TAUHID YANG IKHLASH SEBAGAI LANDASAN KELUARGA (kajian tafsir surat al-Ikhlash)
TAUHID YANG IKHLASH SEBAGAI LANDASAN KELUARGA
(kajian tafsir surat al-Ikhlash)
- Teks Ayat dan tarjamahnya
Ù‚Ùلْ Ù‡ÙÙˆÙŽ اللَّه٠أَØÙŽØ¯ÙŒ (1) اللَّه٠الصَّمَد٠(2) لَمْ ÙŠÙŽÙ„ÙØ¯Ù’ وَلَمْ ÙŠÙولَدْ (3) وَلَمْ ÙŠÙŽÙƒÙنْ Ù„ÙŽÙ‡Ù ÙƒÙÙÙوًا Ø£ÙŽØÙŽØ¯ÙŒ (4
Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia“.Qs.112:1-4
- Nama Surat
Surat ini memiliki beberapa nama antara lain: (1)الإخلاص Al-Ikhlash karena essensinya pemurnian akidah tauhid yang bersih dari syirik, pemurnian ibadah dari bid’ah, dan pembersihan akhlaq dari ria. (2)التوØÙŠØ¯ al-tawhid, karena prinsip keimanan yang menentang syirik, (3)التجريد  al-Tajrid, karena memusatkan perhatian dalam segala hal selain pada Allah, (4)الأسس al-Asas, karena merupakan dasar pokok keagamaan, dan (5)قل هو Qul Hua, karena diawali dengan kalimat tersebut.
- Tinjauan Historis
Surat al-Ikhlash yang berjumlah empat ayat. Menurut sebagian ulama surat ini turun di Mekah, termasuk Makiyah setelah surat al-Nas. Adapun yang melatarbelakangi turunnya, menurut pendapat ini antara lain:
عَنْ Ø£ÙØ¨ÙŽÙŠÙ‘٠بْن٠كَعْب٠أَنَّ Ø§Ù„Ù’Ù…ÙØ´Ù’رÙÙƒÙينَ قَالÙوا Ù„ÙØ±ÙŽØ³Ùول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ Ø§Ù†Ù’Ø³ÙØ¨Ù’ لَنَا رَبَّكَ Ùَأَنْزَلَ اللَّه٠{ Ù‚Ùلْ Ù‡ÙÙˆÙŽ اللَّه٠أَØÙŽØ¯ÙŒ اللَّه٠الصَّمَد٠}
Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’b, sesungguhnya orang musyrikin berkata pada Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam  terangkanlah pada kami keturunan manakah tuhanmu itu! Sebagai jawaban terhadap mereka turunlah Ù‚Ùلْ Ù‡ÙÙˆÙŽ اللَّه٠أَØÙŽØ¯ÙŒ اللَّه٠الصَّمَد٠(surat al-Ikhlash ini) Hr. al-Tirmidzi.[1]
Orang musyrik yang menghadap Rasul itu adalah penduduk Mekah, maka dijadikan dasar sebagai surat makiyah.
Menurut yang lainnya, surat ini turun di Madinah, bersandarkan pada riwayat Ibn Abbas, dilatarbelakangi pertanyaan Ka’b bin al-Asyraf dan Huyay bin al-Akhthab yang mengatakan:
يَا Ù…ÙØÙŽÙ…Ù‘ÙŽØ¯ صÙÙÙ’ لَنَا رَبَّك الذÙÙŠ بَعَثَكَ
(hai Muhammad terangkanlah pada kami sifat Tuhanmu yang mengutusmu itu!).[2] Kedua orang yahudi itu bertemu Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam setelah peristiwa hijrah. Â Menurut Anas bin Malik, kaum yahudi dari Haibar pernah bertanya pada Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam sebagai berikut:
يَا أبَا القَاسÙÙ… خَلَقَ الله المَلائÙكة Ù…ÙÙ† Ù†Ùوْر٠الØÙجَاب وَآدم Ù…Ùنْ ØÙŽÙ…ÙŽØ£ مَسْنÙون وَإبْلÙيسَ Ù…ÙÙ† لَهب٠النَّار والسَّمَاءَ Ù…ÙÙ† Ø¯ÙØ®ÙŽØ§Ù† والأرْضَ Ù…ÙÙ† زبَد٠المَاء ÙÙŽØ£Ø®Ù’Ø¨ÙØ±Ù’نَا عَنْ رَبكَ Ùَلم يجبْهÙÙ… ÙØ£ØªÙŽØ§Ù‡ Ø¬ÙØ¨Ù’رÙيل بÙهذÙÙ‡ السّÙوْرَة قل هو الله Ø£ØØ¯
Wahai Ab al-Qasim! Allah menciptakan Malaikat dari cahaya hijab, Adam dari tanah liat yang bercampur lumpur [3], Iblis dari panas api, langit dari asap,[4] bumi dari buih air, maka terangkan pada kami tentang tuhanmu. Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam saat itu tidak langsung menjawab, maka Jibril mendatanginya dengan menyampaikan surat ini; Qul huwa Allah Ahad. [5]
Dengan demikian surat al-Ikslah ini ada yang mengatakan sebagai surat Makiyah ada pula menganggap sebagai surat Madaniyah.
- Kaitan dengan Ayat Sebelumnya
- Surat al-Ikhlash ini sangat erat kaitannya dengan surat al-Kafirun. Keterkaitan antara kedua surat tersebut antara lain: (1) al-kafirun mengandung ketegasan perbedaan antara kafir dengan mu`min, surat al-Ikhlash menunjukkan prinsip keyakinan mu`min secara khusus. (2) surat al-Kafirun lebih terfokus pada ikhlash (pemurnian) dalam ibadah, maka surat al-Ikhlash ini bertitik berat pada pemurnian aqidah. Karena keterkaitan kedua surat itu sangat erat, maka banyak bacaan shalat setelah al-fatihah yang menggunakan kedua surat tersebut; al-Kafirun pada rakaat pertama, dan al-Ikhlash dibaca pada raka’at kedua, seperti pada (1) shalat ba’da thawaf, (2) shalat qabla shubuh, (3) shalat witir, (4) shalat dalam shafar, (5) shalat ba’da maghrib. [6]
- Surat al-Lahab (al-Masad), yang lalu mengisahkan figur musyrik yang menderita kerugian dunia dan akhirat, yaitu Abu lahab dan isterinya. Surat al-Ikhlash ini memberikan bimbingan agar menjadi mu`min yang bertauhid, bebas dari syirik, jangan seperti Abu Lahab.
- Tafsir tiap Ayat
- Ù‚Ùلْ Ù‡ÙÙˆÙŽ اللَّه٠أَØÙŽØ¯ÙŒ Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa,
Perkataan Ù‚Ùلَْ merupakan bentuk perintah dari قَال, maka berarti katakanlah olehmu. Secara historis, ketika ayat ini turun berisi perintah untuk menjawab tantangan kaum musyrikin, baik penyembah berhala maupun yahudi dan nashrani. Namun perintah ini bersifat umum atas setiap manusia agar menyatakan keyakinannya di hadapan manusia lain, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Keyakinan yang dikatakan, akan mengandung konsekuensi siap dipertanggung-jawabkan. Dengan demikian akidah bukan hanya diyakini, tapi juga mesti diungkapkan, dan dibuktikan. Perkataan Ù‡ÙÙˆ  ditinjau dari sudut ilmu Bahasa berfungsi sebagai ضَمÙير الشَّأن ÙˆØ§Ù„ØØ¯ÙŠØ« (kata ganti yang menujukkan keadaan atau kejadian), berkedudukan sebagai مبْتَداء (pokok kalimat) pertama, yang berarti dialah! Lafazh ألله sebagai pokok kalimat kedua yang diterangkan oleh Ø£ØÙŽØ¯ sebagai predikatnya.[7] Nama Allah dengan diawali kalimat Ù‡ÙÙˆÙŽ menurut ilmu al-Balaghah mengandung ma’na التَّعْظÙيم والإجْلال (memahaAgungkan). Ayat ini merupakan perintah pertama agar setiap muslim menyatakan keyakinannya bahwa Allah itu Ahad (Maha Esa, tunggal, tiada sekutu bagi-Nya). Katakan pada mereka bahwa Allah yang aku seru untuk menyembah-Nya adalah yang maha Esa dalam segalanya, baik sifat, asma, maupun perbuatan-Nya. Perkataan Ø£ØÙŽØ¯ ma’nanya mencakup: (1) Esa dalam arti tidak terbilang, bukan dua bukan tiga atau lebih, (2) Esa dalam arti tiada bandingannya, tiada sekutunya, (3) Esa dalam arti tiada bagian bagi-Nya.[8] Pangkal surat ini merupakan bantahan terhadap pemeluk agama lain yang mempertuhankan selain Allah, dalam bentuk apa pun. Membantah musyrikin peyembah berhala yang beranggapan bahwa tuhan butuh perantara. Membantah kristen yang beranggapan yesus atau paus sebagai bagian dari tuhan. Membantah yahudi yang beranggapan bahwa tuhan dapat dikalahkan oleh Isra`il.
- اللَّه٠الصَّمَد٠Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Al-Thabari mengutip pandangan Ibn Abbas, dalam menfasirkan الصَّمَدÙ sebagai berikut.
عَن٠ابن٠عَبَّاس، ÙÙŠ قَوْلÙÙ‡:( الصَّمَد٠) ÙŠÙŽÙ‚Ùول: السَّيÙّد الذÙÙŠ قَد ÙƒÙŽÙ…ÙÙ„ÙŽ ÙÙÙŠ Ø³ÙØ¤Ø¯ÙŽØ¯Ùه، والشَّرÙيْ٠الذÙÙŠ قَدْ ÙƒÙŽÙ…ÙÙ„ÙŽ ÙÙŠ شَرÙÙه، والعَظÙيم الذÙÙŠ قد عَظم ÙÙŠ عَظمَتÙه، والØÙŽÙ„Ùيم الذي قَد ÙƒÙŽÙ…ÙÙ„ ÙÙŠ ØÙلْمÙه، والغَنÙÙŠ الذÙÙŠ قَد ÙƒÙŽÙ…ÙÙ„ ÙÙŠ غÙنَاه، والجَبَّار الذي قد كمل ÙÙŠ جَبَرÙوتÙه، والعَالÙÙ… الذÙÙŠ قد ÙƒÙŽÙ…ÙÙ„ ÙÙŠ عÙلْمÙه، والØÙŽÙƒÙيم الذي قد كمل ÙÙŠ ØÙكْمَتÙه، وهÙÙˆ الذي قد ÙƒÙŽÙ…ÙÙ„ ÙÙŠ أنْوَاع Ø§Ù„Ø´Ù‘ÙŽØ±Ù ÙˆØ§Ù„Ø³ÙØ¤Ø¯Ø¯ØŒ وهو الله Ø³Ø¨ØØ§Ù†Ù‡ هذه صÙÙَتÙه، لا تَنْبَغÙÙŠ إلا Ù„ÙŽÙ‡Ù
Diriwayatkan dari Ibn Abbas dalam menjelaskan tentang pengertian الصَّمَدÙ adalah Allah yang dipertuan yang memiliki kehormatan dan maha sempurna dalam kehormatan dan dipertuannya. Maha mulia, yang telah sempurna kemuliaan-Nya. Maha agung yang telah sempurna keagungan-Nya. Maha penyantun, yang maha sempurna santunan-Nya. Maha kaya yang telah sempurna kekayaan-Nya. Maha gagah perkasa yng sempurna keperkasaan dan dapat memaksanya. Maha tahu yang telah sempurna segala pengetahuan-Nya. Maha bijaksana dan telah sempurna kebijaksanan-Nya. Inilah sifat Allah SWT, yang tidak dimiliki siapa pun selain oleh-Nya.[9]
Menurut al-Baghawi perkataan الصَّمَد٠merupakan sifat yang mencakup segala kesempurnaan dalam segala hal. Dia yang dipertuan, yang digandrungi, didambakan kasih sayangnya, dijadikan tempat bergantung segala urusan, diaharapkan pertolongannya, dan ditakuti kemurkaannya.[10] Abu Hurairah mengartikanhya dengan المستغني عن كل Ø£ØØ¯ØŒ ÙˆØ§Ù„Ù…ØØªØ§Ø¬ إليه كل Ø£ØØ¯ (Maha cukup dari siapa pun, tidak membutuhkan siapa pun, sedangkan siapa pun butuh pada-Nya). Qatadah megartikannya dengan Kekal tatkala yang lain sirna. Kata Ikrimah, yang maha tinggi yang tidak ada di atas-Nya. Kata Muqatil; yang tiada tercela bagi-Nya sedikit pun.[11]
- لَمْ ÙŠÙŽÙ„ÙØ¯Ù’ وَلَمْ ÙŠÙولَدْ Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan,
Al-Bukhari dalam menafsirkan surat al-Ikhlash meriwayatkan hadits berikut:
عَنْ أَبÙÙŠ Ù‡ÙØ±ÙŽÙŠÙ’رَةَ قَالَ قَالَ رَسÙول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ قَالَ اللَّه٠كَذَّبَنÙÙŠ ابْن٠آدَمَ وَلَمْ ÙŠÙŽÙƒÙنْ لَه٠ذَلÙÙƒÙŽ وَشَتَمَنÙÙŠ وَلَمْ ÙŠÙŽÙƒÙنْ لَه٠ذَلÙÙƒÙŽ أَمَّا تَكْذÙيبÙه٠إÙيَّايَ أَنْ ÙŠÙŽÙ‚Ùولَ Ø¥ÙنّÙÙŠ لَنْ Ø£ÙØ¹Ùيدَه٠كَمَا بَدَأْتÙه٠وَأَمَّا شَتْمÙه٠إÙيَّايَ أَنْ ÙŠÙŽÙ‚Ùولَ اتَّخَذَ اللَّه٠وَلَدًا وَأَنَا الصَّمَد٠الَّذÙÙŠ لَمْ Ø£ÙŽÙ„ÙØ¯Ù’ وَلَمْ Ø£Ùولَدْ وَلَمْ ÙŠÙŽÙƒÙنْ Ù„ÙÙŠ ÙƒÙÙÙØ¤Ù‹Ø§ Ø£ÙŽØÙŽØ¯ÙŒ
Diriwayatkan dari Abi Hurairah, Rasul SAW bersabda: Allah SWT berfirman: ada anak Adam yang mendustakan-Ku yang sebenarnya tidak layak berbuat seperti itu. Ada juga yang mencela-Ku, padahal tidak layak seperti itu. Adapun kedustaan tersebut pada-Ku dengan mangatakan bahwa Aku tidak akan mengembalikannya seperti Aku menciptakannya semula. Adapun ejekannya dengan mengatakan bahwa Allah mengambil anak. Aku adalah al-Shamad yang tidak beranak tidak pula dilahirkan. Tidak ada bagi-Ku yang menyamai. Hr. al-Bukhari.[12]
Hadits qudsi ini berisi celaan terhadap orang yang beraqidah salah. Dengan demikian al-Ikhlash ini berfungsi bantahan terhadap kekeliruan umat manusia tentang ketuhanan.
- وَلَمْ ÙŠÙŽÙƒÙنْ Ù„ÙŽÙ‡Ù ÙƒÙÙÙوًا Ø£ÙŽØÙŽØ¯ÙŒ dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia
Sebagaimana ayat sebelumnya, ayat ini pun membantah orang musyrik yang beranggapan tuhan punya anak. Dalam ayat lain ditegaskan:
وَقَالَت٠الْيَهÙÙˆØ¯Ù Ø¹ÙØ²ÙŽÙŠÙ’رٌ ابْن٠اللَّه٠وَقَالَت٠النَّصَارَى الْمَسÙÙŠØÙ ابْن٠اللَّه٠ذَلÙÙƒÙŽ قَوْلÙÙ‡Ùمْ Ø¨ÙØ£ÙŽÙْوَاهÙÙ‡Ùمْ ÙŠÙØ¶ÙŽØ§Ù‡ÙئÙونَ قَوْلَ الَّذÙينَ ÙƒÙŽÙَرÙوا Ù…Ùنْ قَبْل٠قَاتَلَهÙم٠اللَّه٠أَنَّى ÙŠÙØ¤Ù’ÙÙŽÙƒÙونَ
Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dila`nati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?. Qs.9:30
Ø£ÙŽÙَأَصْÙَاكÙمْ رَبّÙÙƒÙمْ Ø¨ÙØ§Ù„ْبَنÙينَ وَاتَّخَذَ Ù…ÙÙ†ÙŽ الْمَلَائÙكَة٠إÙنَاثًا Ø¥ÙنَّكÙمْ لَتَقÙولÙونَ قَوْلًا عَظÙيمًا
Maka apakah patut Tuhan memilihkan bagimu anak-anak laki-laki sedang Dia sendiri mengambil anak-anak perempuan di antara para malaikat? Sesungguhnya kamu benar-benar mengucapkan kata-kata yang besar (dosanya). Qs.17:40
Kedua ayat ini membantah kaum yahudi yang beranggapan uzair sebagai anak tuhan, kaum nashrani yang menganggap Isa sebagai anak tuhan, dan kaum musyrikin Arab yang menganggap Mal`ikat sebagai anak perempuan tuhan. Allah SWT maha suci dari apa yang mereka sifatkan.
عَنْ Ø£ÙØ¨ÙŽÙŠÙ‘٠بْن٠كَعْب٠أَنَّ Ø§Ù„Ù’Ù…ÙØ´Ù’رÙÙƒÙينَ قَالÙوا Ù„ÙØ±ÙŽØ³Ùول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ Ø§Ù†Ù’Ø³ÙØ¨Ù’ لَنَا رَبَّكَ Ùَأَنْزَلَ اللَّه٠قÙلْ Ù‡ÙÙˆÙŽ اللَّه٠أَØÙŽØ¯ÙŒ اللَّه٠الصَّمَد٠وَالصَّمَد٠الَّذÙÙŠ لَمْ ÙŠÙŽÙ„ÙØ¯Ù’ وَلَمْ ÙŠÙولَدْ لَأَنَّه٠لَيْسَ شَيْءٌ ÙŠÙولَد٠إÙلَّا سَيَمÙوت٠وَلَا شَيْءٌ ÙŠÙŽÙ…Ùوت٠إÙلَّا سَيÙورَث٠وَإÙنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَا ÙŠÙŽÙ…Ùوت٠وَلَا ÙŠÙورَث٠وَلَمْ ÙŠÙŽÙƒÙنْ Ù„ÙŽÙ‡Ù ÙƒÙÙÙوًا Ø£ÙŽØÙŽØ¯ÙŒ قَالَ لَمْ ÙŠÙŽÙƒÙنْ لَه٠شَبÙيهٌ وَلَا Ø¹ÙØ¯Ù’Ù„ÙŒ وَلَيْسَ ÙƒÙŽÙ…ÙØ«Ù’Ù„Ùه٠شَيْءٌ
Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’b, bahwa orang musyrik berkata pada Rasul SAW; terangkanlah keturunan tuhanmu pada kami! Maka turunlah surat al-Ikhlash ini yang menandaskan bahwa Allah itu Maha Esa, tempat bergantung segala pada-Nya, tidak berketurunan dan tidak pula dilahirkan. Tidak ada sesuatu yang dilahirkan kecuali bakal mati. Tidak ada yang mati kecuali bakal diwariskan. Sesungguhnya Allah SWT tidak mati, tidak diwariskan. Tidak ada yang sama dengan-Nya satu dan sesuatu apa pun. Tidak ada bandingan dan tandingan baginya. Tiada yang serupa apa pun dengan-Nya. Hr. al-Tirmidzi.[13]
- Beberapa Ibrah
- Surat al-Ikhlash diawali dengan kalimat Ù‚ÙÙ„ yang berarti “katakanlah“. Ini mengandung isyarat bahwa ikhlash tidak identik dengan menyembunyikan sikap dan amal.
- Dengan perintah mengatakan tentang keyakinan, memberi isyarat bahwa aqidah mesti diwujudkan dalam ucapan, sikap, dan perbuatan.
- Setiap muslim tidak hanya berkewajiban bertauhid, tapi juga diperintah untuk membantah dan menolak syirik. Tauhid, di samping dijadikan keyakinan dan prinsip hidup, juga sebagai senjata memberantas kemusyrikan.
- Jika materi kajian al-islam itu terdiri atas tiga bagian, yaitu aqidah, syari’ah dan akhlaq, maka surat al-Ikhlash merupakan sepertiga bagian utama di dalamnya. Perhatikan hadits berikut:
عَنْ أَبÙÙŠ Ù‡ÙØ±ÙŽÙŠÙ’رَةَ قَالَ خَرَجَ Ø¥Ùلَيْنَا رَسÙول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ Ùَقَالَ أَقْرَأ٠عَلَيْكÙمْ Ø«ÙÙ„ÙØ«ÙŽ Ø§Ù„Ù’Ù‚ÙØ±Ù’آن٠Ùَقَرَأَ Ù‚Ùلْ Ù‡ÙÙˆÙŽ اللَّه٠أَØÙŽØ¯ÙŒ اللَّه٠الصَّمَد٠ØÙŽØªÙ‘ÙŽÙ‰ خَتَمَهَا
Diriwayatkan dari Abi Hurairah, katanya: Rasul SAW keluar mendatangi kami. Beliau bersabda: Aku membacakan atasmu sepertiga dari al-Qur`an. Kemudian beliau membaca Ù‚Ùلْ Ù‡ÙÙˆÙŽ اللَّه٠أَØÙŽØ¯ÙŒ اللَّه٠الصَّمَد٠hingga akhir surat. Hr. Ahmad, Muslim, al-Tirmidzi, Ibn Majah.[14]
Bagaimanakah jika surat ini dibaca tiga kali apakah berarti sama dengan membaca seluruh al-Qur`an? Di atas telah ditegaskan bahwa isi al-Ikhlash adalah sepertiga bagian dari pokok keagamaan. Artinya yang dua pertiga lainnya tercantum dalam surat lainnya. Oleh karena itu jika yang dibaca hanya surat al-Ikhlash walau berapa kali bacaan, akan tetap baru bagian aqidah, alias sepertiganya yang dibaca.
- Kandungan surat al-Ikhlash memberi isyarat didikan tuhid secara lengkap, baik dalam uluhiyah, rububiyah, maupun mulkiyah yang dapat digambarkan sebbagi berikut:
Gambar ini memberi isyarat bahwa tauhid itu tidak kurang dari tiga unsur:
(1) Tauhid uluhiyah ialah meng-Esakan Allah dengan perbuatan manusia. Artinya segala perbuatan manusia, baik ucap, sikap, maupun perbuatan hanya diletarbelakangi satu yaitu Allah, dan bertujuan satu yaitu Allah. Prinsip ini tersirat pada ayat ألله الصمد hanya Allah yang dijadikan tempat bergantung, berharap, bertujuan dan mengembalikan segala aspek kehidupan. Tauhid ini menolak ketergantungan pada apa dan siapa pun selain Allah SWT.
(2) Tauhid Rububiyah, ialah meng-Esakan Allah dengan perbuatan-Nya. Artinya apa yang diperbuat Allah itu diyakini tidak ada saingannya. Oleh karena itu aturan-Nya pun dianggap sebagai aturan tunggal. Berkeyakinan bahwa Allah SWT tidak didampingi siapa pun dalam menciptakan alam semesta dan mengaturnya, maka menunggalkan aturan hidup yang dijadikan pedoman, sehingga tidak ada sumber hukum yang dianggap mutlak benar selain syari’ah al-Islam. Tauhid ini tersirat pada ayat Ù„ÙŽÙ… يلد ولم يولد
(3). Tauhid Mulkiyah, yaitu meng-Esakan Allah dalam kedudukan, sifat, nama dan kekuasaan-Nya. Dia adalah Ù„ÙŽÙ… يكن له ÙƒÙوا Ø£ØØ¯ tidak ada yang sekufu atau setara dengan-Nya. Tauhid ini dimanfestasikan dalam keyakinan, sikap dan perbuatan menolak kekuasaan dan kedudukan yang menyaingi Allah SWT. Tidak ada kekuasaan, dan kekuatan mutlak selain Allah SWT.
- Keluarga harmonis agamis berdasar surat al-Ikhlash
Langkah menuju terciptanya suasana keluarga yang harmonis dan agamis, berdasar surat al-Ikhlah antara lain sebagai berikut:
- Tauhid dan ikhlash dijadikan landasan utama dalam keluarga.
Agar keluarga bisa harmonis, mesti dibangun atas dasar aqidah yang kuat yang berprinsip tauhid dan ikhlash. Aqidah merupakan dasar yang sangat penting dalam memelihara keharmonisan hidup suami isteri.  Bagaimana mungkin keluarga harmonis, bila aqidah anggotanya berbeda-beda. Keharmonisan keluarga yang tidak dilandasi aqidah yanga sama, hanyalah bersifat semu dan lahiriyah belaka. Sedangkan keharmonisan yang hakiki bukan hanya bersifat lahiriya, tapi suasana batin keruhanian.  Rasulullah Shalla Allah alaihi wa Sallam  bersabda:
تÙنْكَØÙ الْمَرْأَة٠Ùلأَرْبَع٠لÙمَالÙهَا ÙˆÙŽÙ„ÙØÙŽØ³ÙŽØ¨Ùهَا ÙˆÙŽÙ„ÙØ¬ÙŽÙ…َالÙهَا ÙˆÙŽÙ„ÙØ¯ÙيْنÙهَا ÙَاظْÙَرْ Ø¨ÙØ°ÙŽØ§ØªÙ الدّÙÙŠÙ’Ù†Ù ØªÙŽØ±ÙØ¨ÙŽØªÙ’ يَدَاكَ
Wanita itu dinikah karena empat perkara, karena hartanya, karena turunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Pilihlah karena agamanya, niscaya memperoleh kebahagiaan. Hr. Al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud.([15])
Hadits ini menggambarkan bahwa ada empat faktor yang mendorong seseorang memilih pasangan. Keempat faktor tersebut jelas memberikan dukungan untuk memelihara keharmonisan hidup suami istri. Dengan harta, suami istri dapat memenuhi kebutuhan yang bersifat fisik, baik berupa makanan, perumahan, pakaian, transportasi dan rekreasi. Dengan turunan yang baik, suami isteri akan mendapat dukungan dan dorongan moril guna memelihara keharmonisan. Dengan kecantikan isterinya, suami akan merasa harmonis hidupnya karena memiliki pasangan yang dapat dibanggakan dan dijadikan tempat bermesraan, sehingga tak mudah tergoda oleh wanita lain. Dengan ketampanan suaminya, isteri akan merasa bangga dan merasa bergairah dalam melayaninya. Namun ketiga faktor itu tidak akan abadi, bila tidak didasari aqidah tauhid. Harta kekayaan tidak menjamin keharmonisan hidup suami isteri. Bukankah betapa banyak pasangan yang kaya juga hidupnya tidak harmonis? Bukankah tidak sedikit pasangan suami isteri hidup rukun ketika masih miskin, begitu mendaptkekayaan malah justeru bercerai? Bukankah banyak orang kaya raya, rumah tangganya berantakan dan berakhir oleh perceraian? Turunan juga tidak menjamin keharmonisan keluarga, bila mereka berbeda aqidah, malah justeru banyak timbul pertengkaran, akibat beda prinsip. Apalah artinya dorongan keluarga demikian baik, kalau suami-isterinya tidak rukun dan tidak seiman. Kecantikan juga tidak menjamin keharmonisan suami isteri. Betapa banyak suami yang menceraikan isteri cantiknya, akibat tidak sefaham dalam menjaga ketentraman hidup, karena beda aqidah. Bukankah para artis yang dianggap cantik oleh orang banyak, juga tidak sedikit yang bercerai dengan suaminya?
Dengan kenyataan demikian, maka faktor ekonomi, turunan, dan kecantikan itu tidak menjadi jaminan keharmonisan keluarga. Semuanya itu hanya merupakan faktor pendukung, bukan penjamin. Oleh karena itu ketiga faktor tersebut tidak bisa dijadikan dasar utama dalam memelihara keharmonisdan hidup berkeluarga. Yang menjadi dasar utama adalah aqidah yang benar yang dilandasi keikhlasan murni bertujuan mencapai rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tepatlah apa yang disabdakan Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam :
ÙَاظْÙَرْ Ø¨ÙØ°ÙŽØ§ØªÙ الدّÙÙŠÙ’Ù†Ù ØªÙŽØ±ÙØ¨ÙŽØªÙ’ يَدَاكَ.
Pilihlah karena dasar agama, niscaya mendapat kebahagiaan.
Dengan dasar tauhid, turunan akan mendatangkan kasih sayang karena saling membantu dalam kebaikan dan taqwa serta saling mengingatkan dalam iman dan amal shalih. Atas dasar ikhlash, kecantikan dan ketampanan akan menimbulkan kemesraan sebab yakin semua itu merupakan anugerah Allah Subhanahu Wa Ta’ala  yang harus disyukuri. Dengan dasar tauhid, harta dapat menjaga keharmonisan keluarga, karena suami isteri dapat menafqahkan sebagiannya untuk kepentingan jihad fi sabilillah. Oleh karena itu dengan dilandasi tauhid, fasilitas apa pun akan mendukung keharmonisan hidupkeluarga.
- Tiga prinsip tauhid yang dijadikan landasan utama dalam keluarga harmonis.
Prinsip pertama tersirat pada ayat اللَّه٠أَØÙŽØ¯ÙŒ Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai yang Ahad, dalam segalanya. Perinsip ini menetapkan bahwa yang diibadahi oleh keluarga hanya satu yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala pantang beribadah kepada selain-Nya, pantang tunduk kepada selain-Nya, tidak takut oleh siapa pun selain oleh-Nya.
Prinsip kedua tersirat pada kalimat  اللَّه٠الصَّمَدÙmenetapkan bahwa hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai terpamt bergantung. Semua keluarga tidak bergantung pada siapapun selain pada-Nya. Implikasinya menghilangkan ketergantungan pada apa pun selain pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala . Dengan demikian, akan tertanam jiwa kemandirian, tatkala berjauhan bahkan kehilangan anggota keluarga lain.
Prinsip yang ketiga tersirat pada kalimat وَلَمْ ÙŠÙŽÙƒÙنْ Ù„ÙŽÙ‡Ù ÙƒÙÙÙوًا Ø£ÙŽØÙŽØ¯ÙŒ tidak menyamakan sifat, asma, kedudukan, ataupun zat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan yang lain-Nya. Manifestasinya adalah membedakan kedudukan makhluq dengan Kahliq, baik dalam ketetapan, aturan, maupun ketaatan. Atauran atau kesepakatan manusia, tidak dianggap sama dengan syari’ah yang ditetapkan oleh-Nya. Oleh karena itu keluarga yang berpegang pada prinsip ini, hanya tunduk dan patuh pada kesepakatan dan peraturan yang sesuai dengan syari’ah Islam.
- Setiap anggota keluarga memenuhi haq dan tanggung jawab senantiasa dilandasi ikhlash, dalam arti hanya mencari ridlo Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dalam menajalankan tugas berkeluarga, boleh jadi ada unsure keterpaksaan, karena harus melaksanakannya walau ketika sedang tidak rela. Namun karena dasarnya ikhlash, maka terpaksa pun, tidak menimbulkan merasa tertekan, karena ada harapan rido dan rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Banyak orang yang beranggapan bahwa ikhlash itu mempunyai arti yang sama dengan rido atau rela. Padahal yang rido atau rela belum itu ikhlash. Yang ikhlash pun belum tentu sealamanya rido. Contohnya dalam ketentuan hokum warits yang mesti dibagikan kepada keluarga. Ketetapan al-Quran bagian warisan untuk anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan. Jika mereka bersepakatan dibagai rata, maka semua anak akan rela atau rido. Namun berdasar perinsip ini kerelaan mereka tidak termasuk ikhlash, karena sudah menentang aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala . orang yang menentang aturan al-Qur`an tidak akan mendapat rido Allah Subhanahu Wa Ta’ala . jadi walau mereka sepakat membagi rata secara rela baik laki-laki maupun perempuan, maka tidak termasuk ikhlash. Keluarga yang ikalsh, akan tetap mendahulukan kepentingan rido Ilahi, walau tidak disepekati, atau tidak diridoi oleh sesame manusia. Keluarga yang harmonis, tentu saja yang ikhlash dan ridlo pada ketentuan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
-=o0o=-
[1] Â Sunan al-Tirmidzi, XI h.210
[2] Ibn Abi Hatim, Tafsir Ibn Abi Hatim, XII h.466
[3] Qs.15:26, 28, 33
[4] Qs.41:11
[5] al-Suyuthi (w.911H), Lubab al-Nuqul, h.238
[6] Wahbah al-Zuhayli, al-tafsir al-Munir, XXX h.461
[7] Abu al-Baqa al-Ukburi, Imla ma Manna bi al-Rahman, h.593
[8] Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwat al-Tafasir, III h.621
[9] Ibn Jarir al-Thabari (w.310H),Tafsir al-Thabari, XXIV h.692
[10] Tafsir al-Baghawi, VIII h.588
[11] al-Qurthubi, al-Jami li Ahkam al-Qur`an, XX h.245
[12] Shahih al-Bukhari, no.4593
[13] Sunan al-Tirmidzi, no.3287
[14] Musnad Ahmad, no.9170, Shahih Muslim, no.1346, Sunan al-Tirmidzi, no.2834, Sunan Ibn Majah, no.3777
[15] Shahih al-Bukhari, II, h.129, Shahih Muslim, I, h. 623, Sunan Abi Daud, II, h.219