05.HADITS AL-BUKHARI TENTANG NIAT DAN HIJRAH seri 01
KAJIAN HADITS
RIWAYAT
AL-BUKHARI
tentang
NIAT DAN HIJRAH
Â
A. Teks Hadits dan Terjemah
Imam al-Bukhari (194-256H)[1] meriwayatkan:
Øَدَّثَنَا Ù‚Ùتَيْبَة٠بْن٠سَعÙيد٠Øَدَّثَنَا عَبْد٠الْوَهَّاب٠قَالَ سَمÙعْت٠يَØْيَى بْنَ سَعÙيد٠يَقÙول٠أَخْبَرَنÙÙŠ Ù…ÙØَمَّد٠بْن٠إÙبْرَاهÙيمَ أَنَّه٠سَمÙعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاص٠اللَّيْثÙيَّ ÙŠÙŽÙ‚Ùول٠سَمÙعْت٠عÙمَرَ بْنَ الْخَطَّاب٠رَضÙÙŠÙŽ اللَّه٠عَنْه٠يَقÙول٠سَمÙعْت٠رَسÙولَ اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ ÙŠÙŽÙ‚Ùول٠إÙنَّمَا الْأَعْمَال٠بÙالنّÙيَّة٠وَإÙنَّمَا Ù„ÙامْرÙئ٠مَا Ù†ÙŽÙˆÙŽÙ‰ Ùَمَنْ كَانَتْ Ù‡ÙجْرَتÙه٠إÙÙ„ÙŽÙ‰ اللَّه٠وَرَسÙولÙÙ‡Ù ÙÙŽÙ‡ÙجْرَتÙه٠إÙÙ„ÙŽÙ‰ اللَّه٠وَرَسÙولÙه٠وَمَنْ كَانَتْ Ù‡ÙجْرَتÙه٠إÙÙ„ÙŽÙ‰ دÙنْيَا ÙŠÙصÙيبÙهَا أَوْ امْرَأَة٠يَتَزَوَّجÙهَا ÙÙŽÙ‡ÙجْرَتÙه٠إÙÙ„ÙŽÙ‰ مَا هَاجَرَ Ø¥ÙلَيْهÙ
Â
“Qutaibah bin Sa’id telah menyampaikan hadits pada kami. Abd al-Wahab memberitakan pada kami. Dia berkata: Saya mendengar yahya bin Sa’id yang mengatakan: Muhammad bin ibrahim telah memberitahu bahwa ia mendengar Alqamah bin Waqas al-Laytsi berkata: Aku mendengar Umar bin al-Khathab berkata: Saya dengar rasul SAW bersabda: Sesungguhnya amal itu dengan niyat. Sesungguhnya bagi setiap orang tergantung pada yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya pada Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya untuk kepentingan dunia, atau yang hijrahnya karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang harapkannya.â€
B. Sanad dan Rawi
1. Sekilas Sanad
1. Øَدَّثَنَا Ù‚Ùتَيْبَة٠بْن٠سَعÙيدÙ
(Kata imam al-Bukhari), Qutaibah bin Sa’id telah menyampaikan hadits pada kami. Qutaibah bin Sa’id bin Jamil bin Thuraif bin Abd Allah, dikenal dengan nama Abu Raja, keturunan al-Baghlani al-tsaqafi, temasuk كبار تÙبع الأتْبَاع (murid besar al-atba/ bertemu dengan murid tabi’in sampai dewasa) dan wafat di Khimshi tahun 240H.
2. Øَدَّثَنَا عَبْد٠الْوَهَّاب٠قَالَ سَمÙعْتÙ
(Kata Qutaibah) Abd al-wahab telah menyampaikan hadits pada kami; ia telah mengatakan: Saya mendengar.
Nama lengkapnya Abd al-Wahab bin Abd al-Majid bin al-Shalth, dijuluki Abu Muhammad, keturunan al-Tsaqafi, setingkat الوÙسطَى من الأتْبَاع (pengikut tabi’in pertengahan), wafat di Bashrah tahun 194 H.
3.  يَØْيَى بْنَ سَعÙيد٠يَقÙولÙ
(Kata Abd al-Wahab) Yahya bin Sa’id berkata.Nama lengkapnya Yahya bin Sa’id bin Qays, Abu Sa’id al-Anshari, al-Najari (keturunan Najar), setingkat الصّÙغْرَى Ù…ÙÙ† التَّابÙعÙيْن (tabi’in kecil/ semasa kecil bertemu dengan shahabat), lama tinggal di Madinah dan wafat di daerah al-Hasyimiyah thun 144H.
4. أَخْبَرَنÙÙŠ Ù…ÙØَمَّد٠بْن٠إÙبْرَاهÙيمَ
(Kata Yahya bin Sa’id) Muhammad bin Ibrahim telah memberi tahu saya. Nama lengkapnya Muhammad bin Ibrahim bin al-Harits bin Khalid, dikenal dengan nama Abu Abd Allah al-Taymi, keturunan Quraisy. Setingkat دÙون ÙˆÙسطَى التَّابÙعÙين  berkedudukan dan wafat di Madinah tahun 120H.
5. أَنَّه٠سَمÙعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاص٠اللَّيْثÙيَّ ÙŠÙŽÙ‚Ùول٠سَمÙعْتÙ
Sesungguhnya Muhammad bin Ibrahim mendengar Alqamah bin Waqas al-Laytsi mengatakan saya mendengar: Alqamah bin Waqas bin Muhshin al-Laytsi, منْ كبار التَّابÙعÙيْن (tabi’in besar / bertemu dengan shahabat hingga dewasa) dan wafat di Madinah.
6. عÙمَرَ بْنَ الْخَطَّاب٠رَضÙÙŠÙŽ اللَّه٠عَنْه٠يَقÙول٠سَمÙعْت٠رَسÙولَ اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ ÙŠÙŽÙ‚ÙولÙ
(Kata al-Laytsi) Umar bin Khathab berkata; saya mendengar Rasul SAW bersabda. Menurut al-Laytsi, Umar bin al-Khathab yang menerima hadits ini secara langsung dari Rasul SAW. Umar bin Khathab bin Nufayl bin Abd al-Uzza bin Rubah bin Qarth bin Razah bin Adiy bin Ka’b bin Lu`ay, Abu Hafash, al-Qurasyi, al-Adwi al-Faruq, masuk Islam pada tahun 6 dari kenabian, khalifah yang paling pertama disebut أمÙيْر المÙؤْمÙÙ†Ùيْن pemimpin mukmin رَضÙÙŠÙŽ الله٠عَنْه٠semoga Allah SWT senantiasa mencurahkan keridlaan padanya.
Para Muhadits, setiap menyebut nama Shahabat diiringi dengan do’a tersebut, supaya mempunyai nilai ibadah. Mendo’akan orang mukmin yang telah wafat adalah ibadah. Umar bin al-Khathab (lahir 40 sH / 586M) adalah shahabat yang cukup terkenal dalam berbagai hal, utamanya dalam membela al-Islam sejak ia masuk Islam hingga akhir hayatnya. Kata Ali bin Abi Thalib sebagaimana dikutip al-Suyuthi, semasa Rasul Umar sering menyampaikan pendapat berdasar pemikirannya, kemudian al-Qur`an turun sesuai dengan pemikirannya itu, seperti masalah khamr dan tawanan.
Sepeninggal Rasul, Umar yang paling pertama menobatkan Abu Bakr sebagai khalifah dengan menyampaikan argumentasi yang meyakinkan kaum Anshar dan Muhajirin. Umar juga berjasa membukukan al-Qur`an dalam satu Mushhaf Utsmani, dan sangat hati-hati dalam meriwayatkan hadits. Beliau juga yang menaklukan kawasan Romawi dan Parsi hingga al-Islam menyebar ke seluruh dunia. Umar bin Khathab, sangat dicintai rakyat pada masa pemerintahannya( 634M-644M), sejak diangkat oleh Abu Bakr untuk menggantikannya.
Umar bin al-Khathab merupakan orang yang paling pertama (1) dijuluki Amir al-mu`minin, (2) yang menetapkan kalender hijri, (3) pendiri Bait al-Mal, (4) Tarawih diberjamaahkan, (5) menghidupkan ronda malam, (6) yang menetapkan hukum cambuk 80 kali bagi peminum khamr, (7) mensyari’ahkan ‘awl[2] dalam ilmu fara`idl, dan masih banyak gagasan lainnya. [3] Â Beliau wafat ditikam (22 H / 644M) bukan karena dibenci umat, tapi karena dendam kaum Parsi (Abu Lu`lu) yang tidak setuju Islam menyebar ke kawasannya.
2. Sekilas al-Bukhari
Imam al-Bukhari (1 Syawal 194 H‑30 Ramadhan 256 H). [4] Urutan pertama yang paling terkenal diantara enam[5] tokoh Hadits adalah Amirul-Mu’minin fil-Hadits (pemimpin orang mukmin dalam hadits), suatu gelar ahli hadits tertinggi. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah. Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail, terkenal kemudian sebagai Imam Bukhari, lahir di Bukhara pada 1 Syawal 194 H (21 Juli 810 M), cucu seorang Persia bernama Bardizbah. Kakeknya, Bardizbah adalah pemeluk Majusi, agama kaumnya. Kemudian putranya bernama al-Mughirah memeluk Islam di bawah bimbingan al-Yaman al Ja’fi, Gubernur Bukhara. Pada masa itu Wala dinisbahkan kepadanya. Karena itulah ia dikatakan “al-Mughirah al-Jafi.” Mengenai kakeknya, Ibrahim, tidak terdapat data yang menjelaskan. Sedangkan ayahnya, Ismail, seorang ulama besar ahli hadits. Ia belajar hadits dari Hammad ibn Zayd dan Imam Malik.
Riwayat hidupnya telah dipaparkan oleh Ibn Hibban dalam kitab Al-Siqat, begitu juga putranya, Imam Bukhari, membuat biografinya dalam al-Tarikh al-Kabir. Ayah Bukhari disamping sebagai orang berilmu, ia juga sangat wara’ (menghindari yang subhat/meragukan dan haram) dan takwa. Diceritakan, bahwa ketika menjelang wafatnya, ia berkata: “Dalam harta yang kumiliki tidak terdapat sedikitpun uang yang haram maupun yang subhat.” Dengan demikian, jelaslah bahwa Bukhari hidup dan terlahir dalam lingkungan keluarga yang berilmu, taat beragama dan wara’. Tidak heran jika ia lahir dan mewarisi sifat-sifat mulia dari ayahnya itu.
Ia dilahirkan di Bukhara setelah salat Jum’at. Tak lama setelah bayi yang baru lahr itu membuka matanya, iapun kehilangan penglihatannya. Ayahnya sangat bersedih hati. Ibunya yang saleh menangis dan selalu berdo’a ke hadapan Tuhan, memohon agar bayinya bisa melihat. Kemudian dalam tidurnya perempuan itu bermimpi didatangi Nabi Ibrahim yang berkata: “Wahai ibu, Allah telah menyembuhkan penyakit putramu dan kini ia sudah dapat melihat kembali, semua itu berkat do’amu yang tiada henti-hentinya.” Ketika ia terbangun, penglihatan bayinya sudah normal. Ayahnya meninggal di waktu dia masih kecil dan meninggalkan banyak harta yang memungkinkan ia hidup dalam pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Dia dirawat dan dididik oleh ibunya dengan tekun dan penuh perhatian.
Keunggulan dan kejeniusan Bukhari sudah nampak semenjak masih kecil. Allah menganugerahkan kepadanya hati yang cerdas, pikiran yang tajam dan daya hapalan yang sangat kuat, teristimewa dalam menghafal hadits. Ketika berusia 10 tahun, ia sudah banyak menghafal hadits. Pada usia 16 tahun ia bersama ibu dan abang sulungnya mengunjungi berbagai kota suci. Kemudian ia banyak menemui para ulama dan tokoh-tokoh negerinya untuk memperoleh dan belajar hadits, bertukar pikiran dan berdiskusi dengan mereka. Dalam usia 16 tahun, ia sudah hafal Kitab Sunan Ibn Mubarak dan Waki, juga mengetahui pendapat-pendapat ahli ra’yi (penganut paham rasional), dasar-dasar dan mazhabnya.
Rasyid ibn Ismail merupakan abangnya yang tertua menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia dicela membuang waktu dengan percuma karena tidak mencatat. Bukhari diam tidak menjawab. Pada suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan yang terus-menerus itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka. Tercenganglah mereka semua karena Bukhari ternyata hapal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap terinci dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Tahun 210 H, Bukhari berangkat menuju Baitullah untuk menunaikan ibadah haji, disertai ibu dan saudaranya, Ahmad. Saudaranya yang lebih tua ini kemudian pulang kembali ke Bukhara, sedang dia sendiri memilih Mekah sebagai tempat tinggalnya. Mekah merupakan salah satu pusat ilmu yang penting di Hijaz. Sewaktu-waktu ia pergi ke Madinah. Di kedua tanah suci itulah ia menulis sebagian karya-karyanya dan menyusun dasar-dasar kitab Al-Jami’as-Sahih dan pendahuluannya.
Ia menulis Tarikh Kabir-nya di dekat makam Nabi Saw dan banyak menulis pada waktu malam hari yang terang bulan. Sementara itu ketiga buku tarikhnya, As-Sagir, Al-Awsat dan Al-Kabir, muncul dari kemampuannya yang tinggi mengenai pengetahuan terhadap tokoh-tokoh dan kepandaiannya memberikan kritik, sehingga ia pernah berkata bahwa sedikit sekali nama-nama yang disebutkan dalam tarikh yang tidak ia ketahui kisahnya.
Kemudian ia pun memulai studi perjalanan dunia Islam selama 16 tahun. Dalam perjalanannya ke berbagai negeri, hampir semua negeri Islam telah ia kunjungi sampai ke seluruh Asia Barat. Diceritakan bahwa ia pernah berkata: “Saya telah mengunjungi Syam, Mesir, dan Jazirah masing-masing dua kali, ke basrah empat kali, menetap di Hijaz (Mekah dan Madinah) selama enam tahun dan tak dapat dihitung lagi berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits.”
Pada waktu itu, Baghdad adalah ibu kota negara yang merupakan gudang ilmu dan ulama. Di negeri itu, ia sering menemui Imam Ahmad bin Hambal dan tidak jarang ia mengajaknya untuk menetap di negeri tersebut dan mencelanya karena menetap di negeri Khurasan.
Dalam setiap perjalanannya yang melelahkan itu, Imam Bukhari senantiasa menghimpun hadits-hadits dan ilmu pengetahuan dan mencatatnya sekaligus. Di tengah malam yang sunyi, ia bangun dari tidurnya, menyalakan lampu dan menulis setiap masalah yang terlintas di hatinya, setelah itu lampu di padamkan kembali. Perbuatan ini ia lakukan hampir 20 kali setiap malamnya. Ia merawi hadits dari 80.000 perawi, dan berkat ingatannya yang memang super jenius, ia dapat menghapal hadits sebanyak itu lengkap dengan sumbernya.
Kemasyhuran Imam Bukhari segera mencapai bagian dunia Islam yang jauh, dan dikagumi karena daya ingatnya yang luar biasa. Pada tahun 250 H Imam Bukhari mengunjungi Naisabur disambut gembira oleh para penduduk, juga oleh gurunya, al-Zihli dan para ulama lainnya. Imam Muslim bin al-Hajjaj, pengarang kitab al-Sahih Muslim menceritakan: “Ketika Muhammad bin Ismail dating ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, ulama dan penduduk Naisabur memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya.” Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (± 100 km).
Setelah keluar dari Naisabur, Imam Bukhari pulang ke negerinya sendiri, Bukhara. Kedatangannya disambut meriah oleh seluruh penduduk. Untuk keperluan itu, mereka mengadakan upacara besar-besaran, mendirikan kemah-kemah sepanjang satu farsakh (± 8 km) dari luar kota dan menabur-naburkan uang dirham dan dinar sebagai manifestasi kegembiraan mereka. Selama beberapa tahun menetap di negerinya itu, ia mengadakan majelis pengajian dan pengajaran hadits.
Imam Bukhari tidak saja mencurahkan seluruh intelegensi dan daya ingatnya yang luar biasa itu pada karya tulisnya yang terpenting, Shahih Bukhari, tetapi juga melaksanakan tugas itu dengan dedikasi dan keshalehan. Ia selalu mandi dan berdo’a sebelum menulis buku itu. Sebagian buku tersebut ditulisnya di samping makam Nabi di Madinah. Imam Durami, guru Imam Bukhari, mengakui keluasan wawasan hadits muridnya ini: “Di antara ciptaan Tuhan pada masanya, Imam Bukharilah agaknya yang paling bijaksana.”
Ia wafat pada malam Idul Fitri tahun 256 H. (31 Agustus 870 M), dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Jenazahnya dikebumikan lepas dzuhur, hari raya Idul Fitri, sesudah ia melewati perjalanan hidup panjang yang penuh dengan berbagai amal yang mulia. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridla-Nya.
Pengembaraannya ke berbagai negeri telah mempertemukan Imam Bukhari dengan guru-guru yang berbobot dan dapat dipercaya, yang mencapai jumlah sangat banyak. Diceritakan bahwa dia menyatakan: “Aku menulis hadits yang diterima dari 1.080 orang guru, yang semuanya adalah ahli hadits dan berpendirian bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan.” Di antara guru-guru besar itu adalah Ali ibn al-Madini, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma’in, Muhammad ibn Yusuf al-Faryabi, Maki ibn Ibrahim al-Bakhi, Muhammad ibn Yusuf al-Baykandi dan Ibn Rahawaih. Guru-guru yang haditsnya diriwayatkan dalam Kitab Shahih-nya sebanyak 289 orang guru.
Karena kemasyurannya sebagai seorang alim yang super jenius, sangat banyak muridnya yang belajar dan mendengar langsung haditsnya dari beliau. Tak dapat dihitung dengan pasti berapa jumlah orang yang meriwayatkan hadits dari Imam Bukhari, sehingga ada yang berpendapat bahwa Kitab Shahih Bukhari didengar secara langsung dari beliau oleh sembilan puluh ribu (90.000) orang[6]. Di antara sekian banyak muridnya yang paling menonjol adalah Muslim bin al-Hajjaj, Tirmizi, Nasa’i, Ibn Khuzaimah, Ibn Abu Dawud, Muhammad bin Yusuf al-Firabri, Ibrahim bin Ma’qil al-Nasafi, Hammad bin Syakr al-Nasawi dan Mansur bin Muhammad al-Bazdawi. Empat orang yang terakhir ini merupakan yang paling masyur sebagai perawi Kitab Shahih Bukhari.
Dalam bidang kekuatan hafalan, ketajaman pikiran dan pengetahuan para rawi hadits, juga dalam bidang ilat-ilat hadits, Imam Bukhari merupakan salah satu tanda kekuasaan (ayat) dan kebesaran Allah di muka bumi ini. Allah telah memercayakan kepada Bukhari dan para pemuka dan penghimpun hadits lainnya, untuk menghafal dan menjaga sunah-sunah Nabi kita Muhammad Saw. Diriwayatkan, bahwa Imam Bukhari berkata: “Saya hafal hadits di luar kepala sebanyak 100.000 buah hadits shahih, dan 200.000 hadits yang tidak shahih.”
Mengenai kejeniusan Imam Bukhari dapat dibuktikan pada kisah berikut. Ketika ia tiba di Baghdad, ahli-ahli hadits di sana berkumpul untuk menguji kemampuan dan kepintarannya. Mereka mengambil 100 buah hadits, lalu mereka tukar-tukarkan sanad dan matannya (diputar balikkan), matan hadits ini diberi sanad hadits lain dan sanad hadits lain dibuat untuk matan hadits yang lain pula. 10 orang ulama tampil dan masing-masing mengajukan pertanyaan sebanyak 10 pertanyaan tentang hadits yang telah diputarbalikkan tersebut. Orang pertama tampil dengan mengajukan sepuluh buah hadits kepada Bukhari, dan setiap orang itu selesai menyebutkan sebuah hadits, Imam Bukhari menjawab dengan tegas: “Saya tidak tahu hadits yang Anda sebutkan ini.” Ia tetap memberikan jawaban serupa sampai kepada penanya yang ke sepuluh, yang masing-masing mengajukan sepuluh pertanyaan. Di antara hadirin yang tidak mengerti, memastikan bahwa Imam Bukhari tidak akan mungkin mampu menjawab dengan benar pertanyaan-pertanyaan itu, sedangkan para ulama berkata satu kepada yang lainnya: “Orang ini mengetahui apa yang sebenarnya.”
Setelah 10 orang semuanya selesai mengajukan semua pertanyaannya yang jumlahnya 100 pertanyaan tadi, kemudian Imam Bukhari melihat kepada penanya yang pertama dan berkata: “Hadits pertama yang anda kemukakan isnadnya yang benar adalah begini; hadits kedua isnadnya yang benar adalah begini…” Begitulah Imam Bukhari menjawab semua pertanyaan satu demi satu hingga selesai menyebutkan sepuluh hadits. Kemudian ia menoleh kepada penanya yang kedua, sampai selesai menjawab kemudian menoleh kepada penanya yang ketiga sampai menjawab semua pertanyaan dengan selesai sampai pada penanya yang ke sepuluh sampai selesai. Imam Bukhari menyebutkan satu persatu hadits-hadits yang sebenarnya dengan cermat dan tidak ada satupun dan sedikitpun yang salah dengan jawaban yang urut sesuai dengan sepuluh orang tadi mengeluarkan urutan pertanyaanya. Maka para ulama Baghdad tidak dapat berbuat lain, selain menyatakan kekagumannya kepada Imam Bukhari akan kekuatan daya hafal dan kecemerlangan pikirannya, serta mengakuinya sebagai “Imam” dalam bidang hadits.
Sebagian hadirin memberikan komentar terhadap “uji coba kemampuan” yang menegangkan ini, ia berkata: “Yang mengagumkan, bukanlah karena Bukhari mampu memberikan jawaban secara benar, tetapi yang benar-benar sangat mengagumkan ialah kemampuannya dalam menyebutkan semua hadits yang sudah diputarbalikkan itu secara berurutan persis seperti urutan yang dikemukakan oleh 10 orang penguji, padahal ia hanya mendengar pertanyaan-pertanyaan yang banyak itu hanya satu kali.”Jadi banyak pemirsa yang heran dengan kemampuan Imam Bukhari mengemukakan 100 buah hadits secara berurutan seperti urutannya si penanya mengeluarkan pertanyaannya padahal beliau hanya mendengarnya satu kali, ditambah lagi beliau membetulkan rawi-rawi yang telah diputarbalikkan, ini sungguh luar biasa.
Imam Bukhari pernah berkata: “Saya tidak pernah meriwayatkan sebuah hadits pun juga yang diterima dari para sahabat dan tabi’in, melainkan saya mengetahui tarikh kelahiran sebagian besar mereka, hari wafat dan tempat tinggalnya. Demikian juga saya tidak meriwayatkan hadits sahabat dan tabi’in, yakni hadits-hadits mauquf, kecuali ada dasarnya yang kuketahui dari Kitabullah dan sunah Rasulullah SAW.”
Dengan kedudukannya dalam ilmu dan kekuatan hafalannya Imam Bukhari sebagaimana telah disebutkan, wajarlah jika semua guru, kawan dan generasi sesudahnya memberikan pujian kepadanya. Seorang bertanya kepada Qutaibah bin Sa’id tentang Imam Bukhari, ketika menyatakan : “Wahai para penanya, saya sudah banyak mempelajari hadits dan pendapat, juga sudah sering duduk bersama dengan para ahli fiqh, ahli ibadah dan para ahli zuhud; namun saya belum pernah menjumpai orang begitu cerdas dan pandai seperti Muhammad bin Isma’il al-Bukhari.”
Imam al-A’immah (pemimpin para imam) Abu Bakar ibn Khuzaimah telah memberikan kesaksian terhadap Imam Bukhari dengan mengatakan: “Di kolong langit ini tidak ada orang yang mengetahui hadits, yang melebihi Muhammad bin Isma’il.” Demikian pula semua temannya memberikan pujian. Abu Hatim ar-Razi berkata: “Khurasan belum pernah melahirkan seorang putra yang hafal hadits melebihi Muhammad bin Isma’il; juga belum pernah ada orang yang pergi dari kota tersebut menuju Irak yang melebihi kealimannya.”
Al-Hakim menceritakan, dengan sanad lengkap. Bahwa Muslim (pengarang kitab Shahih), datang kepada Imam Bukhari, lalu mencium antara kedua matanya dan berkata: “Biarkan saya mencium kaki tuan, wahai maha guru, pemimpin para ahli hadits dan dokter ahli penyakit (ilat) hadits.” Mengenai sanjungan diberikan ulama generasi sesudahnya, cukup terwakili oleh perkataan al-Hafiz Ibn Hajar yang menyatakan: “Andaikan pintu pujian dan sanjungan kepada Bukhari masih terbuka bagi generasi sesudahnya, tentu habislah semua kertas dan nafas. Ia bagaikan laut tak bertepi.”
Imam Bukhari sangat hati-hati dan sopan dalam berbicara dan dalam mencari kebenaran yang hakiki di saat mengkritik para rawi. Terhadap rawi yang sudah jelas-jelas diketahui kebohongannya, ia cukup berkata: “Perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam diri tentangnya.” Perkataan yang tegas tentang para rawi yang tercela ialah: “Haditsnya diingkari.”
Meskipun ia sangat sopan dalam mengkritik para rawi, namun ia banyak meninggalkan hadits yang diriwayatkan seseorang hanya karena orang itu diragukan. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa ia berkata: “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang perlu dipertimbangkan, dan meninggalkan pula jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatkan rawi yang dalam pandanganku, perlu dipertimbangkan.”
Selain dikenal sebagai ahli hadits, Imam Bukhari juga sebenarnya adalah ahli dalam fiqh. Dalam hal mengeluarkan fatwa, ia telah sampai pada derajat mujtahid mustaqill (bebas, tidak terikat pendapatnya pada madzhab-madzhab tertentu) atau dapat mengeluarkan hukum secara sendirian. Dia mempunyai pendapat-pendapat hukum yang digali sendiri. Pendapat-pendapatnya itu terkadang sejalan dengan madzhab Abu Hanifah, terkadang sesuai dengan Madzhab Syafi’i dan kadang-kadang berbeda dengan keduanya. Selain itu pada suatu saat ia memilih madzhab Ibn Abbas, dan disaat lain memilih madzhab Mujahid dan ‘Atha dan sebagainya. Jadi kesimpulannya adalah Imam Bukhari adalah seorang ahli hadits yang ulung dan ahli fiqh yang berijtihad sendiri. Kendatipun yang lebih menonjol adalah statusnya sebagai ahli hadits, bukan sebagai ahli fiqh. Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang alim, ia juga tidak melupakan kegiatan lain yang dianggap penting untuk menegakkan Dinul Islam. Imam Bukhari sering belajar memanah sampai mahir.
Â
3.Karya al-Bukhari
Diantara hasil karya Imam Bukhari adalah: (1)Al-Jami’ as-Shahih (Shahih Bukhari). (2)Al-Adab al-Mufrad. (3)At-Tarikh as-Sagir. (4)At-Tarikh al-Awsat. (5)At-Tarikh al-Kabir. (6)At-Tafsir al-Kabir. (7)Al-Musnad al-Kabir. (8)Kitab al-‘Ilal. (9)Raf’ul-Yadain fis-Salah. (10)Birr al-Walidain. (11)Kitab al-Asyribah. (12)Al-Qira’ah Khalf al-Imam. (13)Kitab ad-Du’afa. (14)Asami as-Sahabah. (15)Kitab al-Kuna.
Â
Â
4. Sekilas tentang Kitab Al-Jami’ As-Shahih (Shahih Bukhari)
Diceritakan, Imam Bukhari berkata: “Aku bermimpi melihat Rasulullah SAW; seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta’bir, ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadits Rasulullah SAW. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan Kitab Al-Jami’ as-Shahih.”
Dalam menghimpun hadits-hadits shahih dalam kitabnya, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Beliau telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para rawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya. Beliau senantiasa membanding-bandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan yang lain, menyaringnya dan memilih has mana yang menurutnya paling sahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: “Aku susun kitab Al-Jami’ ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun.” Dan beliau juga sangat hati-hati, hal ini dapat dilihat dari pengakuan salah seorang muridnya bernama al-Firbari menjelaskan bahwa ia mendengar Muhammad bin Isma’il al-Bukhari berkata: “Aku susun kitab Al-Jami’ as-Sahih ini di Masjidil Haram, dan tidaklah aku memasukkan ke dalamnya sebuah hadits pun, kecuali sesudah aku memohonkan istikharah kepada Allah dengan melakukan shalat dua rakaat dan setelah aku meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar shahih.”
Maksud pernyataan itu ialah bahwa Imam Bukhari mulai menyusun bab-babnya dan dasar-dasarnya di Masjidil Haram secara sistematis, kemudian menulis pendahuluan dan pokok-pokok bahasannya di Rawdah tempat di antara makan Nabi SAW dan mimbar. Setelah itu, ia mengumpulkan hadits-hadits dan menempatkannya pada bab-bab yang sesuai. Pekerjaan ini dilakukan di Mekah, Madinah dengan tekun dan cermat, serta menyusunnya selama 16 tahun.
Dengan usaha seperti itu, maka lengkaplah bagi kitab tersebut segala faktor yang menyebabkannya mencapai kebenaran, yang nilainya tidak terdapat pada kitab lain. Karenanya tidak mengherankan bila kitab itu mempunyai kedudukan tinggi dalam hati para ulama. Maka sungguh tepatlah ia mendapat predikat sebagai “Buku Hadits Nabi yang Paling Shahih.”
Diriwayatkan bahwa Imam Bukhari berkata: “Tidaklah kumasukkan ke dalam kitab Al-Jami’as-Shahih ini kecuali hadits-hadits yang shahih dan kutinggalkan banyak hadits shahih karena khawatir membosankan.”
Kesimpulan yang diperoleh para ulama, setelah mengadakan penelitian secara cermat terhadap kitabnya, menyatakan bahwa Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya selalu berpegang teguh pada tingkat kesahihan yang paling tinggi, dan tidak turun dari tingkat tersebut kecuali dalam beberapa hadits yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab, seperti hadits mutabi dan hadits syahid, dan hadits-hadits yang diriwayatkan dari sahabat dan tabi’in.
Â
5. Jumlah Hadits Kitab Al-Jami’ as-Shahih (Shahih Bukhari)
Al-‘Allamah Ibnus-Salah dalam Muqaddimah-nya menyebutkan, bahwa jumlah hadits Shahih Bukhari sebanyak 7.275 buah hadits, termasuk hadits-hadits yang disebutnya berulang, atau sebanyak 4.000 hadits tanpa pengulangan. Perhitungan ini diikuti oleh Al-‘Allamah Syaikh Muhyiddin an-Nawawi dalam kitabnya At-Taqrib. Selain pendapat tersebut di atas, Ibn Hajar di dalam muqaddimah Fathul-Bari, kitab syarah Shahih Bukhari, menyebutkan, bahwa semua hadits shahih mawsil yang termuat dalam Shahih Bukhari tanpa hadits yang disebutnya berulang sebanyak 2.602 buah hadits. Sedangkan matan hadits yang mu’alaq namun marfu’, yakni hadits shahih namun tidak diwasalkan (tidak disebutkan sanadnya secara sambung-menyambung) pada tempat lain sebanyak 159 hadits.
Semua hadits Shahih Bukhari termasuk hadits yang disebutkan berulang-ulang sebanyak 7.397 buah. Yang mu’alaq sejumlah 1.341 buah, dan yang mutabi’ sebanyak 344 buah hadits. Jadi, berdasarkan perhitungan ini dan termasuk yang berulang-ulang, jumlah seluruhnya sebanyak 9.082 buah hadits. Jumlah ini diluar hadits yang mauquf kepada sahabat dan (perkataan) yang diriwayatkan dari tabi’in dan ulama-ulama sesudahnya
[1] sejarahnya bisa dilihat pada uraian lanjutan
[2] awl dalam ilmu fara`idl adalah menyesuaikan angka pembilang dengan penyebut, karena pecahannya tidak sesuai dengan jumlah semestinya
[3] Tarikh al-Khulafa, h.114
[4]  Disadur dari karya Ibn Hajar al-Asqalani (773-852H), Nuzhat al-Nazhar, dan Fath al-Bari juz I
[5] Â penyusun kutub al-sittah
[6] (Muqaddimah Fathul-Bari, jilid 22, hal. 204)