah al-fatihah dalam shalat. Kedua dasar hukum ini dijadikan dalil oleh sebagian ulama bahwa basmalah tidak termasuk pada al-fatihah maupun awal surat lain. Jika basmalah termasuk awal surat fatihah, tentu saja Rasûl SAW dan Shahabat akan membacanya secara jahar ketika shalat jahar. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa basmalah yang terdapat di awal surat itu hanya merupakan pemisah antara surat yang satu dengan yang lainnya dalam al-Qur`ân. Menurut mereka basmalah itu hanya merupakan salah satu ayat dari al-Naml, dan tidak masuk pada surat yang lainnya.
C. Tinjauan Historis
Terlepas dari perbedaan pendapat apakah basmalah itu termasuk ayat pertama dari al-Fatihah, atau ayat pertama dari seluruh surat dalam al-Qur`ân selain al-Tawbah, ataukah bukan ayat pertama dari surat apa pun, yang jelas secara historis sudah dikenal sejak Rasûl SAW di Makkah. Oleh karena itu mayoritas ahli sejarah berpendirian bahwa basmalah itu turun di Makkah. Dari ‘Amr bin Surahbil diriwayatkan bahwa setelah Siti Khadijah bersama Rasûl SAW bertemu dengan Waraqah bin Nawfal[23], menerima wahyu surat al-fatihah. Rasûl membaca wahyu tersebut dengan diawali basmalah.[24] Dengan demikian kalimat basmalah sudah ada sejak awal kenabian Rasûl SAW.[25] Hadîts di atas, juga menunjukkan bahwa Rasûl SAW. membaca basmalah ketika membacakan surat al-Kautsar. [26] Sedangkan surat al-Kautsar, termasuk ayat Makiyah,[27] karena turun sebelum Rasûl SAW hijrah dari Mekah ke Madinah. Bahkan dalam surat al-Naml, diterangkan bahwa Nabi Sulaiman mengirim surat ke ratu Bilqis dengan diawali Basmalah, sebagaimana ditandaskan:
إِنَّهُ مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Sesungguhnya surat itu, dari Sulaiman dan sesungguhnya (isi) nya: “Dengan menyebut nama Allâh Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Qs.27:30
Jika Nabi Sulaiman telah menggunakan kalimat ini, maka dapat difahami bahwa basmalah itu sudah ada sejak lama, bahkan Rasûl SAW, belum diutus.
D. Tafsir Kalimat
1. Kalimat بِسْمِ اللَّهِ
Kalimat ini, aslinya terdiri dari tiga kata yaitu بِ, dengan, إسم nama, dan ألله. Perkataan بِ mempunyai cukup banyak ma’nanya. Al-Ghalayini, dalam kitabnya Jami al-Durus al-Arabiyah yang selesai disusun tahun 1330 H (1912 M), menjelaskan arti perkataan بِ , hingga tiga belas ma’na,[28] seperti (1) ilshaq yang berma’na dengan, (2) al-isti’anah (pertolongan atau bantuan), (3) al-sababiyah (sebab atau karena), (4) al-ta’diyah (berfungsi mentransitifkan kata kerja yang intransitif), (5) al-Qasam (sumpah), (6) al-‘Iwadl (tebusan), (7) al-Badl (pengganti), (8) al-Zharfiyah (berarti pada, di), (9) al-Mushahabah (berma’na beserta), (10) al-Tab’idliyah (sebagian), (11) ma’na عن (tentang), (12) al-Isti’la ( atas), dan (13) al-ta`kid atau al-zâ`idah, sebagai kata tambahan untuk penguat kata setelahnya. Dengan demikian arti بِسْم اللهِ antara lain: (1) dengan nama Allâh, (2) mohon bantuan dan pertolongan Allâh, (3) karena dan dilatarbelakangi Allâh, (4) demi nama Allâh, (5) berada pada nama Allâh, (6) disertai atau bersama nama Allâh, dan (7) atas nama Allâh. Lafazh ألله menurut sebagian ulama merupakan ism jâmid,[29] yaitu nama milik Allâh Subhânah Wa Ta’âlâ[30] yang tidak boleh digunakan sebagai nama selain-Nya. Oleh karena itu dinamakan لَفظ الجَلاَلَة istilah bagi yang memiliki keagungan melebihi yang lain-Nya. Sedangkan sebagian lagi beranggapan bahwa nama Allâh itu merupakan ism musytaq.[31] Menurut sebagian ulama, bahwa lafazh ألله Allâh itu berasal dari kata ألإله al-`ilâh. أَلِهَ – يَأْلَهُ – إِلهَةً أُلُهَة berma’na menyembah. إله berarti yang disembah yang di-pertuhankan.[32] Dengan demikian, menurut mereka lafazh ألله ber-ma’na dzat yang patut dan berhak disembah. Tiada tuhan yang berhak disembah dan dipertuhankan selain Allâh SWT.
2. Lafazh الرَّحْمَنِ
Lafadz الرَّحْمَن yang tulisan aslinya adalah الرَّحْمَان merupakan salah satu dari الأسماء الحُسْنى al-`asmâ` al-Husnâ nama-nama Allâh SWT yang Maha baik, berasal dari الرَّحْمة yang berma’na curahan kasih sayang tidak terhingga dan tidak terbatas. الرَّحْمَن berarti Yang Maha pemberi kasih pencurah sayang, tiada terhingga. Allâh SWT mencurahkan kasih sayang tidak ada batasnya dan tanpa pilih bulu. Siapa pun makhluq tetap mendapatkan kasih sayang Allâh SWT, selama hidup di dunia.
Oleh karena itu perkataan Al-Rahmân sering dima’nai Maha pengasih dunia dan akhirat.[33] Ada pula ulama yang menerjemah-kannya dengan Maha Pemberi ni’mat terbesar.
3. Lafazh ِ الرَّحِيم
Lafazh الرَّحِيم juga merupakan salah satu dari al-`asmâ` al-Husnâ, secara bahasa berasal dari الرحمة . Namun lafazh ini lebih khusus dari الرَّحْمَن yang mencurahkan rahmat tanpa pilih kasih. Lafazh الرَّحِيم berma’na yang Maha mencurahkan kasih, khusus kepada hamba-Nya yang taat dan patuh pada-Nya. Nama Allâh ini diterapkan di hari akhir, karena Ia tidak memberi rahmat pada saat itu, kecuali kepada hamba-Nya yang shalih. Mahmud Hijazi menandaskan وَكَان بِالمُؤْمِنِينَ رَحِيْمًا Allâh SWT adalah Rahîm pada orang-orang mu`min.[34]
E. Beberapa Ibrah
1. Kalimat basmalah, yang berbunyi بسم الله الرَّحْمنِ الرحِيْم merupakan kalimah thayibah (kalimat yang baik dan ibadah) yang tidak pernah terlepas dari lidah mu`min. Kalimat inilah yang selalu dibaca setiap mengawali pekerjaan. Tentu saja kalimat ini bukan hanya sekedar penghias lisan, tapi merupakan ikrar dan tekad setiap muslim dalam sikap, ucap dan perbuatannya. Persoalannya sekarang; sampai di mana kalimat ini dapat dihayati dan di-wujudkan dalam perbuatan. Inilah pentingnya menghayati dan menelaah makna dan hikmah basmalah.
2. Ada tiga nama Allâh SWT yang tertera pada kalimat basmalah itu; nama Allâh, yang dikenal dengan لَفْظُ الْجَلاَلة nama Al-Rahmân dan nama Al-Rahîm. Ketiga nama tersebut termasuk al-Asma al-Husna, nama-nama Allâh yang terbaik, yang masing-masing memiliki karakteristik. لَفْظُ الْجَلاَلة merupakan lambang keagungan, keperkasaan, dan kekuasaan Allâh SWT. Nama ini disebut dalam setiap mengawali pekerjaan, akan menumbuhkan semangat tauhid yang meyakini satu-satunya yang berkuasa dan berhak dipertuhankan. Seorang muslim pantang untuk patuh dan tunduk kepada siapa pun, kalau perintahnya tidak sesuai dengan aturan Allâh SWT.
3. Bismi Allâh yang berarti dengan nama Allâh. Maka dengan namanya kita mulai pekerjaan. Bismillah juga berarti atas nama Allâh, maka atas nama-Nya kita berbuat, berucap dan bersikap. Bismillah juga berarti karena Allâh, maka hanya mencari rido Allâh tujuan segala perbuatan dan tindakan. Dengan pandangan ini, juga tertanam dalam jiwa, merasa dilindungi dan diawasi oleh Allâh SWT. Karena merasa dilindungi, maka tidak akan takut bertindak yang benar walau di hadapan siapa pun. Karena merasa diawasi, maka selalu berhati-hati dalam berbuat, jangan sampai terpeleset pada kema’siatan. Orang yang selalu mengucapkan basmalah dengan sepenuh hati, tidak akan melakukan penyelewengan atau penyimpangan dari koridor syari’ah Islâm, karena hati dan perasaannya terikat dan terkait dengan Allâh SWT.. Sebaliknya orang yang tidak mengucapkan basmalah dalam mengawali pekerjaan, terputus hubungan dengan Allâh SWT.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ كَلَامٍ أَوْ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُفْتَحُ بِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَهُوَ أَبْتَرُ أَوْ قَالَ أَقْطَعُ
Diriwayatkan dari Abi Hurairah, Rasûl SAW bersabda: setiap perkataan atau urusan, pekerjaan yang tidak dibuka dengan menyebut nama Allâh ‘Azza wa Jalla, adalah sia-sia atau terputus. Hr. Ahmad.[35]
Dalam riwayat lain redaksi haditsnya berbunyi:
كُلُّ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيهِ بسم الله الرحمن الرحيم أَقْطَعُ
Setiap pekerjaan yang bernilai, tapi tidak diawali bismillahirrahmanirrahim, akan terputus.[36]
Terputus hubungan dengan Allâh, mengakibatkan perbuatan tersebut tidak mempunyai arti di sisi-Nya. Kemudian asmâ Allâh dalam basmalah tersebut dirangkaikan nama al-Rahmân dan Al-Rahîm. al-Rahmân melambangkan sifat Allâh yang selalu menucurahkan kasih tanpa pilih kasih. Siapa pun manusia, baik yang taat atau pun ma’siat, tetap mendapat kasih sayang Allâh SWT. Ucapan al-Rahmân, yang melambangkan kasih sayang Allâh, senantiasa membasahi bibir kaum muslimin. Dengan ini diharapkan, agar umat, menjalin kasih sayang sesamanya. Kasih sayang, tidak hanya terletak pada lisan, tapi juga terwujud dalam pergaulan. Namun sifat al-Rahmân ini diberlakukan oleh Allâh SWT, selama hidup manusia di dunia. Jika dunia ini telah berarkhir, dan manusia pindah ke alam akhirat, Allâh SWT menerapkan sifat Al-Rahîm. Dia hanya akan mengasihi manusia yang taat beribadah. Orang yang kufur kepada Allâh SWT, di akhirat tidak akan mendapat rahmat. Allâh SWT menyiksa orang kafir. Orang kafir bisa saja selama hidup di dunia menggunakan fasilitas yang Allâh sediakan. Di akhirat, orang kafir, tidak mungkin bisa meni’mati rahmat Allâh. Dengan demikian, Allâh SWT, baik memberikan pahala kepada yang beriman, maupun menyiksa orang kafir, tetap merupakan bukti kasih sayang-Nya. Orang mu’min mendapatkan pahala, sebagai hasil usahanya, merupakan bukti kasih sayang Allâh. Orang kafir pun yang dila’nat Allâh, adalah bukti kasih sayang Allâh SWT juga kepada makhluq. Tegaslah tidak ada yang dizhalimi Allâh SWT. Orang kafir disiksa di neraka, karena Allâh SWT adil menerapkan sifat Al-Rahîm. Orang mu’min masuk surga, juga karena rahmat dan keadilan Allâh SWT. Karena nama Al-Rahîm, diucapkan umat Islâm, mereka pun akan berlaku adil dalam segala hal, dan berhati-hati dalam bertindak. Agar kasih sayang yang dilambangkan al-Rahman dan Al-Rahîm itu tetap diraih, kita harus tetap mengikuti petunjuk Allâh SWT.
[1] Selanjutnya ditulis Qs. dan angka setelahnya menunjukkan nomor surat, sedangkan setelah titik dua (:) menunjukkan nomor ayat.
[2] radlya Allah ‘anhu berarti semoga Allah mencurahkan keridoan kepadanya, selanjutnya ditulis r.a
[3] Shalla Allah ‘alayhi Wa sallam, berarti semoga Allah mencurahkan rahmat dan keselamatan serta kesejahteraan padanya, selanjutnya ditulis SAW.
[4] Hadits Riwayat, selanjutnya ditulis Hr.
[5] selanjutnya ditulis hanya angkanya, baik tahun lahir maupun tahun wafat
[6] Sunan al-Daruquthni, I (angga rumawi ini menunjukkan nomor jilid) halaman (selanjtnya ditulis h.) 312, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, II h.45
[7] wafat selanjutnya ditulis w., dan tahun Hijri selanjutnya ditulis H. tahun sebelum Hijrah Rasul, ditulis sH.
[8] Ali bin Abi Bakr al-Haytsami, Majma’ al-Zawa`id, II h.109
[9]pengikut madzhab Imam al-Syafi’iy, yaitu Muhammad ibn Idris ibn al-Abbas ibn Syafi’i (154-204H). Kitab, karya beliau yang sangat populer adalah al-Umm, al-Risalah dan hadits-hadits yang diriwayatkannya telah dibukukan dalam Musnad al-Syafi’i
[10] pengikut madzhab Imam Hanbali, yaitu Abu Abd Allah Ahmad ibn Hanbal al-Syaibani (164-241H). Kitab beliau yang paling populer adalah Musnad Ahmad.
[11] bacaan jahar adalah bersuara nyaring hingga terdengar orang lain, dan sirr suaranya tidak terdengar orang lain.
[12] Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, II h.45, Sunan al-Daruqthni, I h.312, al-Firdaws, I h.268
[13] Ibn Hajar al-Asqalani, al-Dirayat fi takhrij ahadits al-Hidayat, I h.133
[14] hadits mawqûf ialah hadits yang tidak sampai kepada Nabi SAW, melainkan hanya pada shahabat. Dengan kata lain hadits tersebut tidak disambdakan Rasul SAW, mungkin hanya pendapat atau perkataan shahabat.
[15] Shahâbat ialah orang yang bertemu dengan Rasul SAW dalam keadaan muslim dan wafat sebagai muslim.
[16] Wahbat al-Zuhayli, al-tafsir al-Munir, I h.47
[17] Anas Bin Malik, (10 sH – 93 H), berputra 80 dan 2 putri, Shahabat, karena sebagai Khadim Rasul, dapat meriwayatakan lebih dari 2250 hadits langsung dari Rasul SAW.
[18] Abu al-Husayn Muslim ibn al-Hajaj, Shahih Muslim, I h.300
[19] Malikiyah pengikut madzhab Imam Malik bin Anas (94-179H), yang terkenal dengan nama Imam Dar al-Hijrah, sebab sejak lahir sampai wafat bertempat tinggal di Madinah. Kitab yang paling populer karya beliau adalah al-Muwaththa. Hanafiyah adalah pengikut Imam Abi Hanifah (80H-150H), yaitu Nu’man bin Tsabit, tergolong tabi’in karena sempat bertemu dengan shahabat seperti Anas bin Malik dan Abd Allah bin Abi Awfa. Pandangan beliau banyak ditulis oleh Imam Abu Yusuf, Zufar, Abu Mu’thi, Waki’
[20] Mushannaf Ibn Abi Syaibah, I h.360, Sunan al-Darimi, I h.308
[21] Musnad Ahmad, III h.179, Shahih Ibn Hibban, V h.105
[22] Shahih Muslim, I h.299, Musnad Abi ‘Awanah, II h.122
[23] Khadijah adalah isteri pertama Rasul SAW dan Waraqah adalah paman Khadijah yang wafat di awal kenabian Rasul SAW.
[24] Muhammad bin Ali al-Syawkani, (w.1250H), Fath al-Qadir, I h.14
[25] Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul ketika berusia empat puluh tahun, setelah lima belas tahun menikahi Khadijah, dengan turunnya wahyu pertama yaitu surat al-‘Alaq:1-5 di Goa Hira.
[26] perhatikan hadits yang dikutip pada bagian keterkaitan dengan ayat lain (Shahih Muslim, I h.300).
[27] ayat Makiyah ialah ayat-ayat yang turun sebelum Rasul SAW. hijrah dari Mekkah ke Madinah. Sedangkan ayat yang turun sesudah Rasul berhijrah dinamakan ayat Madaniyah, walau di mana pun tempat turunya.
[28] Mushtafa al-Ghalayini, Jami al-Durus al-‘Arabiyah, III h.166-169
[29] bukan kata jadian, melainkan kata asal
[30] Subhânah wa Ta’âlâ berarti Maha Suci dan Maha tinggi, selanjutnya ditulis SWT.
[31] Kalau ism jamid ialah kata yang asli tidak ada kata asal, sedangkan musytaq adalah kata jadian yang ada kata asal, karena terbentuk dari kata kerja.
[32] Abu Bakr al-Jaza`iri, Aysar al-Tafâsîr, I h.11
[33] Abu Nu’aym al-Ashbahani (w.430H), Huliyyat al-Awliya, VII h.251
[34] Muhammad Mahmud Hijazi, al-Tafsîr al-Wâdlih, (tuntas disusun olehnya 2-Dzul-Qa’dah 1374 H /22-6-1955M) I h.9
[35] Musnad Ahmad, II h.359
[36] Abu al-Thayyib, Syams al-Haq, ‘Awn al-Ma’bud, XIII h.127