TAWASSUL DAN BEBERAPA ASPEK
TAWASSUL DAN BEBERAPA ASPEK
- Pengertian Tawassul
Arti الْوَسِيلَةَ alwasilata ialah: ما يَفقَرَّبُ إلَيْه Ma yataqarrabu ilayhi[1] “Sesuatu yang dapat mendekatkan diri seseorang kepada yang lain”. Hasan bin Ali,[2] memberikan definisi tentang al-Tawasul atau al-Wasilah:
التَّقَرُّب إلَى الله تعالى بِطَاعَتِهِ وعِبَادَتِه وإتِّبَاعِ رَسُوْلِه وبِكُلِّ عَمَلٍ يُحِبُّهُ وَيَرْضَاه
Mendekatkan diri pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan menaati-Nya, ibadah pada-Nya, mengikuti Rasul-Nya, dan dengan segala amal yang mendatangkan kecintaan-Nya dan keridloan-Nya.
Dengan demikian Wasilah kepada Allah berarti sesuatu perbuatan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, baik derngan menaati-Nya, ibadah pada-Nya, mengikuti rasul-Nya serta mengamalkan segala amal baik, amal shalih atas dasar iman pada-Nya. Ibn al-Juzi memahami الْوَسِيلَةَ dengan makna yaitu (1) mendekatkan diri pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagimana dikutip dari Ibn Abbas, Atha dan Mujahid; (2) mahabbah محبَّة cinta pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana dikatakan Ibn Zaid. Qatadah berpendapat bahwa mkana kalimat ini dengan تقربوا إِليه بما يرضيه (mendeketkan dirilah pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan segala yang diridoi-Nya).[3]
Dalam al-Qur’an, diserukan agar setiap umat mengadakan الْوَسِيلَةَ wasilah pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala pada surat al-Maidah:35
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. Qs.5:35
Seruan tawassul atau mengadakan wasilah pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam ayat ini dirangkaian dengan taqwa dan jihad. Artinya ibadah tawassul mesti disertai taqwa dan jihad di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Pada ayat ini diserukan agar setiap umat mendekatkan diri pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan tawassul atau mengadakan wasilah, yang merupakan rangkaian taqwa dan jihad. Wasilah yang diperintahkan itu tentu saja yang sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Melaksanakan wasilah biasanya disebut التوسل Tawassul. Berwasilah yang diperintahkan Allah ialah berusaha mencari keridoan-Nya. Allah SWT mengabarkan bahwa Malaikat dan para Nabi itu berwasilah, yaitu dengan cara taqarrub atau mendekatkan diri kepada-Nya. Perbuatan yang mendekatkan diri kepada Allah ialah memenuhi segala tuntutan-Nya baik yang diwajibkan maupun yang disunnahkan. Sedangkan perbuatan yang diharamkan atau yang dibenci Allah akan menjauhkan diri daripada-Nya. Adapun tawassul atau berwasilah kepada Allah dengan Rasul-Nya ialah mendekatkan diri kepada Allah dengan mengikuti contoh Rasulul Shalla Allah alaihi wa Sallam. Tiada tawassul melalui Rasul selain mengikuti apa yang dicontohkan olehnya[4]. Inilah makna pertama dari wasilah. Sedangkan makna kedua dari wasilah ialah derajat tertinggi, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW (Riwayat Muslim Bab Shalat, dari Ibn Amr):
سَلُوْا اللهَ لِى الوَسِيْلَة فَإِنَّهَا دَرَجَةٌ فِى الْجَنَّةِ لِتَنْبَغِى إِلاَّ لِعِبَادٍ مِنْ عِبَادِاللهِ وَاَرْجُوْا اَنْ أَكُونَ اَنَاذَلِكَ العَبْدُ فَمَنْ سَأَلَ اللهَ لىِ الوَسِيْلَةَ حَلَّتْ عَلَيْهِ شَفَاعَتِى يَوْمَ القِيَامَةِ .
“Mintalah kepada Allah wasilah untuk aku. Sesungguhnya wasilah itu merupakan sutu derajat di surga yang tidak layak dimiliki kecuali oleh sebagian hamba Allah. Aku mengharap agar termasuk hamba Allah yang mendapatkannya. Barangsiapa yang memhonkan wasilah kepada Allah untuk aku, maka halal baginya syafa’atku di hari kiamat”. (Riwayat Muslim).[5]
Dalam hadits lain (Riwayat Bukhari pada Kitab Adzan),[6] diterangkan bahwa barang siapa yang berdu’a setelah mendengar adzan dengan memohon wasilah untuk Rasulullah SAW, seperti:
اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِي وَعَدْتَهُ
maka akan memperoleh syafaatnya.
Yang dimaksud Wasilah dalam kedua hadits ini adalah suatu keududukan tertinggi yang hanya bisa diraih oleh sebagian hamba Allah SWT. Rasul SAW termasuk hamba Allah yang mengharapkan meraih kedudukan tersebut, yang memang akan meraihnya. Rasulullah SAW mengajak kita untuk berdu’a agar beliau diberi Allah al-wasilah. Jaminan yang selalu berdu’a wasilah untuknya akan memperoleh syaf’at Rasulullah SAW.
Al-Qasimi,[7] menerangkan bahwa syafa’at itu merupakan salah satu aspek dari du’a Rasulullah untuk umatnya. Oleh karena itu orang yang berdu’a untuk Rasul, maka Rasul pun mendu’akan untuknya. Dengan demikian jelahlah bahwa yang dimaksud dengan tawassul kepada Nabi sebagaimana diterangkan para shabatnya ialah tawassul dengan du’anya atau dengan syafa’atnya, bukan tawassul dengan dzatnya. Umar Bin Khaththab, semasa Rasul SAW masih hidup pernah tawassul kepadanya untuk istisqa. Namun ketika Rasul telah wafat, Umar tidak lagi tawassul kepada Rasul, melainkan kepada Abbas, paman Rasul, yang masih hidup.[8] Dengan demikian jelas bahwa tawssul kepada Rasul, kepada para shahabat atau kepada orang shalih itu dengan du’anya, bukan dengan dzatnya. Sedangkan bagi kita yang hidup sepeninggal Rasulullah SAW, tawassul kepada beliau adalah dengan menaati perintahnya dan mencontoh perbuatannya, sebab barangsiapa yang taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah SWT. Allah berfirman:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ تَوَلىَّ فَمَا أَرْسَلْنَكَ عَلَيْهِمْ حَفِيْظًا
“Barangsiapa yang menaati Rasul berarti menaati Allah, dan baraang siapa yang berpaling (dari ketaatan), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. Qs.4:80
- Macam Tawassul atau Wasilah
As-Suhaimi,[9] membagi tawassul kepada dua bagian yaitu التوسل شرعي Tawassul Syar’iy dan التوسل بدعي Tawassul Bid’iy.
- Tawassul Syar’i
Tawassul Syar’iy ialah tawassul yang dibenarkan dan disyariatkan Islam, boleh juga dikatakan tawasul yang benar atau yang haq. Adapun tawasul yang dibenarkan Islam antara lain, ada yang bersifat ibadah ritual, atau boleh juga disebut التَّوَسُّل بالعِبَادَة ada pula yang bersifat kauniyah mu’amalah social boleh juga dikatakan التَوَسل الكَونية.
(1) Tawassul kauni.
Tawassul yang bersifat kauniyah social atau bersifat ta’amuli mu’amalah adalah yang berkaitan dengan hokum sebab akibat dalam kehidupan sehari-hari. Hasan bin Ahmad,[10] menafsirkan al-tawassul al-Kauniyah atau al-Wasa`il al-Kauniyah الوَسَائِل الكَوْنيَة bukan ritual, ialah:
كُلُّ سَبَبٍ طَبِيعِي يُوصِل إلَى الْمَقْصُود بِخَلقَتِه التِي خَلَقَه الله عَلَيْهَا
Segala sebab yang bisa menyampaikan kepada tujuan atau yang dimaksud dengan apa yang diciptakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk mencapainya.
Cara yang demikian tentu saja, tawassul orang kafir dan orang mu`min sama dalam peraktiknya, seperti wasilah air untuk mendinginkan manusia, api untuk memanaskan, makan agar perut kenyang, naik kendaraan untuk mempercepat sampai ke tujuan. Demikian pula berobat atau menjaga kesehatan dengan mengikuti petunjuk ahli kesehatan. Wasilah dalam kesehatan terdiri dari dokter, perawat, dan apotiker. Semua itu merupakan tawassul yang sifatnya kauni. Pedoman tawassul yang sifatnya kauni tentu saja adalah sunnatullah yang berjalan dalam kejadian ciptaannya di alam semesta, yang berlaku hokum sebab akibat, bersifat indrawi dan aqli. Setiap mu`min dituntut untuk memiliki kemampuan melebihi jaman Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam. Rasul bersabda:
إِذَا كَانَ شَيْءٌ مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَأَنْتُمْ أَعْلَمُ بِهِ فَإِذَا كَانَ مِنْ أَمْرِ دِينِكُمْ فَإِلَيَّ
Jika sesuatu itu merupakan bagian dari kehidupan duniamu, maka kalian harus lebih tahu dengannya. Jika sesuatu itu urusan keagamaanmu, maka itu urusanku. Hr. Ahmad dan Ibn Majah.[11]
Hadits ini mengisaratkan bila urusan keagmaan, baik dalam tawassul ataupun lain, maka urusan Rasul, yangmesti berpedoman pada Sunnahnya. Namun jika urusan waslilah keduniaan, urusan tawassul kauniyah, maka seharusnya setiap mu`min memliki pengetahuan lebih di banding jaman Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam.
(2) Tawassul ta’abbudi
Tawassul ta’abudi yang mendekatkan diri dengan ibadah p[ada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan mengikuti petunjuk-Nya serta meneladani Rasul-Nya, antara lain sebagai berikut:
(a). Tawassul kepada Allah dengan nama dan sifat-sifat-Nya.
Cara tawassul melalui nama dan sifat Allah ialah berdu’a dengan memanggil nama-Nya atau Asma’il-Husna dan memuji-Nya dengan sifat yang sempurna.
Allah SWT berfirman:
وَلِلَّهِ الأَسْمَاءُالحُسْنَى فَادْعُزهُ بِهَا وَذَرُوْا الَّذِيْنَ يُلْحِدُونَ فِى أَسْمَاءِهِ سَيُجْزَونَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُونَ
“milik Allahlah semua asma’ul-Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan asma’ul-husna itu, dan tinggalkanlah orang yang Ilhad ((tidak meyakini kebenaran asma) tersebut. Nanti mereka akan mendapat balasan dari apa yang mereka perbuat. (Qs.7:180).
Ayat ini memerintah berdu’a kepada Allah dengan memanggil nama-nama-Nya yang maha baik dan melarang Ilhad. Ilhad fi Asmaillah, الإلحاد في أسماء اللهmenurut Ibn Abbas[12], mengandung tiga makna yaitu (1) mem bantah tentang kebenaran asma’ul-husna, (2) menyimpang dari iqrar atas asma’ul-husna atau tidak mendudukan Allah sebagaimana mestinya dalam asma’ul-Husna; (3) memberi nama dengan nama Allah pada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Secara tersirat ayat ini juga mengandung larangan untuk bertawassul dengan memanggil nama selain nama Allah SWT. Orang jahiliyah dalam berdu’a suka memanggil nama latta, uzza, sebagai perantara bagi Allah, maka ayat ini melarangnya. Tak sedikit pula orang jaman sekarang, dalam berdu’anya memanggil nama selain Allah seperti memanggil nama Rasul nama wali atau nama gurunya. Ayat Qs.7:180 ini melarang berbuat demikian. Oleh karena itu tawassul dengan nama atau sifat Allah, berarti memohon kepada Allah dengan menyeru asma’ul-husna. Banyak contoh du’a yang menggunakan tawassul dengan asma’ul-husna berdasar sunnah Rasul, itu antara lain:
(b) du’a istikharah:
أَللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْئَلُكَ بِفَضْلِكَ العَّظِيْمِ *
Ya Allah, sesungguhnya aku beristikharah dengan ilmumu dan meminta kepadamu dengan karuniamu yang maha agung. (Hadits Riwayat Bukhari, bab Tahajjud).
Do’a ini salah satu contoh tawassul dengan asma Allah Subhanahu Wa Ta’ala ilmu, keutamaan yang agung.
(c) Istighatsah:
يَاحَيُّ يَا قَيُّومُ بِاسْمِكَ أَثْتَغِيْثُ .
Wahai yang Maha Hidup dan beridiri sendiri dengan asma-Mu aku mohon pertolongan. Hr. al-Tirmidzi.[13]
Tawassul ini, beristigatsah dengan asma Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan حيّ dan قَيُّوم
(d) Du’a bagi yang sudah tak sanggup lagi menahan sakit yang kronis dan tidak mampu berobat
لَا يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ الْمَوْتَ لِضُرٍّ نَزَلَ بِهِ فَإِنْ كَانَ لَا بُدَّ مُتَمَنِّيًا لِلْمَوْتِ فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتْ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتْ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي
Janganlah seseorang mengharapkan mati disebabkan beratnya penderitaan jika ada yang mengharapkan kematian, maka berdo’alah : “ya Allah Subhanahu Wa Ta’ala hidupkanlah aku jika hidup itu lebihy baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika wafat itu lebih baik bagiku” (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim[14]):
Doa ini tawassul dengan kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan pengetahuan-Nya, serta memiliki kekuasaan tentang menghidupkan dan mematikan, serta tentang nasib serta keadaan diri kita. Masih banyak contoh du’a yang berbentuk tawassul dengan asma dan sifat Allah itu. Dalam hal ini setiap individu muslim dipersilakan memilih nama Allah dari seluruh asma’ul-husna (Qs.17:110).
(e). Tawassul kepada Allah dengan iman dan amal shalih”.
Maksudnya ialah berdu’a kepada Allah dalam memohon sesuatu dengan jalan iman dan amal shalih, yaitu amal yang diridoi Allah SWT. Dalam al-Qur’an banyak contoh du’a yang berbentuk tawasul dengan amal shalih antara lain:
رَبَّنَا إِنَّنَا ءَامَنَّا فَاغْفِرْلَنَا ذَنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ *
“Ya Allah tuhan kami, kami telah beriman, oleh karena itu ampunilah segala dosa kami dan jauhkanlah kami dari neraka”.(Qs.3:16)
Du’a ini berbentuk tawassul dengan iman yang termasuk di dalamnya beramal shalih.
(f) mohon dimasukan pada kelompok syuhada
رَبَّنَا ءَامَنَّا بِمَا أَنْزَلْتَ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِديْنَ *
“Ya Allah Tuhan kami kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan, kami juga mengikuti jejak Rasul-Mu, maka tuliskanlah kami bersama kelompok syuhada”. (Qs.3:53)
Du’a Qur’ani ini berisi tawasul kepada Allah dengan iman pada kitab dan mengikuti jejak Rasulullah.
(3). Tawassul kepada Allah dengan du’a orang shalih.
Tawasul dengan du’a seseorang tentu saja bila yang dimintai du’a itu orangnya masih hidup. Bagaimana mungkin orang yang sudah wafat bisa dimintai du’a. Itulah sebabnya tatkala Rasul SAW masih hidup, Umar Bin Khathtab bertawassul kepada Rasul agar istisqa (Hadits Riwayat Bukhari,II:501).
Umar bin al-Khathhab diterangkan oleh Anas bin Malik:
كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ
Ketika kemarau panjang terjadi, Umar menghadap Abbas bin Abd al-Muthalib. Dia mengatakan ya Allah kami tawassul kepadamu dengan Nabi kami, maka Engkau menyirami kami. Kini kami tawassul kepadamu dengan paman Nabi kami, maka hujanilah kami! Anas mengatakan meka mereka dikasi hujan. Hr. al-Bukhari.[15]
Sepeninggal Rasulullah SAW, para shabat tidak lagi tawasul kepada Rasul, melainkan kepada sahabatnya yang masih hidup seperti Abbas Bin Abdul-Muthalib (Hr.Bukhari III:494).
- Tawassul Bid’i
Tawassul Bid’i ialah tawassul yang bertentangan dengan ajaran Rasulullah dan shabatnya. Banyak sekali contoh tawasul bid’i antara lain (1) bertawasul dengan latta dan uzza, seperti yang dilakukan oleh orang jahiliyah; (2) tawasul dengan orang mati; (3) tawassul dengan benda yang dikeramatkan; (4) tawassul dengan jinn (5) tawassul dengan malaikat; (6) tawassul dengan pedukunan (7) tahayul, khurafat.
Semua hadits yang membolehkan tawassul dengan orang yang sudah wafat, baik nabi ataupun para wali adalah dla’if tidak ada yang shahih. Oleh karena itu hadits yang membolehkannya tidak bisa dipertanggung jawabkan. Tegasnya tawassul kepada Allah dengan orang mati itu termasuk tawasul yang bid’ah tidak diajarkan oleh rasulullah maupun para shabatnta. jika tawasaul dengan orang mati itu diperbolehkan, tentu saja Umar Bin Khathab akan tawasul kepada Rasulullah walau sudah wafat. namun nyatanya sepeninggal rasul justru kepada Abbas yang masih hidup. Rasulullah SAW saja tidak bisa dijadikan perantara dalam tawassul apalagi pangkat yang lain seperti walai atau manusia biasa. Belum lagi dikaitkan dengan firman Allah SWT:
وَمَاأَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِى القُبُورِ
(kau tidak bisa memperdengarkan atau berkomunikasi dengan yang diqubur).(Qs. Fathir, 35:22).
Orang yang sudah mati, bagaimana mungkin bisa dimintai du’a atau dijadikan perantara, diajak bicara pun tidak bisa.
Setiap muslim dipersikan ziarah ke qbur, tapi bukan untuk minta doa dari ahli qubur, melainkan agar mendo’akan mereka semoga Allah mengampuni segala dosa, dan menerima ibadahnya. Fungsi berikutnya dari ziarah qbur adalah untuk mengingat kematian, bahwa semua manusia akan mati mengikuti ahli qubur tersebut.
-=o0o=-
[1] (Jurjani, Ta’rifat, hal: 252)
[2] Syarh Nawaqid al-Aqidah, h.39
[3] Ibn al-Juzi, Zad al-Masir, II h.206
[4] (Al-Qa- simi, Mahasin al-Ta`wil, IV: 185)
[5] shahih Muslim, no. 577
[6] shahih al-Bukhari, no.579
[7] Mahasin al-Ta`wil, (IV h.186)
[8] shahih al-Bukhari, no.954
[9] (al-Suhaimi, Al-Aqidah, h. 34)
[10] syarah Nawaqid al-Aqidah, h.40
[11] Musnad Ahmad, no.12096/ sunan Ibn Majah, no. 2492
[12] (Tanwir-l-Miqbas, hal:142)
[13] (Hadits Riwayat Tirmidzi, juz X h.267)
[14] Shaih Bukhari X: h.127, Shaih Muslim, IV: h. 2064
[15] shahih al-Bukhar, no.954