TANGGUNG JAWAB ORANG TUA TERHADAP ANAK
TANGGUNG JAWAB ORANG TUA TERHADAP ANAK USIA DINI
بسم الله الرحمن الرحيم
A.Muqaddimah
Setiap manusia membutuhkan perlindungan dan pendidikan, karena ketika lahir ia tidak mempunyai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Allah SWT berfirman:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. Al-Qur’an surat ([1]) 16:78
Ayat ini mengisyaratkan bahwa anak ketika dilahirkan tidak mempunyai pengetahuan apa pun, tapi telah dibekali alat pendengaran, penglihatan dan alat berfikir dan berperasaan yaitu af’idah. Namun anak yang dilahirkan itu bukan berarti kosong tanpa potensi yang telah diberikan Allah SWT. Anak yang dilahirkan sudah dibekali fithrah yang telah Allah SWT anugerahkan kepadanya sejak sebelum lahir. Abu Hurairah (21 sH- 57 H), meriwayatkan bahwa Rasul SAW bersabda:
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيمَةُ بَهِيمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّونَ فِيهَا مِنْ جَدْعَاءَ
Tidak ada manusia yang dilahirkan kecuali atas fitrah, orang tuanya yang menjadikan ia yahudi, atay nashranai atau mjusia, tak ubahnya hewan yang dilahirkan sebagai hewan secara utuh. Apakah kalian menyangka ada yang kurang? Hadits riwayat [2] al-Bukhari (194-256H)[3] dan Muslim (206-261 H)[4]
Berdasar hadits ini, tidak ada bayi yang dilahirkan kecuali telah dibekali fithrah. Fithrah yang dimaksud adalah al-Islam, sebagaimana disabdakan Rasul ketika Asma melahirkan Ibn Jubair di Quba.[5] Fitrah Islam di sini adalah berupa potensi dasar yang dibekalkan Allah SWT kepada anak yang dilahirkan, hingga tatkala dewasa ia bisa melaksanakan syari’ahnya secara sempurna.[6] Namun anak itu, walau telah dibekali fithrah, tidak semua menjadi muslim yang baik, karena begitu dilahirkan, langsung setan akan menggangunya.[7] Orang tua, pendidik, bertanggung jawab membimbing anak ke arah fithrah Islam jangan sampai menyimpang diakibatkan oleh gangguan setan. Orang dewasa mempunyai peranan penting pada perkambangan anak selanjutnya. Apakah anak itu tetap dalam fithrah Islam, ataukah menjadi yahudi, nashrani, majusi, sangat dipengaruhi oleh usaha orang dewasa.[8] Oleh karena itu orang dewasa bertanggung jawab mendidik anak menjadi muslim yang paripurna. Al-Qur’an dan al-Sunnah memberikan bimbingan tentang bagaimana mendidik anak secara baik. Persoalannya adalah apa dan bagaimana mendidik anak berdasar al-Qur’an dan al-Sunnah itu? Sejak kapan orang dewasa mesti mendidik anaknya? Apa yang mesti dijadikan materi pendidikan yang mesti diberikan kepada anak yang masih kecil?
B. Percikan al-Qur’an dan al-Sunnah
- 1. Tanggung Jawab orang tua masa konsepsi
Allah SWT berfirman:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ ءَابَاؤُنَا مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِنْ بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ الْمُبْطِلُونَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”, atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?” Qs.7:172-173
Abu Bakr al-Jazairi (1993M), menerangkan bahwa perjanjian manusia dengan Allah SWT tentang tauhid dan menjauhi syirk diawali oleh Nabi Adam alaih al-Salam[9], ketika turun ke bumi bertempat di wadi Nu’man di kawasan padang Arafah.[10] Menurut Wahbah al-Zuhaili (1991 M),[11] ayat ini memberikan isyarat antara lain (1) Allah menciptakan manusia atas fithrah tauhid, karena telah berikrar sejak sebelum dilahirkan akan keesaan tuhannya dan tidak ada sekutu bagi-Nya. (2) Manusia tidak mempunyai alasan untuk tidak mengetahui tuhan karena telh melihat bukti-buktinya dengan berbagai ayat. Tidak ada alasan pula bagi manusia yang mengatakan tidak sampai da’wah Rasul padanya. Allah SWT telah memberikan bekal aqal untuk memilih mana yang benar mana yang salah. (3) Jika ada bayi yang masih kecil meninggal, maka menjadi ahli surga, karena dalam keadaan tauhid yang diikrarkannya. Jika mereka telah baligh, maka perjanjian awal tidak menjadikan alasan untuk bebas dari tuntutan. (4) ayat ini juga membatalkan alasan orang musyrik pada hari kiamat yang menyatakan tidak sampai da’wah pada mereka. (5) menyandarkan kesalahan aqidah pada nenek moyang juga dibatalkan oleh ayat ini, karena manusia telah dibekali fikiran dan perasaan untuk mempertimbangkan dalail-dlil ketauhidan. (6) Allah SWT tidak menerima dalil taqlid, karena telah datang dengan jelas dasar-dasar fithriyah dan aqliyah yang menunjukkan keesaan Allah SWT. Nabi Adam a.s, telah berikrar mewakili keturunannya untuk bertauhid dan menjauhi syirik, sebagai model bagi keturunannya. Dengan demikian setiap orang dewasa bertanggung jawab mendidik anak sejak dini untuk bertauhid. Bahkan mereka bertanggung jawab mempersiapkan anak sebelum dilahirkan, agar bertauhid. Inilah salah satu makna dari do’a agar anaknya dijauhkan dari setan yang dipanjatkan suami istri tatkala mau berjima. Ibn Abbas (3 sH – 68 H), meriwayatkan bahwa Rasul SAW bersabda:
لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا
Jika seseorang hendak bergul suami istri berdo’a:بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا”Dengan nama Allah. Ya Allah jauhkan kami dari setan dan jauhkan setan dari apa yng Engau anugerhkan kepada kami.” Maka jika Allah SWT menganugerahi anak pada mereka, akan terhindar dari godaan setan. Hr. al-Bukhari, Muslim,[12] dan Ibn Hibban (w.354 H), [13]
- 2. Menjaga dan mendidik anak ketika dikandung
Allah SWT berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ ءَاتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ
Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: “Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang shalih, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur”. Qs.7:189
Mahmud Hijazi berpendapat bahwa ayat ini memberikan penjelasan tentang Allah SWT menciptakan menusia dari jenis sama, tabi’at yang satu, kemudian berpasangan suami isteri, agar meraih ketenangan. Tatkala pasangan itu bergaul menmbulkan kehamilan yng semakin beasr. Di kala istrinya hamil, maka suami isteri itu berdo’a dan berjanji, andaikan keturunnya itu shalih, akan bersyukur.[14] Berdasar ayat ini pendidikan anak dalam kandungan dengan cara banyak berdo’a, bersyukur, dan menjauhi hal-hal yang bertentangan dengan syari’ah.
3. Proteksi anak ketika dilahirkan
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَوِّذُ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ أُعِيذُكُمَا بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ ثُمَّ يَقُولُ كَانَ أَبُوكُمْ يُعَوِّذُ بِهِمَا إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَقَ
Dari Ibn Abbas diriwayatkan bahwa Rasul SAW memohonkan perlindungan bagi Hasan dan Husain (tatkala dilahirkan). Beliau berdo’a:أُعِيذُكُمَا بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّة ” Aku berlindung untukmu dengan kalimat Allah yang sempurna dari segala setan yang jahat, dari segala kuman yang mengandung racun, dari semua mata membahayakan.“. Beliau juga menandskan bahwa cara demikian dilakukan oleh Nabi ibrahim untuk ptranya; Isma’il dan Ishaq. Hr. Abi Daud (202-275 H),[15] dan al-Thabarani (260-360H).[16]
Hadits ini mengisyaratkan bahwa orang tua mesti selalu melindungi anaknya dari segala godaan, gangguan dan pengaruh negatif setan. Sedangkan setan itu terdiri dari setan jin dan setan manusia. [17]
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَوِّذُ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ وَيَقُولُ إِنَّ أَبَاكُمَا كَانَ يُعَوِّذُ بِهَا إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ
Dari Ibn Abbs diriwayatkan, adalah rasul SAW memohon perlindungan untuk Hasan dan Husen. Belieu bersabda: sesungguhnya ayahmu berlindung dengan kalimah untuk Isdma’il dan Ishaq: أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ” Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari segala setan yang jahat, dari segala kuman yang mengandung racun, dari semua mata membahayakan Hr.al-Bukhari.[18]
Dengan dua redaksi yang berbeda tersbut bisa difahami, jika berdoa secara langsung di hadapan bayi, maka do’anya أُعِيذُكَ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ sedang jika tidak langsung dihadapan bayi bisa dengan mendo’akannya أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ
Al-Mubarakfuri (1283-1353H), berpendapat bahwa yang dimohonkan Rasul SAW dalam do’a kelahiran itu agar bayi mendapat perlindungan Allah dari segala pengaruh negatif, dan ancaman, baik yang datang dari dalam diri, seperti setan jin maupun dari luar seperti ucapan dan lingkungan manusia.[19] Dalam dua macam do’a tersebut juga mengandung ma’na bahwa tanggung jawab orang tua ketika bayi dilahirkan antara lain (1) menjauhkan bayi dari pengeruh lingkungan yang negatif, (2)menjaga kesehatan bayi jangan sampai terkena virus atau racun, (3) melindungi bayi dari mara bahaya, baik yang bersifat lahiriyah maupun batniyah, baik jasmaniah maupun ruhaniyah.
- 4. Pendidikan anak pasca dilahirkan.
Allah SWT berfirman :
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo`a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni`mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. Qs.46:15
Ada beberapa hal yang dapat digarisbawahi tentang makna ayat ini antara lain (1) orang dewasa mesti menyambut kehamilan secara senang dan bersyukur, (2) jarak antara anak yang satu dengan yang lainnya tidak kurang dari tiga puluh bulan, (3) ibu menyusui anaknya selama dua tahun, (4) membimbing anaknya menghadapi masa depan, bahkan hingga usia empat puluh tahun, (5) ketika orang berusia empat puluh tahun idealnya orang tua sudah merasa tenang dan senang hingga bersyukur atas keberhasilan mendidik anaknya, (6) sebagai anak merasa bahagia atas ni’mat yang dianugrahlkan Allah SWT kepada dirinya mau pun pada orang tuanya, (7) anak selalu berbuat ihsan kepada orang tuanya yang dirasakan mereka sangat berjasa. (8) anak yang berusia empat puluh tahun sudah mampu menghidupi orang tuanya serta anak istrinya.
- 5. Mencukur Bayi berusia tujuh hari, memberi Nama, dan aqiqah
Samurah bin Jundab meriwayatkan bahwa Rasul SAW bersabda:
كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسمَّى
Setiap bayi tergadai oleh aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya, kemudian menggunduli rambut kepalanya dan memberi nama. Hr. Abu Daud, Ibn Majah, al-Nasa’iy (215-303 H), [20]
Abu al-Thayib menandaskan bahwa berdasar hadits ini aqiqah disyari’ahkan adalah hanya pada hari ketujuh. Tidak disyari’ahkan aqiqah, yang dilakukan sebelum atau sesudah tujuh hari. Memang ada yang berpendapat diperbolehkan aqiqah pada keempat belas, atau dua puluh satu, atau yang lainnya, tapi dasarnya sangat lemah.[21]
Penyembelihan aqiqah dan penggundulan rambut bayi tatkala berusia tujuh hari berkaitan pula dengan pendidikan tasyakur untuk memberi manfaat pada orang lain, kesehatan serta kebersihan lahir dan batin.
6.Memerintah Anak usia tujuh tahun untuk disiplin Shalat
مُرُوا أَبْنَاءَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاء لِسَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْر سِنِيْنَ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِيْ المَضَاجِعِ
Perintahlah anak-anakmu untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukulah mereka bila tidak mau shalat ketika berusia sepuluh tahun, pisahkanlah di antara mereka tempat tidurnya. Hr. Ahmad, Abu Daud (I h. 133) dan Al-Baihaqi (2: 268) Majah dari Ibnu Umar. [22]
Implikasi hadits ini terhadap pendidikan pranikah antara lain:
(1) Pendidikan ibadah harus dilekukan sejak dini, agar ketika umur anak tujuh tahun, tinggal memerintah. Bagaimana mungkin pada usia tersebut bisa diperintah jika mereka belum bisa melakukannya. (2) Shalat yang sempurna harus memenuhi syarat dan rukunnya, seperti bersih dari hadats dan najis, menutup aurat, menghadap kiblat, membaca al-Qur’an. Semua itu harus telag diketahui sebelum berusia tujuh tahun. (3) Shaf shalat berjamaah pria berbeda dengan wanita, maka anak berusia tujuh tahun harus sudah mengetahui seks. (4) Dalam berjamaah ada tata tertib imamah, maka pendidikan kepemimpinan dilakukan sejak dini. (5) Anak yang berumur sepuluh tahun menurut hadits ini harus ditindak bila tidak disiplin dalam beribadah, serta dipisahkan tempat tidurnya. Dengan demikian pendidikan kedewasaan berkeluarga harus dilakukan sejak berusia sepuluh tahun. Perhatikan pula Qs.24:58-59 ikaitkan dengan ayat lain sebagaimana diungkap di atas; mulai dari penyapian dari persusuan tatkala berusia dua tahun, kemudian memisahkan tempat tidur pada waktu tertentu berdasar ayat ini (1) ba’da zhuhur, (2) ba’da isya hingga waktu shubuh. Selanjutnya ketika berusia sepuluh tahun, anak mesti memiliki kamar tersendiri yang berpisah dari orang tua dan saudaranya yang lawan jenis.
Semoga anak kita semunya shalih, berkualitas di dunia, dan di akhirat meraih derajat mulia. amin
[1] al-Qur’an Surat, selanjutnya ditulis Qs.
[2] Hadits riwayat, selanjutnya ditulis Hr.
[3] Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut, 1987, Dar Ibn Katsir), I h.456
[4] Muslim bin Hajaj, Shahih Muslim, (Beirut, Dar Ihya al-Turats), IV h.2047
[5]Shahih al-Bukhari, III h.1422 dan Shahih Muslim, III h.1691, dari Asma’
[6] syarif al-Jurjani, al-Ta’rifat, (Beirut, dar al-Fikr), h.168
[7] Shahih al-Bukhari, IV h.1655
[8] Abd al-Rahman al-Suyuthi (849-911H), Tanwil al-Hawalik, (Mesir,1969 M, al-Maktabah), I h.187
[9] alaih al-salam: semoga Allah mencurahkan keselematan baginya, selanjutnya ditulis: a.s.
[10] al-Jazairi, Aysar al-Tafasir, (Madinah, 1993M, Nahr al-Khair), II h.260
[11] al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, (Damascus,1991M, Dar al-Fikr), IX h.160
[12] Shahih al-Bukhari, III h.1193; Shahih Muslim, II h.1058
[13] Muhammd bin Hibban, Shahih Ibn Hibban, (Muassasah al-Risalah, 1993), III h.263
[14] Mahmud Hijazi, al-Tafsir al-Wadlih, (Cairo, 1669 M, al-Istiqlal), IX h.50
[15]ِAbu Daud Sulaiman bn al-Asy’as, Sunan Abi Daud, (Beirut, dar al-Fikr) IV h.235
[16] Abu al-Qasim al-Thabarani, al-Mu’jam al-Ausath, (Cairo, Dar al-Haramain) V h.101
[17] lihat Qs. 6:112 dan Qs. 114
[18] Sahih al-Bukhari,juz XI h.157
[19] Muhammad Abd al-Rahman bin Abd al-Rahim al-Mubarakfuri, Tauhfat al-Ahwadzi, (Beirut, Dar al-Kutub) VI, h.184
[20]Sunan Abi Dawud, juz,VIII h.16, Sunan Ibn Majah, IX h.335, al-Sunan al-Kubra, III h.77
[21] Muhammad Syams al-Haq, Abu Thayyib, ‘Aun al-Ma’bud, VIII h.28
[22] Ahmad Bin Hanbal (124H-241H), Musnad Ahmad, (Mesir, Muassasah Qurthubah) j. 2 h. 187