UNGKAPKAN KENI’MATAN (kajian tafsir sirat al-Dluha:01-11)
UNGKAPKAN KENI’MATAN
(kajian tafsir sirat al-Dluha:01-11)
- Teks Ayat dan Tarjamah
وَالضّÙØÙŽÙ‰ (1) وَاللَّيْل٠إÙذَا سَجَى (2) مَا وَدَّعَكَ رَبّÙÙƒÙŽ وَمَا Ù‚ÙŽÙ„ÙŽÙ‰ (3) وَلَلْآَخÙرَة٠خَيْرٌ Ù„ÙŽÙƒÙŽ Ù…ÙÙ†ÙŽ الْأÙولَى (4) وَلَسَوْÙÙŽ ÙŠÙعْطÙيكَ رَبّÙÙƒÙŽ Ùَتَرْضَى (5) أَلَمْ يَجÙدْكَ يَتÙيمًا ÙÙŽØ¢ÙŽÙˆÙŽÙ‰ (6) وَوَجَدَكَ ضَالًّا Ùَهَدَى (7) وَوَجَدَكَ عَائÙلًا Ùَأَغْنَى (8) Ùَأَمَّا الْيَتÙيمَ Ùَلَا تَقْهَرْ (9) وَأَمَّا السَّائÙÙ„ÙŽ Ùَلَا تَنْهَرْ (10) وَأَمَّا بÙÙ†Ùعْمَة٠رَبّÙÙƒÙŽ ÙÙŽØَدّÙثْ (11)
Â
Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu, dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan. Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap ni’mat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). Qs.93:01-11
- Tinjauan Historis
- Surat ini dinamakan al-Dulha, yang berarti matahari sepenggalah naik, atau sering disebut waktu dluha, sebagaimana tercantum pada ayat pertama. Surat ini termasuk Makiyah, setelah al-Fajr, turun turun sebelum Rasul berhijrah.
- Diriwayatkan dari al-Aswad bin Qais, dia mendengar Jundab menerangkan:
اشْتَكَى النَّبÙيّ٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ Ùَلَمْ ÙŠÙŽÙ‚Ùمْ لَيْلَةً أَوْ لَيْلَتَيْن٠Ùَأَتَتْه٠امْرَأَةٌ Ùَقَالَتْ يَا Ù…ÙØَمَّد٠مَا Ø£Ùرَى شَيْطَانَكَ Ø¥Ùلَّا قَدْ تَرَكَكَ Ùَأَنْزَلَ اللَّه٠عَزَّ وَجَلَّ { وَالضّÙØÙŽÙ‰ وَاللَّيْل٠إÙذَا سَجَى مَا وَدَّعَكَ رَبّÙÙƒÙŽ وَمَا Ù‚ÙŽÙ„ÙŽÙ‰ }
Nabi Shalla Allah alaihi wa Sallam pernah kurang enak badan, sehingga satu atau dua malam, tidak bangun malam, kemudian seorang wanita datang dan mengatakan bahwa setanmu tidak datang dan sudah meninggalkanu? Tidak lama kemudian maka turunlah surat al-Dluha ini. Hr. al-Bukhari.[1]
Berdasar hadits ini, surat al-Dluha turun sebagai bantahan pada wanita yang menuduh Jibril sebagai setan dan menuduh Nabi Shalla Allah alaihi wa Sallam telah ditinggalkan olehnya. Ayat ini membantah bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala meninggalkan Nabi Shalla Allah alaihi wa Sallam.
- Zaid bin Arqam menerangkan ketika surat al-Lahab turun dikatakan kepada istri Abi Lahab, bahwa Mauhmmad telah menghujatmu! Istri Abi Lahab tersebut menghadap Rasul dan mengatakan bahwa engkau telah menghujatku! Rasul bersabda sesunguhnya aku tidak menghujatmu kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang melakukan padamu! Istri Ai Lahab berkatan Aapakah engkau melihat aku mikul kayu bakar dan terikat? Kemudian Rasul tidak menjawab apapun, dan beberapa hari tidak turun wahyu. Istri Abi Lahab itu bicara:
يا Ù…Øمد ما أرى صاØبك إلا قد ودعك وقلاك . Ùأنزل الله عز وجل ( والضØÙ‰ والليل إذا سجى ما ودعك ربك وما قلى
 Hai Muhammad aku lihat shahabatmu telah meninggalkanmu. Beberapa waktu kemudian turun surat al-Dluha ini! Hr. al-Hakim, yang menurut disa sebagai hadits yang shahih.[2]
- Kaitan dengan ayat sebelumnya
- Dalam Surat al-Lail, Allah bersumpah dengan malam yang menutupi, dan siang yang terang benderang. Dengan sumpah tersebut DIA menegaskan telah meniptakan laki-laki dan perempuan. Dalam surat berikut Allah Subhanahu Wa Ta’ala bersumpah dengan waktu dluha dan malam yang gelap gulita. Kemudian menagaskan bahwa Nabi Muhammad dicintai oleh-Nya. Dengan demikian Allah Subhanahu Wa Ta’ala punya hak untuk bersumpah dengan apapun dalam menegaskan ciptaan-Nya, ada manusia yang sangat dicintai ada pula manusia yang patut dibenci.
- Dalam surat al-Lail dikemukakan bahwa usaha manusia sangat beraneka, ada yang bernilai taqwa ada pula yang menyimpang darinya. Tentu saja usaha tersebut berpangaruh pada hari depan mereka. Dalam surat al-Dluha ditegaskan bahwa hari yang akan datang bagi Rasul adalah lebih baik di banding masa silam. Oleh karena itu setiap manusia usahanya mesti diarahkan ke masa depan yang lebih baik.
- Dalam ayat sebelumnya dikemukakan bahwa manusia itu ada yang kikir tidak mau bersedekah, ada pula yang dermawan. Dalam surat al-Dluha dikemukakan bagaimana sikap yang seharusnya pada manusia yang mebutuhkan pertolongan. Oleh karena itu bersyukurlah ketika mendapat ni’mat, dengan cara berbagai kepada setiap yang membutuhkan bantuan.
- Tafsir Ayat
- وَالضّÙØÙŽÙ‰ Demi waktu matahari sepenggalahan naik,
Huruf Ùˆ pada ayat pertama ini berfungsi sebagai qasam atau sumpah, maka dalam bahasa Indonesia diarti “demi”. Allah Subhanahu Wa Ta’ala bersumpah pada ayat ini dengan waktu dluha, atau matahari pagi sepenggalah naik. Ada juga yang memahami waktu ضّÙØÙŽÙ‰ adalah pagi ketika matahi mulai memancarkan sinarnya hingga menghangatkan badan. Waktu ini dijadikan sumpah karena sangat berharga bagi manusia untuk digunakan kesempatan ibadah dengan shalat dluha, dan untuk berusaha mencari nafqah. Oleh karena itu bagi yang sedang giat mencari nafqah, jangan lupa ibadah. Untuk yang rajin shalat dluha jangan lupa tugas dan tanggung jawab yang berkaitan dengan kehidupan mencari nafqah. Waktu dluha dimulai dari terbit matahari hingga menjelang zhuhur. Jika matahari tergelincir ke sebelah barat, maka tiba waktu zhuhur. Waktu dluha merupakan waktu segar di pagi hari, kerna telah beristirahat semalaman. Oleh karena itu ada tugas manusia untuk memanfaatkan ksegeran tubuh tersebut guna menjalani mara pencaharaian yang sekaligus beribadah. Jika ibadah shalat dluha dilaksanakan lebih awal, begi matahari naik maka sering disebut shalat isyraq, sedngkan jika dilaksanakan lebih siang dikenal dengan slahat dluha. Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam memberi contoh sebagaimana dikemukan dalam beberapa hadits.
Menurut Ummu Hani binti Abi Thalib, Rasul pernah datang menemuinya dan minta disediakan air untuk wadlu, kemudian beliau shalat dluha. Setelah selesai beliau bersabda:
يَا Ø£Ùمَّ هَانÙئÙØŒ Ù‡ÙŽØ°Ùه٠صَلاة٠الإÙشْرَاقÙ
Wahai Umma Hani, shalat inilah shalat isyraq. Hr. al-Thabarani.[3]
Abu Hurairah menyatakan
أَوْصَانÙÙŠ النَّبÙيّ٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ بÙرَكْعَتَيْ الضّÙØÙŽÙ‰
Nabi Shalla Allah alaihi wa Sallam mewasiatkan padaku agar melaksakan shalat dluha sebanyak dua raka’at. Hr. al-Bukhari.[4]
Umu Hani bintgi Abi Thalib juga meriwayatkan :
لَمَّا كَانَ عَام٠الْÙَتْØ٠أَتَتْ رَسÙولَ اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ ÙˆÙŽÙ‡ÙÙˆÙŽ بÙأَعْلَى مَكَّةَ قَامَ رَسÙول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ غÙسْلÙÙ‡Ù Ùَسَتَرَتْ عَلَيْه٠ÙَاطÙÙ…ÙŽØ©Ù Ø«Ùمَّ أَخَذَ ثَوْبَه٠ÙَالْتَØÙŽÙÙŽ بÙÙ‡Ù Ø«Ùمَّ صَلَّى ثَمَانَ رَكَعَات٠سÙبْØÙŽØ©ÙŽ الضّÙØÙŽÙ‰
Pada tahun futuuh Makkah, dia mendatangi Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam yang saat itu habis mandi di kawasan atas Makkah, maka Fathimah menutupi tubuh beliau dan berselimut dengan bajunya. Setelah itu Rasul melaksanakan shalat sebanyak delapan raka’at shalat dluha. Hr. Muslim.[5]
Sedangkan menurut riwayat Abi Sa’id bin Abi Hind, Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam melaksanakan
Ø«Ùمَّ قَامَ Ùَصَلَّى ثَمَانَ سَجَدَات٠وَذَلÙÙƒÙŽ ضÙØًى
shalat dluha sebanyak delapan kali sujud, dan itu waktu dluha. Hr. Muslim
Dengan beberapa hadits di atas, jelaslah bahwa (1) shalat dluha dinamakan pula shalat isyraq; (2) jumlah rakaat shalat dluha adalah sebanyak dua rakaat, sebagaimana riwayat Abu Hurairah;Â atau empat raka’at, sebagai mana riwayat Abu Sa’id;Â atau delapan raka’at, sebagaimana riwayat Ummu Hani. Jelaslah bahwa waktu dluha, selain untuk bertugas yang berkaitan dengan kehidupan mata pencaharian mu’amalat, ada tugas yang berkaitan dengan ibadah ritual. Itulah mungkin salah satu hikmahnya waktu ini menjadi sumpah di awal surat al-Dluha, agar menjadi perhatian setiap umat. Umat yang beriman tidak hanya mengurus kesimbukan di pagi hari urusan duniawi, tapi juga menghadap ke hadirat Ilahi. Di sela-sela kesibukan manusia lain berusaha menjalankan mata pencaharian, tapi juga tidak lepas mendekat kepada yang Penciptanya yang maha suci.
- وَاللَّيْل٠إÙذَا سَجَى dan demi malam apabila telah sunyi,
Ayat ini merupakan sambungan dari ayat sebelumnya yang mengandung arti sumpah dengan waktu malam tatkala suci, sepi. Bila malam telah gelap gulita, maka akan terjadi kesunyian. Waktu ini merupakan lawan waktu dluha yang semerbak penuh keramaian dengan berbagai kegiatan. Waktu ,a;lam merupakan saatnya manusia yang banyak istirahat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala bersumpah dengan malam yang sunyi, agar mendapat perhatian manusia. Umat beriman tidak hanya menyempatkan diri menghadap hadirat Ilahi dio waktu yang ramai seperti dluha, tapi juga bangun malam di waktu yang sepi. Ibadah merupakan kegiatan yang tidak terputus sepanjang masa dan sepanjang hari. Namun ada pula ulama yang mena`wil bahwa pada waktu dluha memberikan gambaran terang benderang hati yang beriman. Sedangkan waktu malam yang sunyi lebagai lambang kegelapan[6]. Hati manusia ada yang terang benderang, ada pula yang gelap gulita. Ada juga ulama memahami bahwa sumpah yang pertama dengan والضØÙ‰ mengandung arti waktu siang secara keseluruhan, sedangkan وَاللَّيْل٠إÙذَا سَجَى mengandung arti malam yang suci seluruhnya.[7] Kedua macam sumpah dengan waktu yang berbeda, juga memberi isyarat ibadah sepanjang zaman. Ibadah dilakukan ketika masa ramai dan kesibukan, juga dilaksanakan ketika sunyi senyap orang lain beristirahat. Inilah gambaran mu`min sepanjang masa.
- مَا وَدَّعَكَ رَبّÙÙƒÙŽ وَمَا Ù‚ÙŽÙ„ÙŽÙ‰Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu,
Ayat ini merupakan jawab sumpah yang mengaskan demi waktu dluha dan malam yang sunyi, maka ditegaskan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak meninggalkanu, dan tidak pula membencimu.[8] Ketika ayat ini turun, jelas diperuntukan pada Nabi Muhammad Shalla Allah alaihi wa Sallam yang disangka orang ditinggalkan Tuhan. Sungguh Tuhanmu tidak meninggalkan engkau, tidak pula membencinya. Jika ayat itu turun terkadang terus-menerus secara berurutan, terkadang ada jeda waktu, itu merupakan kebijakan yang Maha Bijaksana. Tidak sepatutnya seorang hamba bersalah sangka pada Tuhannya. Seperti telah dijelaskan di atas, secara histories ayat ini turun berkaitan dengan tuduhan istri Abi Lahab, bahwa Rasul ditinggalkan Jibril. Ayat ini membantah mereka, bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak pertnah meninggalkan Nabi Shalla Allah alaihi wa Sallam tidak pula membencinya. Al-Qurthubi mengartikan وما قلى dengan ما أبغضك ربك منذ Ø£Øبك Tuhanmu tidak membencimu sejak mencintaimu.[9]
Ini juga merupakan pelajaran bagi setiap umat, kalau ada suatu masalah yang dihadapi jangan langsung menayalahkan Tuhan. Jangan sekali-kali menyangka jika permohonan tidak dikabul, atau keinginan belum terlaksana lalu langsung menyalahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jangan dikira DIA membenci atau meninggalkan kita. Allah Subhanahu Wa Ta’ala memiliki kebijakan yang berbeda terhadap situasi dan kondisi yang dialami manusia. Jika dijadikan dasar untuk intosfeksi, tentu saja dipersilakan, tapi bukan mempersalahkan. Terhadap Rasul, yang hanya karena telat wahyu turun, maka berbagai tuduhan dari kafir bermunculan, maka ayat ini menjelaskannya. Tentu saja sebagai pelajaran bagi setiap umat masa depan.
- وَلَلْآَخÙرَة٠خَيْرٌ Ù„ÙŽÙƒÙŽ Ù…ÙÙ†ÙŽ الْأÙولَى dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan.
Secara histories, ayat ini merupakan jaminan pada Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam bahwa masa depannya lebih baik di banding masa silam. Oleh karena itu difahami Abdullah al-Asyqar, bahwa surga di akhirat yang dijaminkan pada Nabi Muhammad, jauh lebih baik di banding kehidupan dunia. Di Dunia, rasul telah dimuliahakan dengan nubuwat dan kemuliaan lainnya. Sedangkan di akhirat masuk surga lebih baik di banding kehidupan yang sifatnya duniawi.[10] Atha menafsirkan bahwa pahala akhirat lebih baik di banding, keberhasilan dan keni’matan duniawi. Ada juga yang mengatakan bahwa apa yang diberikan di akhirat lebih baik di banding, apa yang diberikan padamu di dunia.[11] Perkataan Ø¢ÙŽØ®Ùرَة٠bisa difahami hari ahirat, bisa juga difahami masa akhir atau masa depan. Ditandaskan di sini bahwa Ø¢ÙŽØ®Ùرَة٠lebih baik di banding Ø£Ùولَى atau hari permulaan. Dengan demikian ayat ini bisa difahami sebagai khabariyah memberitakan keadaan Rasul yang masa depannya lebih bagus di banding masa silam. Kehidupan akhirat merupakan kehidupan yang abadi tanpa ujung, sedangkan dunia hanya sifatnya sementara. Dunia jangan menjadi cita-cita, tapi jadikan sebagai lading usaha demi meraih masa yang akan datang di akhirat kelak. Bagaimana pun bagusnya dunia, tidak akan lebih bagus di akhirat, bagi ahli surga. Bisa juga ayat ini sebagai insya`iyah mengandung arti dorongan pada setiap manusia, semestinya keadaan masa datang lebih bagus di banding masa silam. Tegasnya kebijakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap Nabinya merupakan program perbaikan yang terus menerus. Oleh karena itu umat pun mesti punya rencana dan program yang memberikan jaminan bagi generasi seterusnya yang lebih baik dan gemilang.
- وَلَسَوْÙÙŽ ÙŠÙعْطÙيكَ رَبّÙÙƒÙŽ Ùَتَرْضَى Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.
Al-Jaza`iri berkomentar bahwa ini sebagai jaminan bagi Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam, di dunia mendapat ni’mat yang unggul, karena memiliki kesempurnaan agama melebihi yang lainnya. Di akhirat kelak beliau dianugerahi syafaat pada ahli tauhid, mengangkat umat dari jeratan neraka, menjadi wasilah, derajat tinggi yang tidak dimiliki fihak lainnya.[12] Dengan dianugerahi berbagai keni’matan, tentu saja siapapun bakal meraih kepusan lahir dan batin. Jika setiap umat bisa meraih perlindungan Ilahi, memprogram kehidupan masa depan lebih baik, maka akan mencapai derajat tinggi.
- أَلَمْ يَجÙدْكَ يَتÙيمًا ÙÙŽØ¢ÙŽÙˆÙŽÙ‰ Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu.
Dengan nada bertanya, ayat ini mengingatkan masa silam Nabi Muhammad Shalla Allah alaihi wa Sallam yang dilahirkan dalam keadaan yatim. Sebelum beliau dilahirkan, ayahnya telah wafat. Bukankah ini sebagai bukti anugerah Ilahi kepada Nabi? Bukankah DIA yang melindungi Nabi dari keadaan yatim tanpa ayah yang membutuhkan kasih sayang. Â Ketika dilahirkan dalam keadaan yatim, kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala melindungi hingga dewasa. Perlindungan tersebut dengan cara membuat hati orang-orang sekitarnya mencintai dan menyayangi beliau. Bukankah ini menjadi bukti bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyayangimu sejak masa kecil hingga dewasa? Pertanyaan semacam ini sebagai peringatan pada setiap umat, bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencurahkan rahmat-Nya kepada siapa yang dikehendaki. Perkataan ÙÙŽØ¢ÙŽÙˆÙŽÙ‰ mengandung arti mengangkat dari suatu kekurangan kepada keadaan yang lebih baik statusnya, dari yatim ketika dilahirkan kemudian diangkat sebagai anak angkat oleh penggantinya, yaitu Abu Thalib. Ini merupakan salah satu keni’matan yang diterima Rasul sejak kecil, yang kemudian diberikan keini’matan lainnya pada periode berikutnya.[13]
- وَوَجَدَكَ ضَالًّا Ùَهَدَى Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.
Dia mendapatkan nabi sebagai yang kebingungan, maka memberi petunjuk ke jalan yang benar, sehingga lepas dari ketimpangan. Ini sebagai bukti keni’matan yang berharga bagi Nabi Shalla Allah alaihi wa Sallam yang tiada terhingga. Dikutip oleh Ibn Jauzi, terdapat enam makna ضَالًّا pada ayat ini kemudian memberi solusi: (1) kebingunan dalam tanda nubuwah dan hokum syari’ah, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi petunjuknya, sebagaimana difahami oleh jumhur ulama utamanya al-Hasan dan al-Dlahak. (2) ketika Nabi masih kecil sebagai keturunan bangsa Arab, kebingungan maka dikembalikan dan diasuh oleh kakeknya bernama Abdul-Muthalib, sebagaimana difahami oleh Abu al-Dluha dari Ibn Abbas. (3) ketika beliau pergi ke luar bersama Maisrah ajudan Khadijah, datang Iblis menggoda ingin menyesatkannya, kemudian Jibril meluruskannya dan mengembali ke Habsyah hingga kembali ke Kafilahnya yang asli, sebagaimana difahami oleh Sa’id al-Musayab. (4) Bleiu lahir di kalangan orang yang sesat aqidahnya, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala menunjukkan ke jalan tauhid yang benar dan lurus, dan kenabian; sebagaimana difahami oleh Ibn al-Saib. (5) terdapat dalam keadaan lupa, maka mengingatkannya sehingga bebas dari kelasalahan dan kelupaan; sebagaimana difahami oleh Tsa’lab’ (6) terdapat kurang popular, kurang dikenal di masyarakat, kemudian dipopulerkan hingga dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat seantero dunia; sebagaimana difahami oleh Abdul-Aziz Bin Yahya, dan Muhammad bin Ali al-Tirmidzi.[14] Menurut al-Asyqar, maknanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala menemukanmu dalam keadaan lupa tentang iman, tentang kenabian, al-Qur`an dan syri’ah, maka DIA memberi petunjuk tentang itu semua.[15] Dalam ayat lain ditandaskan:
ÙˆÙŽÙƒÙŽØ°ÙŽÙ„ÙÙƒÙŽ أَوْØَيْنَا Ø¥Ùلَيْكَ رÙÙˆØًا Ù…Ùنْ أَمْرÙنَا مَا ÙƒÙنْتَ تَدْرÙÙŠ مَا الْكÙتَاب٠وَلَا الْإÙيمَان٠وَلَكÙنْ جَعَلْنَاه٠نÙورًا نَهْدÙÙŠ بÙه٠مَنْ نَشَاء٠مÙنْ عÙبَادÙنَا ÙˆÙŽØ¥Ùنَّكَ لَتَهْدÙÙŠ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ صÙرَاط٠مÙسْتَقÙيمÙ
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.Qs.42:52
Berdasar ayat ini, Rasul sebelumnya tidak mengetahui tentang isi al-Qur`an, isi syari’ah dan apa pula iman, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala mewahyukan dengan berbagai petunjuk yang benar dan meluas. Dengan petunjuk yang diwahyukan itu, maka Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam bisa memberi petunjuka pada umat membawa mereka ke jalan yang lurus, jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
- وَوَجَدَكَ عَائÙلًا Ùَأَغْنَى Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
Keni’matan berikutnya adalah membebaskan nabi dari kekurangan sehingga menjadi orang yang berkecukupan. Perkataan عَائÙلًا difahami oleh al-Qurthubi Ùقيرا لا مال لك faqir tidak memiliki harta, kemudian dipertemukan dengan Khadijah orang kaya, sehingga kahirnya berkecukupan.[16] Ketika kecil Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam dilahirkan sudah tidak punya ayah, kemudian tidak lama ibunya juga wafat yang tidak meninggalkan harta sebagai waritsan. Namun beliau bertemu dengan saudagar besar orang kaya, yaitu Khadijah dan berbisnis dengannya. Akhirnya ketika dewasa menikah dengan Khadijah tersebut sehingga menjadi orang kaya yang berkecukupan. Khadijah pun merelakan harta yang banyak itu dimanfaatkan untuk kegiatan da’wah di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dengan demikian Nabi tidak berkekurangan dalam menjalankan risalahnya. Diberikan pula kepada Nabi berbagai kemenangan dalam perjuangan, sehingga menjadi orang beasr dan berkekayaan.[17] Inilah yang difahami sebagai Ùَأَغْنَى Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memberikan kecukupan pada Nabi, setelah penderitaan, maka yang demikian itu merupakan keni’matan yang sangat besar.
- Ùَأَمَّا الْيَتÙيمَ Ùَلَا تَقْهَرْ Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.
Kalimat Ùَلَا تَقْهَرْ ditafsirkan oleh al-Qurthubi dengan dua makna; (a) larangan menghina, menghardik, atau berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim; (b) perintah untuk selalu berbuat baik terhadap anak yatim.[18] Imam Qatadah memberi saran, jadilah terhadap anak yatim itu seperti ayah kandung, atau ibunya, atau keluarganya. Karena mendapatkan keni’matan yang cukup besar tersebut, maka jangan sampai berbuat sewenang-wenang terhadap anak yatim. Bukankah di masa silam dilahirkan dalam keadaan yatim? Ingatlah masa silam yang begitu menyedihkan, saat ini telah mencapai kemenangan yang patut disyukuri. Berlakulah baik tehadap orang yang lemah. Bagaimana cara berbuat baik terhadap anak yatim, telah dijelaskan dalam berbagai ayat sebelumnya. Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam juga merupakan figure yang sangat baik terhadap anak yatim, bahkan menjamin orang yang berlalu baik pada pada mereka balk bersama-sama di surga. Dari Sahl bin Sa’d menerangkan:
أَنَا وَكَاÙÙل٠الْيَتÙيم٠ÙÙÙŠ الْجَنَّة٠هَكَذَا وَقَالَ بÙØ¥Ùصْبَعَيْه٠السَّبَّابَة٠وَالْوÙسْطَى
 “Aku bersama pengasuh anak yatim di surga seperti ini†sambil berisyarat dengan telunjuk dan jari tengahnya. Hr. al-Bukhari (194-256H),[19]
Berdasar hadits ini, orang yang mengasuh anak yatim secara baik, bakal berada di surga berasama Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam. Beliau mendorong umatnya untuk berbuat baik terhadap anak yatim, agar bisa bersama di surga. Bagaimana cara memperlakukan anak yatim secara baik itu? Tentu saja banyak ayat dan hadits berkaitan dengan tanggung jawab orang dewasa terhadap anak yatim tersebut, baik yang langsung berbentuk perintah ataupun yang tidak langsung.
وَيَسْأَلÙونَكَ عَن٠الْيَتَامَى Ù‚Ùلْ Ø¥ÙصْلَاØÙŒ Ù„ÙŽÙ‡Ùمْ خَيْرٌ ÙˆÙŽØ¥Ùنْ تÙخَالÙØ·ÙوهÙمْ ÙÙŽØ¥ÙخْوَانÙÙƒÙمْ وَاللَّه٠يَعْلَم٠الْمÙÙْسÙدَ Ù…ÙÙ†ÙŽ الْمÙصْلÙØ٠وَلَوْ شَاءَ اللَّه٠لَأَعْنَتَكÙمْ Ø¥Ùنَّ اللَّهَ عَزÙيزٌ ØÙŽÙƒÙيمٌ
Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: “Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Qs.2:220
Dalam ayat ini tersirat isyarat bagai mana mengurus anak yatim, antara lain: (a)  إÙصْلَاØÙŒ Ù„ÙŽÙ‡Ùمْ خَيْرٌ (“Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik,) mengurus anak yatim mesti secara baik, penuh perdamaian dan menjaga kedamaian hidupnya, tidak merasa tertekan atau terintimidasi; (b) ÙˆÙŽØ¥Ùنْ تÙخَالÙØ·ÙوهÙمْ ÙÙŽØ¥ÙخْوَانÙÙƒÙمْ  (dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah saudaramu). Memperlakukan mereka seperti pada shahabat atau saudara. Bila tidak ada kaitan nasab anggaplah ada hubungan keturunan, seperti anak asuh, atau anak angkat. Semua itu mesti dimusyawarahkan sesuai kesepakatan seluruh keluarga. (c) وَاللَّه٠يَعْلَم٠الْمÙÙْسÙدَ Ù…ÙÙ†ÙŽ الْمÙصْلÙØÙ Â Â (dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. oleh karena itu jadilah orang yang berbuat baik dalam segala hal, mengadakan perdamaian dan ishlah sesama. Jangan menimbulkan kerusakan pada anak yatim, baik jasmani, ruhani maupun ekonominya. Allah sebagai pengawas yang maha tahu siapa yang berbuat baik, siapa pula yang berbuat jahat. (4) وَلَوْ شَاءَ اللَّه٠لَأَعْنَتَكÙمْ (Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu.) Oleh karena itu jika ingin kemudahan dalam mengurus anak yatim jangan berbuat yang menimbulkan kesulitan pada siapapun ini juga memberi isyarat perintah saling memberikan kemudahan dan keringanan sesama. jangan merusak hak-haknya, dan memberi kemudahan dalam kebaikan. Dalam mengurus anak yatim, tentu saja memunculkan hak dan kewajiban. Hak anak yatim menjadi kewajiban pengasuh. Hak pengasuh menjadi kewajiban bagi anak yatim. Berat atau ringannya hak dan kewajiban masing-masing tergantung kesepakatan bersama. Oleh karena itu hendaklah semua fihak meringankan, hak dan kewajiban satu sama lain. (5) Ø¥Ùنَّ اللَّهَ عَزÙيزٌ ØÙŽÙƒÙيمٌ (Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana). Yakini bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala maha perkasa dan maha bijaksana. Dengan demikian semua fihak merasa berada pada pengawasan-Nya. Namun sifat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang maha bijaksana itu itu mesti diterapkan kebijakan dalam urusan rumah tangga yang ada yatim di dalamnya. Pada dasarnya setiap umat mesti memuliakan anak yaitim dan jangan menghardil atau menyakiti atau menelantarkannya. Olrang menelantarkan atai tidak memuliakan anak yatim dianggap melanggar hukum syari’ah yang diajarkan. Allah berfirman:
كَلَّا بَلْ لَا تÙكْرÙÙ…Ùونَ الْيَتÙيمَ
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, Qs.89:17
Ayat ini mengecam keras orang yang tidak memuliakan anak yatim.
- وَأَمَّا السَّائÙÙ„ÙŽ Ùَلَا تَنْهَرْ Dan terhadap orang yang minta, maka janganlah kamu menghardiknya.
Kalimat السَّائÙÙ„ÙŽ berasal dari سأل yang berarti meminta, atau orang yang meminta. Sedangkan Ùَلَا تَنْهَرْ berarti menyampaikan perkataan yang keras, sehingga membikin sakit atau tersakiti. Oleh karena itu diartikan menghardik, berkata keras, menyampaikan kalimat yang membikin nuraninya tersakiti. Jiangan menyampaikan perkatan yang menyakitkan mereka walau kita sedang faqir dan tidak hendak memberinya jika mereka meminta. Sampaikanlah pada mereka perkataan yang lemah lembut dan menyenangkan.[20] Jika ada yang meminta sumbangan, tapi kita tidak berkenan memberinya karena pertrimbangan yang lebih baik, maka sampaikan perkataan yang baik. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
ÙˆÙŽØ¥Ùمَّا تÙعْرÙضَنَّ عَنْهÙم٠ابْتÙغَاءَ رَØْمَة٠مÙنْ رَبّÙÙƒÙŽ تَرْجÙوهَا ÙÙŽÙ‚Ùلْ Ù„ÙŽÙ‡Ùمْ قَوْلًا مَيْسÙورًا
Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas. Qs.17:28
- وَأَمَّا بÙÙ†Ùعْمَة٠رَبّÙÙƒÙŽ ÙÙŽØَدّÙثْ Dan terhadap ni’mat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).
Keni’matan yang terbesar yang dianugerahakan pada Rasul utamanya menurut Ibn al-Jauzi adalah Nubuwah atau kenabian, demikian kata jumhur. Sedangkan menurut Mujahid adalah al-Qur`an. Sedangkan menurut Muqatil segala keni’matan yang tidak terhitung jumlahnya.[21] Ini dari pengunci ayat ini memerintahkan agar siapapun yang mendapatkan ni’mat mesti bersykur, yang antara lain dengan mempublikasinyakan pada orang lain. Tegasnya yang perlu disampaikan atau diucapkan pada fihak lain bukanlah kesedihan, tapi justru keni’matan yang didapat. Tasyakkur ni’mat bukan hanya pada keni’amatan yang banyak yang sedikit pun mereka syukur, dan salah satunya adalah menyampaikannya pada halayak yang pantas untuk menerimanya. Rasul SAW bersabda:
مَنْ لَمْ يَشْكÙرْ الْقَلÙيلَ لَمْ يَشْكÙرْ الْكَثÙيرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكÙرْ النَّاسَ لَمْ يَشْكÙرْ اللَّهَ التَّØَدّÙث٠بÙÙ†Ùعْمَة٠اللَّه٠شÙكْرٌ وَتَرْكÙهَا ÙƒÙÙْرٌ وَالْجَمَاعَة٠رَØْمَةٌ وَالْÙÙرْقَة٠عَذَابٌ
Barangsiapa yang tidak mensyukri yang kecil, tidak termasuk syukur yang banyak. Barangsiapa yang tidak syukur pada manusia, tidak bersykur pada Allah. Mengungkapkan keni’matan dari Allah, merupakan salah satu bentuk syukur. Menyembunyikannya termasuk bentuk kufur. Hidup berjamaah mendatangkan rahmat. Hidup berpecah mendatangkan siksa. Hr. Ahmad (w.241).[22]
Berdasar hadits ini, Tasyakur sekurang-kurangnya mencakup
(a) مَنْ لَمْ يَشْكÙرْ الْقَلÙيلَ لَمْ يَشْكÙرْ الْكَثÙيرَ   ; bersyukur atas ni’mat yang banyak maupun yang sedikit. Orang yang tidak bersyukur atas ni’mat yang sedikit, tidak termasuk syukur yang banyhak. Oleh karena itu segala ni’mat mesti disyukuri, baik anugerah yang dirasakan, maupun berupa lepas dari tantangan.
(b) وَمَنْ لَمْ يَشْكÙرْ النَّاسَ لَمْ يَشْكÙرْ اللَّهَ ; barang siapa yang tidak berterima kasih pada sesame manusia, maka belum termasuk syukur pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kita ketahui bahwa keni’matan yang diangerahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu ada yang secara langsung, ada pula melalui perantara manusia. Oleh karena itu syukurnya mesti dua jalur, yaitu pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan pada sesame manusia.
(c) التَّØَدّÙث٠بÙÙ†Ùعْمَة٠اللَّه٠شÙكْرٌ وَتَرْكÙهَا ÙƒÙÙْرٌ; menyampaikan atau mengabarkan keni’matan termasuk ungkapan rasa syukur pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sedangkan menyembunyikan keni’matan, sama dengan tidak bersyukur pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Oleh karena itu banyak bercerita tentang ni’amat yang diterima dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bukan banyak bicara kesedihan, keprihatinan atau kesengsaraan belaka. Dengan bicara keni’matan bukan kesombongan tapi menyampaikan rasa bahagia kepada sesame manusia, karena betapa banyak keni’matan yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
(d) وَالْجَمَاعَة٠رَØْمَةٌ ; berkumpul, kolektif atau berjamaah itu mendapatngkan rahmat. Oleh karena itu sebagai lambbang tasyakur, banyaklah meni’mati secara bersama-sama. Dengan meni’mati suatu keni’matan bersama maka akan merasakannya.
(e) وَالْÙÙرْقَة٠عَذَابٌ ; jangan memisahkan diri atau memencilkan diri sendiri, ketika mendapat ni’mat ataupun mushibat. Dengan banyak menyampaikan keni’matan secara bersama dan tidak bicara kemusibatan, maka akan terbebas dari adzab Ilahi.
Oleh karena itu jika mendapat keni’matan ungkapkanlah pada orang yang layak untuk menerimanya. Jangan menyembunyikan keni’matan, karena thadduts atau membicarakan keni’amat merupakan bagian tari tasyakkur.
- Beberapa Ibrah
- Allah Subhanahu Wa Ta’ala bersumpah dengan waktu dluha yang mulai terang benderang dan waktu malam yang sunyi senyap. Bagi-Nya sumpah dengan apapun merupakan wewenangnya. Makna sumpah tersebut sebagai peringatan pada setiap umat. Dalam setiap waktu terdapat ibadah yang sifatnya ritual maupun social. Shalat di waktu dluha, dan tahajud di waktu malam, merupakan aspek ritual penting.
- dengan ada jeda waktu antara turun ayat ke ayat lainnya, merupkan kebijakan yang diatur Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dia tidak meninggalkan Nabi, tidak pula membencinya, melainkan hanya pengaturan agar difahami isi wahyu dengan seksama dan dida’wah secara optimal.
- Masa depan mesti lebih baik dari masa kini. Allah menjamin bahwa masa depan Nabi Muhammad jauh lebih baik dari masa yang sedang dialaminya saat itu. Kehidupan hari akhirat lebih baik di banding kehidupan dunia. Masa depan di dunia juga mesti lebih baik di banding yang sedang dialami.
- Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menganugerahkan berbagai keni’matan yang cukup banyak kepada Nabi Muhammad. Keni’matan tersebut akan diberikan pula kepada umatnya yang mengikuti jejak langkah beliau. Oleh karena itu jika ingin mendapatkan ni’mat dunia dan akhirat, maka ikutilah sunnahnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan memberikan keridoan kepada umat yang mengikuti sunnah Nabi.
- Siti Khadijah cukup besar peranannya dalam membawa kesuksesan Nabi dalam berjuangan. Khadijah bukan hanya istri setia, tapi juga penyandang dana yang cukup besar. Bisnis beliau juga sangat berhasil di bawah managmen Nabi Muhammad. Keberhasilan keluarga memang cukup besar peranan seorang istri.
- Ni’mat utama yang dianugerahkan pada Nabi Muhammad Shalla Allah alaihi wa Sallam antara lain (a) Allah Subhanahu Wa Ta’ala selalu mendampingi beliau tidak pernah membencinya; (b) masa yang akan datang selalu lebih baik di banding masa silam; (c) keridoan-Nya selalu memuaskan Nabi; (d) ketika dilahirkan dalam keadaan yatim kemudian dianugerahkan keluarga yang menyayangi Nabi; (e) Siti Khadijah, sebagai istri sangat besar membawa keni’matan dan kesuksesan abgi, bukan hnya pribadinya tapi juga dananya yang cukup banyak; (f) ketika lupa atau tidak tahu selalu diberi petunjuk ke jalan yang terang benderang; (g) ketika ditemukan kepfaqiran maka selalu mendapatkan kecukupan.
- Rasul Shalla Allah alaihi wa Sallam dan umatnya dilarang berbuat sewenang-weang terhadap anak yatim dan diperintah untuk sikap baik padanya. Menyantuni anak yatim akan mempermudah masuk surga bersama Nabi Shalla Allah alaihi wa Sallam.
- Selalu bersikap baik dan dilarang menghardik orang yang minta. Apakah mau memberi ataukah tidfak, maka tetaplah berlaku baik dan tidak menghardiknya. Berbuat baik terhadap sesame merupakan bagian dari tasyakkur ni’mat.
- Rasul dan umatnya diperintahkan untuk mengingat ni’mat dan tasyakur. Banyak keni’matan yang mesti ditasyakkuri. Ketika perihatin selalu ada peluang keni’matan. Ketika kekuarangan maka selalu ada jalan kecukupan.
- Tahadduts binn’mah, atau membicarakan keni’matan, merupakan bagian dari rasa syukur atas ni’mat yang dianugerahkan. Oleh karena itu setiap mendapatkan ni’mat sepaututnya dipulblikasikan kepada orang yang tepat.
-=o0o=-
[1] Shahih al-Bukhari, no. 4600
[2] al-Mustadrak, no.3906
[3] al-Mu’jam al-Kanir, XVIII h.143
[4] shahih al-Bukhari, no.1101
[5] shahih Muslim, No.510
[6] al-Jami li Ahkam al-Qur`an, XX h.92
[7] tafsir al-Baghawi, VIII h.454
[8] zad al-Masir, VI h.168
[9] al-Jami li Ahkam, al-Qur`an, XX h.94
[10] Â Zubdat al-Tafsir, h.1492
[11] Ibn al-Jauzi, Zad al-Masir, VI h.168
[12] aysar al-Tafasir, V h.586
[13] tafsir al-Baydlawi, V h.405
[14] Zad al-Masir, VI h.168-169
[15] Zubah al-Tafsir, H.1493
[16] al-Jami li Ahkam, al-Qur`an, XX h.99
[17] Zubah al-Tafsir, h.1493
[18] al-Jami li Ahkam al-Qur`an, XX h.100
[19] Shahih al-Bukhari, V h.2237
[20] tafsir al-Baghawi, VIII h.458
[21] Ibn al-Jauzi, Zad al-Masir, VI h.169
[22] Musnad Ahmad, juz IV h.375