YANG MESTI IZIN SUAMI ISTRI (kajian hadits riwayat al-Bukhari)
YANG MESTI IZIN SUAMI ISTRI
(kajian hadits riwayat al-Bukhari)
A. Teks Hadits dan Tarjamahnya
ØÙŽØ¯Ù‘َثَنَا أَبÙÙˆ الْيَمَان٠أَخْبَرَنَا Ø´ÙØ¹ÙŽÙŠÙ’بٌ ØÙŽØ¯Ù‘َثَنَا أَبÙÙˆ الزّÙنَاد٠عَنْ الْأَعْرَج٠عَنْ أَبÙÙŠ Ù‡ÙØ±ÙŽÙŠÙ’رَةَ رَضÙÙŠÙŽ اللَّه٠عَنْه٠أَنَّ رَسÙولَ اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ قَالَ لَا ÙŠÙŽØÙلّ٠لÙلْمَرْأَة٠أَنْ تَصÙومَ وَزَوْجÙهَا Ø´ÙŽØ§Ù‡ÙØ¯ÙŒ Ø¥Ùلَّا Ø¨ÙØ¥ÙذْنÙه٠وَلَا تَأْذَنَ ÙÙÙŠ بَيْتÙه٠إÙلَّا Ø¨ÙØ¥ÙذْنÙه٠وَمَا أَنْÙَقَتْ Ù…Ùنْ Ù†ÙŽÙَقَة٠عَنْ غَيْر٠أَمْرÙÙ‡Ù ÙÙŽØ¥ÙÙ†Ù‘ÙŽÙ‡Ù ÙŠÙØ¤ÙŽØ¯Ù‘ÙŽÙ‰ Ø¥Ùلَيْه٠شَطْرÙÙ‡Ù
وَرَوَاه٠أَبÙÙˆ الزّÙنَاد٠أَيْضًا عَنْ Ù…Ùوسَى عَنْ أَبÙيه٠عَنْ أَبÙÙŠ Ù‡ÙØ±ÙŽÙŠÙ’رَةَ ÙÙÙŠ الصَّوْمÙ
Abu al-Yaman menyampaikankan hadits pada kami. Syu’aib mengabarkan hadits pada kami. Abu al-Zinad meriwayatkan hadits pada kami dari al-A’raj dari Abi hurairah. Sesungguhnya Rasul SAW bersabda: Tidak halal bagi seorang wanita untuk melaksanakan shaum sedangkan suaminya hadir, kecuali atas izinnya. Tidak halal bagi seorang wanita untuk mengizinkan orang lain masuk ke rumahnya, tanpa persetujan suaminya. Apa yang wanita nafqahkan tanpa perintah suaminya, maka setengahnya mesti dibayar pada suaminya. Abu al-Zinad juga meriwayatkan hadits yang senada dari Abi Musa, dari ayahnya dari Abi Hurairah. Hr, al-Bukhari[1]
B. Takhrij Hadits
1. ØÙŽØ¯Ù‘َثَنَا أَبÙÙˆ الْيَمَان٠أَخْبَرَنَا Ø´ÙØ¹ÙŽÙŠÙ’بٌ ØÙŽØ¯Ù‘َثَنَا أَبÙÙˆ الزّÙنَاد٠عَنْ الْأَعْرَج٠عَنْ أَبÙÙŠ Ù‡ÙØ±ÙŽÙŠÙ’رَةَ رَضÙÙŠÙŽ اللَّه٠عَنْه٠ Abu al-Yaman mengabarkan hadits pada kami. Syu’aib mengabarkan hadits pada kami. Abu al-Zinad meriwayatkan hadits pada kami dari al-A’raj dari Abi hurairah.
Kalimat ini mengisyaratkan bahwa al-Bukhari (a94-256H) menerima hadits dari أَبÙÙˆ الْيَمَان٠yang bernama al-Hakam bin Nafi, dia adalah Tabi al-Atba, dijuluki Abu al-Yaman yang wafat tahun 222H.  Beliau menerima hadits dari Ø´ÙØ¹ÙŽÙŠÙ’بٌ yang nama populernya adalah Abu Bisyr bin Abi Hamzah Dinar, sebagai tabi al-Tabi’in, lama hidup di Syam dan wafat tahun 162H. Yang menyampaikan hadits pada beliau adalah أَبÙÙˆ الزّÙنَاد٠nama aslinya Abdullah bin Dakwan, sebagai Tabi’in (karena bertemu dengan shahabat dalam keadaan muslim), lama hidup di Madinah dan wafat tahun 130H. Beliau menerima hadits dari الْأَعْرَج٠seorang tabi’in senior, yang benarma asli Abdurrahman bin Hurmuz dijuluki juga dengan nama Abu daud, lama hidup di Madinah dan wafat tahun 117. Beliau menerima hadits dari Abu Hurairah yaitu seorang shahabat yang bernama asli Abdurrahman bin Shahr, wafat tahun 57H, yang riwayatnya telah diungkap pada pembahasan yang lalu.
وَرَوَاه٠أَبÙÙˆ الزّÙنَاد٠أَيْضًا عَنْ Ù…Ùوسَى عَنْ أَبÙيه٠عَنْ أَبÙÙŠ Ù‡ÙØ±ÙŽÙŠÙ’رَةَ ÙÙÙŠ الصَّوْمÙ
Kalimat ini menginformasikan bahwa hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu al-Zinad melalui jalur lainnya yaitu dari Musa, dari ayahnya yang masih dari Abi hurairah. Itulah komentar al-Bukhari. Hadits ini sangat popular di kalangan ahli hadits, bahkan tiga imam dari penyusun al-Kutub al-Sittah meriwayatkannya dengan berbagai jalur atau mata rantai hingga sampai pada mereka. Adapun redaksinya ada yang sama ada pula yang berbeda. Perbandingan redaksinya dapat dilihat pada table berikut.
NAMA IMAM DAN NOMOR HADITS |
REDAKSI MATAN HADITS DAN TARJAMAHNYA |
Al-Bukhari (194-256H); hadits nomor 4796
|
لَا ÙŠÙŽØÙلّ٠لÙلْمَرْأَة٠أَنْ تَصÙومَ وَزَوْجÙهَا Ø´ÙŽØ§Ù‡ÙØ¯ÙŒ Ø¥Ùلَّا Ø¨ÙØ¥ÙذْنÙه٠وَلَا تَأْذَنَ ÙÙÙŠ بَيْتÙه٠إÙلَّا Ø¨ÙØ¥ÙذْنÙه٠وَمَا أَنْÙَقَتْ Ù…Ùنْ Ù†ÙŽÙَقَة٠عَنْ غَيْر٠أَمْرÙÙ‡Ù ÙÙŽØ¥ÙÙ†Ù‘ÙŽÙ‡Ù ÙŠÙØ¤ÙŽØ¯Ù‘ÙŽÙ‰ Ø¥Ùلَيْه٠شَطْرÙÙ‡Ù Tidak halal bagi seorang wanita untuk melaksanakan shaum sedangkan suaminya hadir, kecuali atas izinnya. Tidak halal bagi seorang wanita untuk mengizinkan orang lain masuk ke rumahnya, tanpa iznin suaminya. Apa yang wanita nafqahkan tanpa perintah suaminya, maka setengahnya mesti dibayar pada suaminya. |
Muslim (206-261H); hadis nomor 1704 |
لَا تَصÙمْ الْمَرْأَة٠وَبَعْلÙهَا Ø´ÙŽØ§Ù‡ÙØ¯ÙŒ Ø¥Ùلَّا Ø¨ÙØ¥ÙذْنÙه٠وَلَا تَأْذَنْ ÙÙÙŠ بَيْتÙÙ‡Ù ÙˆÙŽÙ‡ÙÙˆÙŽ Ø´ÙŽØ§Ù‡ÙØ¯ÙŒ Ø¥Ùلَّا Ø¨ÙØ¥ÙذْنÙه٠وَمَا أَنْÙَقَتْ Ù…Ùنْ كَسْبÙÙ‡Ù Ù…Ùنْ غَيْر٠أَمْرÙÙ‡Ù ÙÙŽØ¥Ùنَّ Ù†ÙØµÙ’ÙÙŽ أَجْرÙÙ‡Ù Ù„ÙŽÙ‡Ù Seorang wanita tidak dibenarkan melaksanakan shaum padahal suaminya hadir, kecuali atas izinnya. Perempuan juga tidak boleh mengizinkan orang lain masuk ke rumah suaminya padahal dia masih ada kecuali atas izinnya. Apa yang diinafkkan seorang wanita dari hasil usaha suami tanpa perintahnya, maka setengah pahalanya adalah untuk suaminya |
Abu Daud (202-275H); hadits nomor 2102 |
لَا تَصÙوم٠الْمَرْأَة٠وَبَعْلÙهَا Ø´ÙŽØ§Ù‡ÙØ¯ÙŒ Ø¥Ùلَّا Ø¨ÙØ¥ÙذْنÙه٠غَيْرَ رَمَضَانَ وَلَا تَأْذَن٠ÙÙÙŠ بَيْتÙÙ‡Ù ÙˆÙŽÙ‡ÙÙˆÙŽ Ø´ÙŽØ§Ù‡ÙØ¯ÙŒ Ø¥Ùلَّا Ø¨ÙØ¥ÙذْنÙÙ‡Ù Seorang wanita tidak dibenarkan shaum, padahal suaminya ada tanpa izinnya, kecuali ramadlan. Seorang wanita tidak dibenarkan mengizinkan orang lain masuk rumah padahal suaminya masih ada kecuali atas izinnya |
C. Syarah Hadits
1.. أَنَّ رَسÙولَ اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ قَالَ لَا ÙŠÙŽØÙلّ٠لÙلْمَرْأَة٠أَنْ تَصÙومَ وَزَوْجÙهَا Ø´ÙŽØ§Ù‡ÙØ¯ÙŒ Ø¥Ùلَّا Ø¨ÙØ¥ÙذْنÙÙ‡Ù Sesungguhnya Rasul SAW bersabda: Tidak halal bagi seorang wanita untuk melaksanakan shaum sedangkan suaminya hadir, kecuali atas izinnya.
Kalimat لَا ÙŠÙŽØÙلّ٠لÙلْمَرْأَة٠(tidak halal bagi kaum wanita), ditinjau dari sudut fiqih menunjukkan keharaman, karena setiap yang tidak halal adalah haram. Memang ada ulama yang berpendapat bahwa hukumnya adalah makruh, karena kalimat tidak halal tidak semua mengisyaratkan haram. Namun menurut al-Asqalani, kalimat لَا ÙŠÙŽØÙلّ٠لÙلْمَرْأَة٠yang lebih tepat diartikan hukumnya haram bagi kaum wanita, sebagai mana menurut mayoritas ulama. [2] Kalimat أَنْ تَصÙومَ وَزَوْجÙهَا Ø´ÙŽØ§Ù‡ÙØ¯ÙŒ Ø¥Ùلَّا Ø¨ÙØ¥ÙذْنÙÙ‡Ù (wanita shaum tatkala suaminya hadir, kecuali dengan seizinnya. Menurut riwayat muslim (206-261H) menggunakan redaksi larangan لَا تَصÙمْ الْمَرْأَة٠وَبَعْلÙهَا Ø´ÙŽØ§Ù‡ÙØ¯ÙŒ Ø¥Ùلَّا Ø¨ÙØ¥ÙذْنÙÙ‡Ù (janganlah seorang wanita shaum ketika suaminya ada kecuali dengan izinnya).[3] Yang diharamkan di sini adalah shaum tathawwu bukan shaum wajib, sebagaimana terungkap dalam riwayat al-Tirmidzi (209-279H) dan Ibn Majah (207-275H) dengan redaksi لَا تَصÙوم٠الْمَرْأَة٠وَزَوْجÙهَا Ø´ÙŽØ§Ù‡ÙØ¯ÙŒ يَوْمًا Ù…Ùنْ غَيْر٠شَهْر٠رَمَضَانَ Ø¥Ùلَّا Ø¨ÙØ¥ÙذْنÙÙ‡Ù Seorang perempuan tidak dibenarkan shaum sehari pun padahal suaminya hadir, selain shaum ramadlan kecuali dengan izinnya.[4]
Al-Nawawi (631-676H),[5]  menegaskan bahwa larangan ini mengisyaratkan haramnya wanita shaum sunat ketika suaminya hadir kecuali atas izinnya, karena shaum sunat itu waktunya tidak sempit boleh dilaksanakan di hari lain. Adapun salah satu sebabnya diharamkan adalah seorang suami mempunyai hak untuk bersenang-senang dengan istrinya kapanpun. Memenuhi keinginan suami untuk menenyangkannya adalah menjadi kewajiban seorang istri. Oleh karena itu tidak boleh dikalahkan dengan ibadah yang disunnahkan. Ada yang berpendapat bahwa shaum sunat tanpa izin suami itu semestinya dibolehkan saja, tapi tatkala suaminya menginginkan sesautu dari istri yang menimbulkan batalnya shaum, maka istrinya mesti membatalkan shaumnya, umpamanya menginginkan makan berasama atau sebangsanya. Al-Nawawi menjawab pendapat tersebut dengan menegaskan bahwa shaumnya sang istri bisa mengganggu kebebasan suami untuk memenuhi keinginanya, maka semestinya minta persetujuan terlebih dahulu.[6]
Adapun perkataan وَزَوْجÙهَا Ø´ÙŽØ§Ù‡ÙØ¯ÙŒ atau dalam redaksi lainnya وَبَعْلÙهَا Ø´ÙŽØ§Ù‡ÙØ¯ÙŒ (sedangkan suaminya menyaksikan atau hadir) mengisyaratkan bahwa istri dilarang shaum sunat tanpa persetujuan suaminya itu ketika suaminya berada di rumah atau sedang berbarengan dengannya. Jika suaminya itu sedang bepergian, sedangkan istrinya tidak ikut dan berada di rumah, maka istrinya boleh saja shaum tanpa minta persetujuan terlebih dahulu. Namun menurut al-Asqalani,[7] jika seorang istri sedang shaum padahal suaminya tidak di rumah, tiba-tiba di siang hari suminya datang dan menghendaki sesuatu yang membatalkan shaum, maka wajiblah istrinya itu membatalkan shaumnya. Larangan ini juga memberi isyarat bahwa di antara kebaikan istri pada suami adalah tidak melakukan ibadah yang hukumnya sunat yang menganggu keharmonisan rumah tangga. Menjaga keharmonisan suami istri hukumnya wajib, maka jangan sampai terganggu oleh ibadah yang hukumnya sunat. Dalam riwayat Ibn Abi Syaibah diterangkan ada seorang waniya yang menghadap Rasul menanyakan tentang hak suami yang mesti dipenuhi istrinya, maka Rasul SAW bersabda: لا تصوم إلا بإذنه إلا Ø§Ù„ÙØ±ÙŠØ¶Ø© ÙØ¥Ù† ÙØ¹Ù„ت أثمت ولم يقبل منها  tidak dibenarkan seorang istri shaum tanpersetujuan suaminya kecuali yang difardlukan. Jika istrinya tetap melakukan shaum maka termasuk dosa dan tidak akan diterima shaumnya.[8] Kalimat Ø¥Ùلَّا Ø¨ÙØ¥ÙذْنÙÙ‡Ù juga mengandung arti syarat dikabulnya ibadah sunat yang dilakukan seorang istri adalah persetujuan suami. Persetujuan tersebut baik dalam bentuk kalimat langsung ataupun tidak langsung. Namun bukan berarti istri dilarang melakukan semua ibadah sunat tanpa izin suami. Sepanjang ibadah sunat yang dilakukannya itu tidak menganggu keharmonisan suami istri maka dapat dijalankannya.[9]  Larangan ibadah shaum sunat bagi istri tanpa persetujuan suami, juga memberi isyarat adanya kemestian mendahulukan kewajiban di banding yang hukumnya sunat. Tegasnya larangan ini tidak mencakup shalat sunat yang hanya membutuhkan waktu singkat.[10] Namun jika ibadah yang hukumnya sunat itu dapat mengganggu atau menghalangi kewajiban memelihara kebahagiaan suami istri, maka sepantasnya dihindari. Dalam riwayat Ahmad (164-241H) bahkan ditegaskan seorang istri dilarang shaum sunat tanpa iizin suaminya walau hanya satu hari. Perhatikan redaksinya: لَا تَصÙمْ الْمَرْأَة٠يَوْمًا وَاØÙدًا وَزَوْجÙهَا Ø´ÙŽØ§Ù‡ÙØ¯ÙŒ Ø¥Ùلَّا Ø¨ÙØ¥ÙذْنÙÙ‡Ù
Janganlah seorang perempuan shaum walau hanya satu hari, padahal suaminya ada kecuali dengan izinnya. Hr. Ahmad.[11]
لَا تَصÙوم٠الْمَرْأَة٠يَوْمًا وَاØÙدًا وَزَوْجÙهَا Ø´ÙŽØ§Ù‡ÙØ¯ÙŒ Ø¥Ùلَّا Ø¨ÙØ¥ÙذْنÙه٠إÙلَّا رَمَضَانَ
Seorang perempuan tidak shaum walau hanya satu hari padahal suaminya ada kecuali dengan izinnya selain ramadlan. Hr. Ahmad.[12]9780
Kalau ibadah tathawwu itu mesti mendapat izin dari suami, maka secara tersirat seorang suami boleh saja membatasi istrinya dalam melakukan ibadah tathawu yang diperkirakan mengganggu hak dan kewajiban. Secara tersurat hadits ini melarang istri beribadah tathawu tanpa izin suaminya. Tegasnya suami memiliki wewenang untuk meberi atau tidak memberi izin istrinya. Namun bukan berarti sang suami boleh bertindak sewenag pada istrinya, karena diperintah untuk memperlakukan istrinya secara ma’ruf sebagaimana ditegaskan dalam Qs.4:19. Dalam hadits ini memang tidak dibahas tentang bagaimana suami melakukan ibadah tathawwu tanpa izin istri, apakah dibolehkan sepanjang tidak mengganggu keharmonisan? Tidak ditemukan hadits yang secara tersurat melarangnya. Namun hal ini tentu berkaitan dengan kewajiban suami menjaga perasaan sang istri. Itulah mungkin salah satu hikmahnya, Rasul minta izin siti Aisyah untuk bertahajjud. Beliau bersabda pada Aisyah:يا عائشة ذريني أتعبد الليلة لربي »  Wahai Aisyah ! sudikah dikau membiarkan diriku beribadah pada Tuhanku semalam ini? Aisyah menjawab: والله إني Ù„Ø£ØØ¨ قربك ØŒ ÙˆØ£ØØ¨ ما سرك ØŒ   demi Allah seungguhnya diriku sangat mencintai dekat denganmu dan aku sangat mencintai apa yang engkau senangi yang menyenangkanmu. Kemudian Rasul SAW bersuci dan melaksanakan qiam al-Lail. Hr. Ibn Hibban.[13] Hadits ini mengisyaratkan bertapa Rasul SAW memperlakukan istrinya dengan akhlaq yang mulia. Beliau meminta izin Aisyah terlebih dahulu tatkala akan melakukan ibadah di waktu malam. Budi pekerti beliau merupakan teladan bagi setiap suami. Dengan demikian tidak hanya sang istri minta izin suami untuk melakukan ibadah tathawwu, suami pun diperlukannya untuk menjaga keharmonisan keluarga. Ibadah ritual yang hukumnya tathawwu atau sunat secara fiqhiyah memang tidak boleh mengganggu kewajiban yang sifatnya social. Itulah mungkin salah satu hikmahnya mengapa Rasul SAW membatasi umat yang ingin beribadah melebihi beliau. Shaum tidak boleh setiap hari, shalat malam pun tidak boleh semalam suntuk. Abdullah bin Amr bin Ash menerangkan bahwa tatkala beliau bertekad untuk memperbanyak ibadah, Rasul SAW bersabda:
يَا عَبْدَ اللَّه٠أَلَمْ Ø£ÙØ®Ù’بَرْ أَنَّكَ تَصÙوم٠النَّهَارَ وَتَقÙوم٠اللَّيْلَ Ù‚Ùلْت٠بَلَى يَا رَسÙولَ اللَّه٠قَالَ Ùَلَا تَÙْعَلْ صÙمْ ÙˆÙŽØ£ÙŽÙÙ’Ø·ÙØ±Ù’ ÙˆÙŽÙ‚Ùمْ وَنَمْ ÙÙŽØ¥Ùنَّ Ù„ÙØ¬ÙŽØ³ÙŽØ¯ÙÙƒÙŽ عَلَيْكَ ØÙŽÙ‚ًّا ÙˆÙŽØ¥Ùنَّ Ù„ÙØ¹ÙŽÙŠÙ’Ù†ÙÙƒÙŽ عَلَيْكَ ØÙŽÙ‚ًّا ÙˆÙŽØ¥Ùنَّ Ù„ÙØ²ÙŽÙˆÙ’جÙÙƒÙŽ عَلَيْكَ ØÙŽÙ‚ًّا
Wahai Abdallah! Kabarnya engkau selalu shaum di siang hari, dan bangun malam. (kata Ibn Amr) betul wahai Rasul! Beliau bersabda: jangan engkau lakukan seperti itu! Shaumlah dan berbuka lah! Bangunlah malam dan tidurlah sebagiannya. Sesungguhnya jasadmu punya hak untuk kemu penuhi. Matamu juga punya hak untuk kamu penuhi. Istrimu juga punya hak untuk kamu penuhi kebutuhannya. Hr. al-Bukhari (194-256H).[14]
Dalam riwayat Ahmad (164-241) ditegaskan:
Ù„ÙÙ†ÙŽÙْسÙÙƒÙŽ عَلَيْكَ ØÙŽÙ‚Ù‘ÙŒ ÙˆÙŽÙ„ÙØ£ÙŽÙ‡Ù’Ù„ÙÙƒÙŽ عَلَيْكَ ØÙŽÙ‚Ù‘ÙŒ
Dirimu punya hak yang mesti kamu penuhi, keluargamu juga punya hak yang mesti kemu penuhi. Har. Ahmad.[15]
Demikiian pula dalam membaca al-Qur`an mesti memberi kesempatan untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Ketika Abdullah bin Amr bertekad memperbanyak bacaan al-Qur`an, Rasul bersabda:
اقْرَأْ Ø§Ù„Ù’Ù‚ÙØ±Ù’آنَ ÙÙÙŠ ÙƒÙلّ٠شَهْر٠قَالَ Ù‚Ùلْت٠إÙنّÙÙŠ Ø£ÙŽØ¬ÙØ¯Ù Ù‚Ùوَّةً قَالَ Ùَاقْرَأْه٠ÙÙÙŠ Ø¹ÙØ´Ù’رÙينَ لَيْلَةً قَالَ Ù‚Ùلْت٠إÙنّÙÙŠ Ø£ÙŽØ¬ÙØ¯Ù Ù‚Ùوَّةً قَالَ Ùَاقْرَأْه٠ÙÙÙŠ سَبْع٠وَلَا ØªÙŽØ²ÙØ¯Ù’ عَلَى ذَلÙÙƒÙŽ
Bacalah olehmu al-Qur`an di setiap bulan! Saya berkata bahwa masih kuat melebihi itu. Sabda Rasul bacalah menamatkannya dalam dua puluh malam! Saya katakana masih kuat! Rasul bersabda bacalah al-Qur`an dalam tujuh hari dan jangan lebih dari itu. Hr. Muslim.[16]
Rasul membatasi ibadah Ibn Amr bahwa shaum tidak boleh setiap hari, shalat tidak boleh semalam suntuk, membaca al-Qur`an sebaiknya satu bulan saja untuk menamatkannya. Kalau pun masih banyak waktu dan kesempatan bolehlah sampai tujuh hari dan tidak boleh melebihi itu, karena harus ada kesempatan untuk kepentingan memenuhi kebutuhan diri dan keluarga. Dengan demikian sang suami boleh saja membatasi ibadah istrinya, yang sudah dibatasi oleh Rasul SAW tersebut, yang sifatnya ritual yang tidak diwajibkan.
2.. وَلَا تَأْذَنَ ÙÙÙŠ بَيْتÙه٠إÙلَّا Ø¨ÙØ¥ÙذْنÙÙ‡Ù Tidak halal bagi seorang wanita untuk mengizinkan orang lain masuk ke rumahnya, tanpa iznin suaminya.
Kalimat ini tidak terpisahkan dengan kalimat sebelumnya yang menggunakan kata sambung secara mutlak. Dengan demikian وَلَا تَأْذَنَ pada hadits ini bermakna تَأْذَنَ لَا ÙŠÙŽØÙلّ٠لÙلْمَرْأَة٠أَنْ tidak halal bagi seorang perempun memberi izin ÙÙÙŠ بَيْتÙÙ‡Ù di rumahnya Ø¥Ùلَّا Ø¨ÙØ¥ÙذْنÙÙ‡Ù kecuali dengan izin suaminya. Dalam riwayat muslim menggunakan kalimat وَلَا تَأْذَنْ ÙÙÙŠ بَيْتÙÙ‡Ù ÙˆÙŽÙ‡ÙÙˆÙŽ Ø´ÙŽØ§Ù‡ÙØ¯ÙŒ Ø¥Ùلَّا Ø¨ÙØ¥ÙذْنÙÙ‡Ù Tidak halal bagi seorang wanita padahal suaminya hadir, untuk mengizinkan orang lain masuk ke rumahnya, tanpa iznin suaminya. Namun kalimat ÙˆÙŽÙ‡ÙÙˆÙŽ Ø´ÙŽØ§Ù‡ÙØ¯ÙŒ bukan berarti membolehkan memberi izin ketika suaminya tidak ada, tapi sebagai penegasan atau menguatkan kalimat sebelumnya. Berfungsi pula sebagai من باب الأولى yang mengandung arti ketika ada suaminya di rumah mesti minta izin terlebih dahulu, untuk mempersilakan orang lain masuk rumah; apalagi tatkala suaminya tidak ada di rumah. Tegaslah seorang istri berkewajiban minta izin suami tatkala hendak mempersilakan orang lain masuk ke rumah, baik suaminya ada di rumah ataukah sedang tiada. Salah satu tanggung jawab istri terhadap suami adalah menjaga kehormatan diri, kehormatan suami dan juga kepemimpinan rumah tangga tatkala suaminya tiada di rumah. Allah SWT berfirman:ÙÙŽØ§Ù„ØµÙ‘ÙŽØ§Ù„ÙØÙŽØ§ØªÙ Ù‚ÙŽØ§Ù†ÙØªÙŽØ§ØªÙŒ ØÙŽØ§ÙÙØ¸ÙŽØ§ØªÙŒ Ù„Ùلْغَيْب٠بÙمَا ØÙŽÙÙØ¸ÙŽ Ø§Ù„Ù„Ù‘ÙŽÙ‡Ù Wanita shahihat ada yang taat setia dan pandai menjaga tatkala suaminya tiada sebagaimana Allah telah menjaganya. Qs.4:35
عَنْ أَبÙÙŠ Ù‡ÙØ±ÙŽÙŠÙ’رَةَ قَالَ Ù‚Ùيلَ Ù„ÙØ±ÙŽØ³Ùول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ Ø£ÙŽÙŠÙ‘Ù Ø§Ù„Ù†Ù‘ÙØ³ÙŽØ§Ø¡Ù خَيْرٌ قَالَ الَّتÙÙŠ ØªÙŽØ³ÙØ±Ù‘ÙÙ‡Ù Ø¥ÙØ°ÙŽØ§ نَظَرَ ÙˆÙŽØªÙØ·ÙيعÙÙ‡Ù Ø¥ÙØ°ÙŽØ§ أَمَرَ وَلَا ØªÙØ®ÙŽØ§Ù„ÙÙÙÙ‡Ù ÙÙÙŠ Ù†ÙŽÙْسÙهَا وَمَالÙهَا بÙمَا يَكْرَهÙ
dari Abi Hurairah, berkata: Rasul SAW ditanya: Wanita yang bagaimanakah yang terbaik? Beliau menjawab yang menyenangkan suami tatkala melihatnya, taat tatkala suami memerintah, tidak menyalahi suaminya dalam mengurus diri dan harta, hingga melakukan yang tidak disenangi. Hr. al-Nasa`iy.[17] Redaksi lainnya berbunyi
عَنْ أَبÙÙŠ Ù‡ÙØ±ÙŽÙŠÙ’رَةَ عَنْ النَّبÙيّ٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ قَالَ Ø³ÙØ¦ÙÙ„ÙŽ النَّبÙيّ٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ Ø£ÙŽÙŠÙ‘Ù Ø§Ù„Ù†Ù‘ÙØ³ÙŽØ§Ø¡Ù خَيْرٌ قَالَ الَّتÙÙŠ ØªÙŽØ³ÙØ±Ù‘ÙÙ‡Ù Ø¥ÙØ°ÙŽØ§ نَظَرَ Ø¥Ùلَيْهَا ÙˆÙŽØªÙØ·ÙيعÙÙ‡Ù Ø¥ÙØ°ÙŽØ§ أَمَرَ وَلَا ØªÙØ®ÙŽØ§Ù„ÙÙÙÙ‡Ù ÙÙيمَا يَكْرَه٠ÙÙÙŠ Ù†ÙŽÙْسÙهَا وَلَا ÙÙÙŠ مَالÙÙ‡Ù
dari Abi Hurairah, berkata: Rasul SAW ditanya: Wanita yang bagaimanakah yang terbaik? Beliau menjawab yang menyenangkan suami tatkala melihatnya, taat tatkala suami memerintah, tidak menyalahi suaminya dan tidak melakukan sesuatu yang kurang disenangi suaminya baik dalam mengurus diri maupun urusan harta suaminya. Har. Ahmad.[18]
خير النساء اللاتي إذا نظرت إليها سرتك ØŒ وإذا أمرتها أطاعتك ØŒ وإذا غبت عنها ØÙظتك ÙÙŠ Ù†ÙØ³Ù‡Ø§ ومالها
Sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkanmu tatkala kamu melihatnya, taat dan setia tatkala kamu memerintahnya, serta senantiasa menjaga diri dan hartanya tatkala kamu tidak dio sampingnya. Hr. Ibn Abi Hatim, Abu Dawud al-Thayalisi.[19]
ألا Ø£Ø®Ù’Ø¨ÙØ±ÙÙƒ Ø¨ÙØ®ÙŽÙŠÙ’ر٠مَا يكنز٠المَرْء Ø§Ù„Ù…ÙŽØ±Ù’Ø£Ø©Ù Ø§Ù„ØµÙ‘ÙŽØ§Ù„ÙØÙŽØ© إذَا نَظَر إليْهَا سَرَّتْه وإذا أمَرَها أطَاعَتْه وإذا غَابَ عَنْهَا ØÙŽÙظتْه ÙÙŠ Ù†ÙŽÙْسÙهَا وَمَالÙÙ‡
“Ingatlah aku beritahukan kepada kamu tentang simpanan seseorang yang patut dipelihara, yaitu isteri yang shalih; yang menyenangkan suami tatkala melihatnya, selalu taat tatkala suami memerintahnya, dan selalu menjaga dirinya dan harta suami tatkala jauh darinya”. Hr. Abu Dawud (w.275 H), Ibn Majah (w.275 H),  dan Abû Ya’la (w.307). [20]
Abu Umamah (w. 86 H) menerangkan bahwa Rasul SAW bersabda:
مَا اسْتَÙَادَ Ø§Ù„Ù’Ù…ÙØ¤Ù’Ù…Ùن٠بَعْدَ تَقْوَى اللَّه٠خَيْرًا Ù„ÙŽÙ‡Ù Ù…Ùنْ Ø²ÙŽÙˆÙ’Ø¬ÙŽØ©Ù ØµÙŽØ§Ù„ÙØÙŽØ©Ù Ø¥Ùنْ أَمَرَهَا أَطَاعَتْه٠وَإÙنْ نَظَرَ Ø¥Ùلَيْهَا سَرَّتْه٠وَإÙنْ أَقْسَمَ عَلَيْهَا أَبَرَّتْه٠وَإÙنْ غَابَ عَنْهَا نَصَØÙŽØªÙ’Ù‡Ù ÙÙÙŠ Ù†ÙŽÙْسÙهَا وَمَالÙÙ‡Ù
“Tidak ada yang lebih baik manfaatnya yang diraih mu`min setelah taqwa kepada Allah dibanding isteri yang shalih; jika suaminya memerintah ia setia, jika melihatnya ia menyenangkan, jika memberi bagian ia tetap berbaikan, jika suami sedang tiada, ia tetap menjaga dirinya dan harta suaminya”. Hr. Ibn Mâjah (w.275 H).[21]
Berdasar beberapa hadits di atas, jelaslah bahwa seorang istri bertanggung jawab untuk menjaga kemaslahatan rumahtangganya terutama tatkala suami tidak ada di tempat. Istri merupakan pemimpin rumah tangga mewakili suami yang sedang tidak di tempat. Di samping itu kalimat وَلَا ØªÙØ®ÙŽØ§Ù„ÙÙÙÙ‡Ù ÙÙيمَا يَكْرَه٠ÙÙÙŠ Ù†ÙŽÙْسÙهَا وَلَا ÙÙÙŠ مَالÙÙ‡Ù menunjukkan bahwa pada prisipnya seorang istri tidak diperkenankan untuk melakukan hal-hal yang tidak disenangi suaminya, baik dalam urusan sikap diri maupun urusan pengelolaan harta. Dalam riwayat lain ditegaskan وإن Ù„ÙŽÙƒÙÙ… عَلَيْهÙنَّ أن لا ÙŠÙÙˆÙŽØ·Ù‘ÙØ¦Ù’Ù† ÙَرْشَكÙمْ Ø£ØÙŽØ¯Ù‹Ø§ تَكْرَهÙوْنَه “Ingatlah di antara yang menjadi hakmu sebagai tanggung jawab isteri; jangan sampai mereka memasukkan seorang pun yang tidak kamu senangi ke rumahmu.” Hr. al-Darimi (w.255 H), dari Jabir bin ‘Abd Allah.[22]
Dikaitkan dengan pangkal hadits yang dibahas yang melarang shaum sunat tanpa izin suami, jelas berkaitan dengan urusan ibadah ritual, maka potongan hadits ini berkaitan dengan ibadah social yang ada hubungannya dengan sesame manusia. Kedua macam ibadah tersebut tentu saja sangat bernilai di sisi Allah maupun sisi manusia. Namun ternyata berdasar hadits yang dikaji di sini, baik ritual maupun social yang dilakukan seorang istri, mesti tetap atas izin suami, jelaslah jangan sampai mengganggu keharmonisan berkeluarga. Istri yang mengutamakan kepentingan keluarga khususnya keharmonisan dengan suaminya mendapat jaminan untuk mendapatkan surg di hari akhirat kelak. Rasul SAW bersabda:
إذَا صَلَّت المَرْأة٠خَمْسَهَا وَصَاَمتْ شَهْرَهَا ÙˆÙŽØÙŽØµÙ‘َنَتْ Ùَرْجَهَا وَأطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ Ù…Ùنْ أي أبْوَاب٠الجَنَّة٠شَاءَتْ
“Jika perempuan itu menegakkan shalat lima waktu, shaum bulan ramadhan, menjaga kehormatannya, dan taat pada suaminya, maka akan masuk surga melalui pintu mana saja yang ia inginkan.” Hr. Ibn Hibban (w. 354 H) dari Abi Hurairah.[23]
Hadits ini berisi jaminan bagi isteri yang taat pada suami, bila ia menegakkan shalat, shaum, dan menjaga kehormatannya, akan masuk surga. Dengan demikian isteri yang setia pada suaminya, bukan hanya meraih derajat sebagai wanita terbaik di dunia, tapi juga menjadi ahli surga di akhirat kelak. Perintah suami yang mesti ditaati isteri, tentu saja yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Jika perintahnya itu bertentangan dengan syari’at, maka yang mesti ditaati adalah Allah SWT dan Rasul-Nya. Siapa pun tidak dibenarkan menaati suatu perintah yang bertentangan dengan perintah Allah SWT. Rasul bersabda:لا طَاعَةَ لÙمَخْلÙوق٠ÙÙÙŠ مَعْصÙÙŠÙŽØ© الخَالÙÙ‚ “Tidak ada ketaatan pada makhluq dalam berbuat maksiat terhadap Khaliq.” Hr. Ibn Abî Syaybat (w.235) dari al-Hasan.[24]
Timbul pertanyaan, bagaimana kalau seorang suami mengajak masuk perempuan lain ke rumahnya tanpa izin istri? Tentu saja jawabannya bukan dengan hadits inhi, melainkan dalam ketentuan lainnya. Pada dasarnya baik suami maupun istri mesti berusaha saling menyenangkan dan menghindari hal-hal yang menimbulkan ketidaknyamanan pasangannya. Istri berkewajiban menjaga ketentraman dan kenyamanan suami. Suami pun berkewajiban menjaga ketentraman dan kenyamanan istrinya. Allah SWT berfirman: ÙÙŽØ¥Ùنْ أَطَعْنَكÙمْ Ùَلَا تَبْغÙوا عَلَيْهÙنَّ سَبÙيلًا Ø¥Ùنَّ اللَّهَ كَانَ عَلÙيًّا كَبÙيرًا
Jika istrimu itu teah setia menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyulitkan mereka, sesungguhnya Allah Maha tinggi lagi Maha Agung. Qs.4:34
3.. وَمَا أَنْÙَقَتْ Ù…Ùنْ Ù†ÙŽÙَقَة٠عَنْ غَيْر٠أَمْرÙÙ‡Ù ÙÙŽØ¥ÙÙ†Ù‘ÙŽÙ‡Ù ÙŠÙØ¤ÙŽØ¯Ù‘ÙŽÙ‰ Ø¥Ùلَيْه٠شَطْرÙÙ‡Ù Apa yang wanita nafqahkan tanpa perintah suaminya, maka setengahnya mesti dibayar pada suaminya.
Dikaitkan dengan kalimat sebelumnya, penggalan hadits ini mengandung perintah agar seorang istri yang akan berinfaq hendaklah minta persetujuan terlebih dahulu dari saminya. Konsekuensinya bila seorang istri infaq tanpa persetujuan suami, maka mesti mengembalikan atau membayar setengah dari apa yang telah diinfakkannya. Kalimat ini juga memberi isyarat bahwa harta rumah tangga merupakan milik bersama suami istri. Jika salah satu di antara suami istri, berkeinginan menggunakannya di luar kepentingan bersama, maka mesti ada persetujuan kedua belah fihak. Diriwayatkan dari Abi Hurairah
ÙÙÙŠ الْمَرْأَة٠تَصَدَّق٠مÙنْ بَيْت٠زَوْجÙهَا قَالَ لَا Ø¥Ùلَّا Ù…Ùنْ Ù‚ÙوتÙهَا وَالْأَجْر٠بَيْنَهÙمَا وَلَا ÙŠÙŽØÙلّ٠لَهَا أَنْ تَصَدَّقَ Ù…Ùنْ مَال٠زَوْجÙهَا Ø¥Ùلَّا Ø¨ÙØ¥ÙذْنÙÙ‡Ù
Mengenai seorang istri bersedekah dari harta rumah tangga suaminya, dia mengatakan tidak boleh kecuali dari kelebihan makanan [pokok dan pahala untuk keduanya; tidak halal seorang istri bersedekah dari harta suaminya kecuali atas izinnya. Hr. Abu Dawud.[25]
Jika harta yang diinfakkan istri itu mendapat persetujuan suaminya, maka pahala dari infaq tersebut sampai pula kepada suaminya. Rasul SAW bersabda:
Ø¥ÙØ°ÙŽØ§ أَنْÙَقَتْ الْمَرْأَة٠مÙنْ كَسْب٠زَوْجÙهَا عَنْ غَيْر٠أَمْرÙÙ‡Ù ÙÙŽÙ„ÙŽÙ‡Ù Ù†ÙØµÙ’Ù٠أَجْرÙÙ‡Ù
Jika seorang istri berinfaq dari harta hasil usaha suaminya, tanpa perintah suaminya, maka setengah pahala adalah untuk suaminya. Hr. Al-Bukhari.[26]
Kalimat وَلَا ÙŠÙŽØÙلّ٠لَهَا أَنْ تَصَدَّقَ Ù…Ùنْ مَال٠زَوْجÙهَا Ø¥Ùلَّا Ø¨ÙØ¥ÙذْنÙÙ‡Ù tidak halal bagi istri bersedekah tanpa izin suami tersebut tentu saja bila diambil dari harta suami seperti ditegaskan dengan kalimat Ù…Ùنْ مَال٠زَوْجÙهَا bukan dari harta milik sendiri. Menurut mayoritas ulama yang dilarang oleh hadits ini juga infaq yang hukumnya sunat bukan yang wajib sebagaimana shaum, karena hal yang wajib tidak mesti ada persetujuan. Aisyah radliallahu anha menerangkan sebagai berikut:
دَخَلَتْ Ù‡Ùنْدٌ بÙÙ†Ù’ØªÙ Ø¹ÙØªÙ’بَةَ امْرَأَة٠أَبÙÙŠ سÙÙْيَانَ عَلَى رَسÙول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ Ùَقَالَتْ يَا رَسÙولَ اللَّه٠إÙنَّ أَبَا سÙÙْيَانَ رَجÙÙ„ÙŒ Ø´ÙŽØÙÙŠØÙŒ لَا ÙŠÙØ¹Ù’Ø·ÙينÙÙŠ Ù…Ùنْ النَّÙَقَة٠مَا يَكْÙÙينÙÙŠ وَيَكْÙÙÙŠ بَنÙيَّ Ø¥Ùلَّا مَا أَخَذْت٠مÙنْ مَالÙÙ‡Ù Ø¨ÙØºÙŽÙŠÙ’ر٠عÙلْمÙÙ‡Ù Ùَهَلْ عَلَيَّ ÙÙÙŠ ذَلÙÙƒÙŽ Ù…Ùنْ جÙنَاØÙ Ùَقَالَ رَسÙول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ Ø®ÙØ°ÙÙŠ Ù…Ùنْ مَالÙÙ‡Ù Ø¨ÙØ§Ù„ْمَعْرÙÙˆÙ٠مَا يَكْÙÙيك٠وَيَكْÙÙÙŠ بَنÙيكÙ
Hindun binti Utbah istri Abi Sufyan menghadap Rasul SAW, berkata: Wahai Rasul! Sesungguhnya Abu Sufyan itu seorang laki-laki yang sangat kikir. Dia tidak memberi nafaqah padaku dan pada anakku yang mencukupi, kecuali apa yang kau ambil dari hartanya tanpa sepengetahun dia. Apakah aku memikul dosa atas perbuatanku itu? Rasil SAW bersabda: ambilah dari hartanya secara ma’ruf apa yang mencukupi kebutuanmu dan menuckupi kebutuhan anakmu. Hr. Muslim (206-261H).[27]
Hadits ini memberi isyarat bahwa seorang istri diperbolehkan mengambil harta suami untuk memenuhi apa yang telah diwajibkan padanya. Hal ini juga termasuk pada kategori memenuhi tanggung jawab tentang kemaslahatan keluarga. Jadi jelas infaq dari harta suami yang diperbolehkan istri mengeluarkannya tanpa persetujuan adalah (1) yang hukumnya wajib (2) yang tathawu tapi tidak menggangu kebutuhan pokok. Rasul SAW bersabda:
Ø¥ÙØ°ÙŽØ§ أَنْÙَقَتْ الْمَرْأَة٠مÙنْ طَعَام٠بَيْتÙهَا غَيْرَ Ù…ÙÙÙ’Ø³ÙØ¯ÙŽØ©Ù كَانَ لَهَا أَجْرÙهَا بÙمَا أَنْÙَقَتْ ÙˆÙŽÙ„ÙØ²ÙŽÙˆÙ’جÙهَا أَجْرÙه٠بÙمَا كَسَبَ ÙˆÙŽÙ„ÙلْخَازÙÙ†Ù Ù…ÙØ«Ù’ل٠ذَلÙÙƒÙŽ لَا ÙŠÙŽÙ†Ù’Ù‚ÙØµÙ بَعْضÙÙ‡Ùمْ أَجْرَ بَعْض٠شَيْئًا jika seorang wanita berinfaq dari harta rumah tangganya sepanjang tidak menimbulkan kerusakan, maka pahalanya adalah untuknya dan untik suaminya. Dia dapat pahala karena berinfaq, dan suaminya dapat pahala karena telah mencarikan nafqah. Demikian pula seorang bendahara, akan mendapat pahala dari yang mereka infakkan. Satu sama yang lain mengurangkan paha yang lain sedikit pun. Hr.Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud.[28]
Hadits ini memberikan jaminan siapa pun yang berjasa dalam berinfaq bakal mendapatkan pahala. Seorang istri yang menginfakkaan harta suaminya dapat pahala karena menyalurkan harta secara tepat. Seorang suami juga mendapat pahala dari harta yang diinfakkan istrinya, karena telah berjasa mencari nafqah. Demikian pula seorang bendara mendapatkan pahala darin infaqnya karena berjasa mengelola harta secara tepat, tidak akan mengurangi pahala sipemilik harta. Apa yang mereka infakkan secara tathawu, tentu saja tidak boleh menimbulkan kesulitan berumah tangga sebagaimana ditegaskan dengan kalimat غَيْرَ Ù…ÙÙÙ’Ø³ÙØ¯ÙŽØ©Ù (tidak mendatangkan mafsadat fihak manapun). Hal ini memberikan isyarat agar setiap suami memberikan wewenang pada istrinya untuk berinfaq, karena pahalanya akan didapat oleh keduanya.
D. Beberapa Ibrah
1. Ketentraman, keharmonisan dan ketenangan keluarga merupakan tanggung jawab bersama suami dan istri. Suami maupun istri wajib memelihara kemaslahatan keluarga baik secara probadi maupun bersama, maka tidak boleh terganggu oleh tindakan apapun walau yang sifatnya ibadah baik yang bersifat ritual maupun social.
2. Tanggung jawab suami istri ada yang bersifat ritual seperti shaum, ada yang bersifat soasil hubungan dengan fihak yang lain, dan ada pula yang bersifat materi harta keluarga. Beribadah dengan ketiga hal itu mesti dilakukan sesuai proporsinya, tidak boleh mengganngu yang lainnya.
3. Apa yang dilakukan istri yang bersifat berdampak pada fihak suami, mesti dilakukan atas persetujuan suami. Demikian pula yang dilakukan suami bila berdampak pada hak istri, maka mesti dilakukan atas persetujuan istri.
4. Infaq yang dikeluarkan istri pahalanya bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk suaminya. Istri berpahala karena infaqnya; suami dapat pahala karena telah menyediakannya.
5. Harta dalam rumah tangga ada yang bersifat milik pribadi masing-masing suami istri; ada pula yang bersifat milik bersama. Yang menjadi milik pribadi masing-masing tentu saja punya kewenangan tanpa terhalang yang lain. Namun yang milik bersama mesti persetujuan bersama bila digunakan bukan untuk kepentingan bersama.
6. Suami memiliki hak yang mesti dipenuhi oleh istrinya. Istri juga punya hak yang mesti dipenuhi oleh suaminya. Hak dan kewajiban masing-masing mesti dipenuhi sesuai ketentuan syari’ah.
7. Ibadah baik yang sifatnya ritual, social  maupun amwal harta mesti dilakukan sesuai aturan, tidak boleh berlebihan tidak pula berkekurangan dan mesti saling mendukung antara yang satu dengan yang lainnya sehingga terpeliahara kesimbangan.
[1] Shahih al-Bukhari, no.4796
[2] Fath al-Bari, XIV h.488
[3] shahih Muslim, hadits nomor 1704
[4] Sunan Al-Tirmidzi, 713; Sunan Ibn Majah, no.1751
[5] nama lengkapnya Abu Zakariya, Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Dimasyq (Damascus) yang sekarang merupakan ibukota Suriah. Beliau merupakan ulama yang menulis berbagai karaya tulis antara lain Hadits Arbain, al-Adzkar, riyad al-Shalihin, Syarah Shahih Muslim, Minhaj al-Thalibin. Beliau wafat tahun 676H
[6] Syarah al-Nawawi ala Muslim, III h.474
[7] Beliau adalah al Imam al ‘Allamah al Hafizh Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Hajar, al Kinani, al ‘Asqalani, asy Syafi’i, al Mishri. Kemudian dikenal dengan nama Ibnu Hajar, dan gelarnya “al Hafizhâ€. Adapun penyebutan ‘Asqalani adalah nisbat kepada ‘Asqalan’, sebuah kota yang masuk dalam wilayah Palestina, dekat Ghuzzah (Jalur Gaza-red). Beliau lahir di Mesir pada bulan Sya’ban 773 H, wafat pada tanggal 28 Dzulhijjah 852 H di Mesir. Karya tulisnya cukup banyak antara lain Bulguhul-Maram, Fath al-Bari, Tahdzib al-Tahdzib, Talkhish
[8] Mushannaf Ibn Abi Syaibah, II h.507
[9] Â Fath al-Bari, XIV h.489
[10] Tuhfah al-Ahwadzi, II h.326
[11] Musnad Ahmad, no.9357
[12] Musnad Ahmad, no. 9780
[13] Shahih Ibn Hibban, III h.238
[14] Shahih al-Bukhari, no.4800
[15] Musnad Ahmad, no.6583
[16] shahih Muslim, no.1964
[17] Sunan al-Nasa`iy, III h.271
[18] Musnad, II h.251
[19] Tafsir Ibn Abi Hatim, no.5294, Musnad al-Thayalisi, no.2434
[20] Abû Daud, Sunan Abi dawud., II h.126, Ibn Majah, Sunan Ibn Majah., I h.596, Abû Ya’la, Ahmad bin ‘Alî, Musnad Abû Ya’lâ, jz. IV h.378
[21] Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, I h.596
[22] Abd Allâh bin Abd al-Rahmân al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, , juz II h.69
[23] Abû Hâtim Muhammad bin Hibban, Shahîh Ibn Hibbân, juz IX h.471
[24] Abû bakr bin Muhammad bin Abi Syaybat,, juz VI h.545
[25] Sunan Abi Dawud, no.1438
[26] Shahih al-Bukhari, no.1924
[27]Â Shahih Muslim, III h.1338, Â no3233
[28] Shahih al-Bukhari, no.1336, Shahih Muslim, no.1700, Sunan Abi Dawud, no.1435