4. BERBISNIS DI MUSIM HAJI BERDASAR ISYARAT QS.2:198

- Fiqih Qs.2:198 tentang Mencari karunia rejeki di bulan haji
- Teks Ayat dan Tarjamahnya
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari `Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy`arilharam. Dan berzikirlah pada Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat... Qs.2:198
- Kaitan dengan ayat sebelumnya
- Ayat 197 menggariskan bahwa ibadah haji itu mesti dilakukan tepat waktu, yaitu pada musimnya. Tidak sah ibadah haji dilakukan pada bulan lain selain musum haji. Namun demikian musim haji bukan berarti mesti dikhususkan ibadah ritual belaka, maka pada ayat 198 ini ditegaskan tidak mengapa untuk mencati nafqah di musim haji.
- Pada ayat 197 diungkap cara manasik haji sejak awal ihram hingga puncaknya. Pada ayat 198 ini dikemukakan tentang apa yang mesti dilakukan pasca puncak ibadah di Arafah.
- Tinjauan Historis
Ibn Abbas menerangkan:
كَانَتْ عُكَاظُ وَمَجَنَّةُ وَذُو الْمَجَازِ أَسْوَاقًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَتَأَثَّمُوا أَنْ يَتَّجِرُوا فِي الْمَوَاسِمِ فَنَزَلَتْ { لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ }فِي مَوَاسِمِ الْحَجِّ
Ukazh, Majannah, dan dzul-Majaz merupakan pusat perdagangan pasar, sejak jaman jahiliyah. Kaum muslimin merasa takut dosa bila berdafang di musim haji, maka turun Qs.2:198 ini. Hr. al-Bukhari.[1]
- Tafsir Kalimat
- لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ Tidak ada dosa bagimu .
Perkataan جُنَاح menurut bahasa berasal dari kata جُنُوح yang berarti المَيْل عَن القصْد menyimpang dari tujuan.[2] Dengan demikian لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ berarti “tidak menyimpang dari apa yang dituju”. Menurut al-Tsa’alibi. perkataan جُنَاحٌ ma’nanya lebih luas dari إثْم (dosa), لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ berma’na tidak menjadi dosa, dan secara hukum, tidak berdampak negative apa pun terhadap kesempurnaan ibadah haji.[3]
- أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْuntuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.
Menurut Mujahid makna kalimat تَبْتَغُوا فَضْلًا ini berma’na bermata pencaharian seperti berniaga atau mencari rejeki dengan cara yang lainnya secara halal.[4] Menurut al-Baydlawi فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ pada ayat ini mengandung arti عطاء ورزقا منه يريد الربح بالتجارة karunia dan rejeki dari-Nya yang mendtangkan keuntungan dengan perniagaan.[5] Seperti dikemukakan di atas, bahwa ayat ini turun dilatarbelakangi pandangan sebagian kaum muslimin yang beranggapan bahwa musim haji itu hanya untuk berdzikir, berdo’a dan menjalani manasik haji. Tidak diperkenankan mencari nafqah, apalagi mendirikan pasar. Al-Qur`an mengizinkan kaum muslimin untuk mencari nafqah di bulan haji. Dengan demikian belanja di musim haji pun boleh saja menghitung atau mempertimbangkan untung rugi, secara ekonomi. Kebolehan berniaga di musim haji berlaku baik bagi yang tidak berhaji, maupun yang sedang berhaji. Ibn Abbas menandaskan bahwa bolehnya berniaga itu juga berlaku baik sebelum ataupun sesudah ihram.[6] Bahkan dalam ayat ini tidak terdapat pengecualian kebolehan berniaga bagi yang sedang berihram.
- فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍMaka apabila kamu telah bertolak dari `Arafah, Perkataan أَفَضْتُمْ berma’na bertolak secara bersamaan meninggalkan suatu tempat berkumpul. Dalam bahasa Arab kalau suatu bejana itu penuh dengan air hingga meluber, disebut فاض الإناء tempat air telah meluber airnya.[7] Bertolak dari Arafah diistilahkan ifadlah, karena keluarnya jamaah secara meluber, bersamaan, berduyun-duyun. Sejarah nama عَرَفَاتٍ yang menurut bahasa berarti mengenal atau pengenalan, mengakui atau pengakuan, sekuarng-kurangnya dari dua peristiwa.[8] Menurut Ali bin Ali Thalib diambil dari pertistiwa Nabi Ibrahim yang mendapat perintah berhaji. Setelah tuntas membangun kembali bait Allah, Nabi Ibrahim dan Isma’il berdoa:
رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Qs.2:128
Ketika sampai di daerah tersebut mendapatkan pedoman manasik yang sempurna, maka dinamakanlah Arafat yang berarti mengenalinya. Nabi Ibrahim dan Isma’il mendapat petunjuk yang jelas dan rinci tentang cara manasik haji termasuk tempat-tempatnya. Menurut al-Dlahak, Adam dan Hawa berpisah cukup lama di muka bumi, meraka saling mencari, akhirnya berjumpa didaerah tersebut hingga saling mengnali lagi secara dekat, maka dinamakan Arafat. Arafat adalah tempat wuquf jamaah haji, sebagai persinggahan pertama untuk berdo’a, berdzikir dan munajat pada Ilahi, yang termasuk rukun haji. Wuquf di Arafah dilaksanakan tanggal 9 Dzul-Hijjah sejak waktu zhuhur hingga terbenam matahari. Setibanya di perbatasan Arafat, diterangkan Jabir bin Abd Allah, Rasul SAW berkhuthbah secara panjang lebar hingga waktu zhuhur tiba, kemudian melakukan hal sebagai berikut:
ثُمَّ أَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ وَلَمْ يُصَلِّ بَيْنَهُمَا شَيْئًا ثُمَّ رَكِبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى أَتَى الْمَوْقِفَ فَجَعَلَ بَطْنَ نَاقَتِهِ الْقَصْوَاءِ إِلَى الصَّخَرَاتِ وَجَعَلَ حَبْلَ الْمُشَاةِ بَيْنَ يَدَيْهِ وَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَلَمْ يَزَلْ وَاقِفًا حَتَّى غَرَبَتْ الشَّمْسُ وَذَهَبَتْ الصُّفْرَةُ قَلِيلًا حَتَّى غَابَ الْقُرْصُ وَأَرْدَفَ أُسَامَةَ خَلْفَهُ وَدَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ شَنَقَ لِلْقَصْوَاءِ الزِّمَامَ حَتَّى إِنَّ رَأْسَهَا لَيُصِيبُ مَوْرِكَ رَحْلِهِ وَيَقُولُ بِيَدِهِ الْيُمْنَى أَيُّهَا النَّاسُ السَّكِينَةَ السَّكِينَةَ كُلَّمَا أَتَى حَبْلًا مِنْ الْحِبَالِ أَرْخَى لَهَا قَلِيلًا حَتَّى تَصْعَدَ حَتَّى أَتَى الْمُزْدَلِفَةَ فَصَلَّى بِهَا الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتَيْنِ وَلَمْ يُسَبِّحْ بَيْنَهُمَا شَيْئًا ثُمَّ اضْطَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى طَلَعَ الْفَجْرُ وَصَلَّى الْفَجْرَ حِينَ تَبَيَّنَ لَهُ الصُّبْحُ بِأَذَانٍ وَإِقَامَةٍ
Sesudah itu adzan, kemudian qamat lalu shalat Zhuhur, kemudian qamat lagi. lalu shalat Ashar tanpa shalat sunat antara keduanya. Sesudah itu beliau meneruskan perjalanan menuju ke tempat wukuf. Sampai di sana dihentikannya unta Qashwa di tempat berbatu-batu dan orang-orang yang berjalan kaki berada di hadapannya. Beliau menghadap ke kiblat dan senantiasa wukuf sampai matahari terbenam dan mega merah hilang. Kemudian beliau teruskan pula perjalanan dengan membonceng Usamah di belakangnya, sedang beliau sendiri memegang kendali. Beliau tarik tali kekang unta Qashwa, sehingga kepalanya hampir menyentuh bantal pelana. Beliau bersabda dengan isyarat tangannya, “Hai orang banyak! Tenang! Tenang!” Tiap-tiap beliau sampai ke pinggang bukit dikendorkannya tali unta sedikit untuk memudahkannya mendaki. Sampai di Muzdalifah beliau shalat Maghrib dan ‘Isya dengan satu kali adzan dan dua qamat, tanpa shalat sunat antara keduanya. Kemudian beliau tidur hingga terbit fajar. Setelah tiba waktu Shubuh, beliau shalat Shubuh dengan satu adzan dan satu qamat. Hr. Muslim, Ibn al-Jarud, Ibn Khuzaimah. [9]
Dengan demikian yang dikerjakan Rasul SAW di Arafat adalah (1) Khuthbah memberikan bimbingan dan penjelasan pada umat tentang berbagai hal, (2) adzan dan iqamah ketika tiba waktunya, (3) wuquf dan berdo’a, berdzikir, (4) waktu meghrib tiba langsung meninggalkan Arafat menuju Muzdalifah. (5) setibanya di Muzdalifah adzan, kemudian iqamah, shalat maghrib tiga raka’at, iqamah lagi kemudian melakukan shalat isya dua rakaat. (6) mabit hingga terbit fajar. (7) adzan shubuh ketika terbit fajar, kemudian iqamah dan melaksanakan shalat shubuh, selanjutnya berdzikir dan berdo’a. maka ditegaskan lanjutan ayat:
- فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِberzikirlah kepada Allah di Masy`arilharam. Ayat ini dengan tegas memerintah untuk berdzikir di al-Masy’ar al-haram yaitu kawasan Muzdalifah. Dzikir, talbiyah dan berdo’a di Mzdalifah yang dilakukan oleh Rasul SAW utamanya setelah shalat shubuh, karena di malam harinya pasca shalat isya langsung istirahat. Perhatikan lanjutan hadits dari Jabir bin Abdillah:
ثُمَّ رَكِبَ الْقَصْوَاءَ حَتَّى أَتَى الْمَشْعَرَ الْحَرَامَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَدَعَاهُ وَكَبَّرَهُ وَهَلَّلَهُ وَوَحَّدَهُ فَلَمْ يَزَلْ وَاقِفًا حَتَّى أَسْفَرَ جِدًّا فَدَفَعَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ
Setelah shalat shubuh Rasul SAW menuju al-Masya’ar al-Haram (suatu tempat di kawasan Muzdalifah), kemudian menghadap qiblat untuk berdo’a, bertakbir, talbiyah, mengiqrarkan kalimah tauhid. Beliau tetap di sana hingga cahaya menguning hamper terang benderang, lalu meninggalkan tempat tersebut sebelum terbit matahari. Hr. Muslim, Ibn al-Jarud, Ibn Khuzaimah. [10]
- وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ Dan berzikirlah pada Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu;
Dalam berbagai ayat dan hadits telah diajarkan bahwa dzikir itu terdiri qawli (lisan), Qalbi (hati), fa’li (tindakan dan perbuatan), dan aqli perenungan. Pada ayat ini ditegaskan bahwa semua yang telah diajarkan mesti diperaktikan. Dzikir qawli adalah mengucapkan kalimah thayibah. Dzkir aqli adalah meluruskan fikiran dan merenung hingga meningkatkan pengetahuan tentang syari’ah Allah dan sunnatullah. Dzkir qalbi meningkatkan kesadaran dan perasaan akan dir sebagai hamba Allah SWT. Dzikir fa’li adalah mengjarakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangannya dengan tindakan dan pengamalan.
- وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat
Pengunci ayat ini memberi isyarat bahwa cara ibadah haji yang diajrkan syari’ah Rasul SAW adalah meluruskan cara yang sempat dilakukan oleh orang jahiliyah yang sesat. Sebelum Rasul SAW diutus, banyak umat manusia yang melakukan ibadah haji, tapi dengan cara yang beraneka ragam. Cara-cara yang tidak sesuai dengan syari’ah adalah cara yang sesat. Pengunci ayat ini sebagai penegasan bahwa yang benar adalah cara yang diperaktikan Rasul SAW dan shahabatnya.
- Beberapa Ibrah
- Kebiasan bangsa Arab yang suka berbisnis di musim haji sempat dipertanyakan hukumnya oleh kaum muslimin, apakah dibolehkan atau dilarang. Ayat ini memberikan penjelasan bahwa berbisnis mencari rejeki sebagai karunia Allah dipersilakan, asalkan jangan menganggu kekhusyuan ibadah.
- Ibadah sepulangnya dari Arafah dalam ibadah haji yang terpenting antara lain (1) Mabit di Muzdalifah, (2) jumrah di Mina, (3) Thawaf ifadlah, (4) Mabit di Mina, (5) menyembelih hadyu dan qurban, (6) bercukur, dan (7) thawaf wada ketika akan meninggalkan Mekah.
- Dzikir tetap dilanjutkan pasca ibadah haji, bahkan memanifestasikannya dalam kehidupan sehari-hari, utamanya menjauhkan diri dari jalan yang sesat dan tetap taat menjalankan syari’ah al-Qur`an dan sunnah Rasul SAW.
-=o0o=-
[1] Shahih al-Bukhari, no.4157
[2] Tafsir al-Maraghi, II h.101
[3] Tafsir al-Tsa’alibi, I h.156
[4] Tafsir Mujahid, I h.103
[5] Tafsir al-Baydlawi, I h.483
[6] Tafsir al-Thabari, II h.282
[7] Ma’ani al-Qur`an, I h.136
[8] Ibn al-Jawzi, Zad al-Masir
[9] Muslim bin hajaj (w.261H)Shahih Muslim, II h.886-892, Ibn al-Jarud (w.307H), al-Munthaqa, I h.123, Ibn Khuzaimah (w.354H), Shahih Ibn Khuzaimah, IX h.253
[10] Muslim bin hajaj (w.261H)Shahih Muslim, II h.886-892, Ibn al-Jarud (w.307H), al-Munthaqa, I h.123, Ibn Khuzaimah (w.354H), Shahih Ibn Khuzaimah, IX h.253