Al-BAQARAH:03 seri 01 – Shalat
02. AL-BAQARAH:03
A.Teks Ayat dan Terjemahnya
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, Qs.2:3
B.Kaitan dengan ayat sebelumnya
1. Ayat sebelumnya menegaskan bahwa Al-Qur`ân itu merupakan (1) kitab (2) tidak ada yang diragukan di dalamnya (3) menjadi petunjuk bagi yang bertaqwa. Tersirat pula pada ayat tersebut bahwa orang bertaqwa itu, adalah yang menjadikan Al-Qur`ân sebagai petunjuk hidupnya. Timbul pertanyaan seperti apakah sifat orang bertaqwa itu? Ayat 3 ini menerangkan sifat orang yang bertaqwa.
2. Dalam surat al-Fatihah, setiap mu`min diajarkan untuk bermohon agar tetap berada pada jalan yang lurus yaitu yang telah ditempuh oleh orang yang mendapat ni’mat Allâh SWT. Ayat berikutnya menerangkan sifat orang yang mendapat ni’mat.
C.Tinjauan Historis
Menurut Ibn Mas’ud (Shahabat, w. 32H), secara historis ayat ini menerangkan sifat orang yang beriman kepada yang ghaib dan mendapat hidayah dengan turunnya Al-Qur`ân .[1]
D.Tafsir Kalimat
1. الَّذِيْن يُؤْمنُون orang-orang yang beriman
Iman adalah kepercayaan penuh yang diyakini dalam hati, diucapkan secara lisan dan dipraktikan dalam perbuatan. Orang berkeyakinan tidak benar, tapi amal dan ucapannya baik, maka termasuk munafiq. Jika dalam hatinya terdapat keyakinan yang tepat, tapi tidak dibuktikan dalam perbuatan, maka termasuk fasiq. Sedangkan orang yang hati, ucap dan perbuatannya menolak aturan Allâh, termasuk kafir.[2] Iman adalah benar dalam keyakinan, benar dalam ucapan, dan benar perbuatan. Beberpa ulama memberikan definisi tentang iman antara lain sebagai berikut:
Menurut al-Qurthubi,
الإيْمَانُ فِي اللُّغَةِ التَّصْدِيْقُ Iman menurut bahasa adalah membenarkan[3].
Al-Marwazi (w.294H), mengatakan:
فَأَصْلُ الإيْمَان هُو التَّصْدِيْق بِاللهِ وَمَا جَاءَ مِنْ عِنْدِه
Asal arti iman adalah membenarkan Allâh SWT dan yang datang dari-Nya.)[4]
Abu al-Qasim Hibat Allâh (w.418) mengartikan iman dengan:
التَّصْدِيْقُ بِالقَلْبِ وَالاقْرَار بِاللِّسَانِ وَالعَمَل بِالجَوَارِح
Membenarkan dengan, hati Iqrar dengan lisan amal dengan raga.[5]
Ditinjau dari sudut derajatnya, kepercayaan terhadap sesuatu, tergantung pada tingakatannya. Tingkatan kepercayaan dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar ini menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan paling tinggi adalah iman, dan tingkat kepercayaan paling rendah adalah kufur. Orang yang tidak percaya seratus persen dinamakan kufur. Orang yang percaya seratus persen dinamakan iman. Al-Qur`ân menyerukan agar iman kepada segala yang datang dari Allâh SWT, dan kufur terhadap yang bertentangan dengan aturan-Nya.
Di bawah iman adalah yaqin, yang terdiri atas: (1)haq al-Yaqin yaitu keyakinan yang dilandasi kebenaran aqal, ilmu pengalaman dan kepercayaan. (2) ‘ayn al-Yaqin, yaitu keyakinan atas dasar kebenaran yang dibuktikan oleh pengalaman. (3) Ilm al-Yaqin yaitu keyakinan yang didasari atas kebenaran ilmiyah, yang dapat dibuktikan berdasar teori keilmuan.
2. بِالْغَيْب iman yang yang ghaib
Syihab al-Din Ahmad (853-915H) berpendapat bahwa Iman kepada yang ghaib adalah membenarkan apa diberitakan Allâh SWT seperti hari kiamat, surga, neraka. Al-Ghaib adalah perkara yang kebenarannya bukan dibuktikan oleh pancaindra melainkan hanya dengan dalil. Ghaib adalah segala sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh pancaindra.[6] Kata Ibn Manzhur, menurut bahasa arti Ghaib adalah segala sesuatu yang tidak nampak dan tidak bisa dijangkau oleh indra manusia.[7]
Al-Rabi bin Anas berpendapat
Iman kepada yang ghaib ialah beriman kepada Allâh, malaikat-Nya, para Rasûl-Nya, hari akhir, surga-Nya, neraka-Nya, pertemuan dengan-Nya, dan hidup sesudah mati, karena semuanya itu ghaib.[8]
Ibn Abbas (3 sH-68 H) menerangkan bahwa iman kepada yang ghaib ialah kepada yang diterangkan dalam Al-Qur`ân tapi tidak dapat dijangkau oleh indera manusia, seperti surga, neraka, shirat, hari timbangan amal, bangkit dari qubur, hari perhitungan. Allâh SWT juga termasuk yang Maha Ghaib.[9]
3. وَيُقِيْمُوْن الصَّلاَة mereka menegakkan shalat.
a. Arti shalat
Menurut Syihab al-Din Ahmad Ibn Hajar al-Asqalani (853H-915H), perkataan الصلاة shalat menurut bahasa, sekurang-kurangnya mengandung empat ma’na: (1) الدُّعاء do’a atau permohonan (2) الترحم rahmat kasih sayang (3) الإسْتِغفَار memohon ampunan atau taubat (4) الدِّيْن agama atau hari pembalasan.[10]
Allâh SWT Shalat kepada hamba-Nya berarti mencurahkan rahmat. Mala`ikat shalat kepada nabi atau umat yang beriman berma’na memohonkan ampun dan mendo’akan. Hamba Allâh shalat kepada Allâh berma’na do’a dan ibadah kepada-Nya. Sedangkan jika perkataan shalat itu diterapkan kepada sesama manusia akan berarti saling mendo’akan. Istilah وَيُقِيْمُوْن الصَّلاَة menegakkan shalat berarti melaksanakannya dengan memenuhi segala aturannya baik ucapan, sikap maupun gerakan disertai penuh kekhusyuan dan memanifestasikan ma’nanya dalam segala aspek kehidupan. Menegakkan shalat mencakup ucap, sikap, dan gerak yang bersifat badaniah sesuai aturan syari’ah disertai ruhaniah khusyu kepada Allâh SWT. Istilah يُقِيْمُ – إقَامة melambangkan kesatuan jasmani dan ruhani dalam melakukan suatu perbuatan.[11]
b.Sejarah shalat
Ibadah shalât telah diperintahkan kepada Rasûl SAW sejak awal kenabian, dengan turunnya wahyu ketiga, yaitu Al-Qur`ân surat al-Muzammil. Shalât yang diperintah oleh ayat tersebut adalah shalât malam.
Shalât lima waktu baru diperintahkan ketika Rasûl SAW mi’raj, yang awalnya lima puluh waktu kemudian menjadi lima waktu. Sedangkan shalât malam, sebagaimana ditegaskan pada Qs.17:78-79, kedudukannya menjadi nâfilah atau tambahan. Dalam riwayat al-Bukhari terdapat hadits yang sangat panjang, Rasûl mengisahkan peristiwa mi’raj dan turun perintah shalât yang asalnya lima puluh waktu, kemudian setelah bertemu Mûsâ (pertemuan gha`ib), dikurangi menjadi lima waktu.[12] Anas bin Malik (10sH-93H), menerangkan:
فُرِضَتْ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَوَاتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِهِ خَمْسِينَ ثُمَّ نُقِصَتْ حَتَّى جُعِلَتْ خَمْسًا ثُمَّ نُودِيَ يَا مُحَمَّدُ إِنَّهُ لَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ وَإِنَّ لَكَ بِهَذِهِ الْخَمْسِ خَمْسِينَ
Shalât difardlukan kepada Nabi SAW pada malam Isra mi’raj sebanyak lima puluh waktu kemudian dikurangi hingga menjadi lima waktu. Kemudian ditandaskan hai Muhammad, tidak ada perubahan ketentuan di sisi-Ku, sesungguhnya lima waktu ini bagimu sederajat dengan lima puluh waktu. Hr. Abd al-Razaq (126H-211H) Ahmad (164H-241H), dan Al-Tirmidzi (209H-279H).[13]
Kapan terjadi Isra mi’raj? Ulama tarikh berbeda pendapat. (1) Menurut al-Thabari, isra mi’raj terjadi pada tahun pertama kenabian. (2) Menurut al-Nawawi dan al-Qurthubi isra mi’raj terjadi pada tahun kelima kenabian. (3) menurut al-Mansurfuri, mi’raj terjadi pada 27 rajab tahun 10 dari kenabian. (4) Ada yang berpendapat mi’raj terjadi pada ramadlan tahun 12 kenabian. (5) ada yang mengatakan bahwa mi’raj terjadi pada empat belas bulan sebelum hijrah, atau bulan Muharram tahun 13 kenabian. (6) ada pula yang berpendapat bahwa isra mi’raj terjadi pada bulan Rabi’ ul-Awal tahun 13 dari kenabian. Al-Mubarakfuri, Guru Besar Universitas Salafiyah India, berpendapat bahwa pendapat kesatu, kedua dan ketiga, sulit dipertanggungjawabkan dasarnya, karena Siti Khadijah wafat pada bulan ramadlan tahun 10 dari kenabian, padahal saat itu belum ada kewajiban shalât lima waktu. Tidak ada ikhtilaf di kalangan ahli sejarah bahwa shalat lima waktu difardlukan ketika peristiwa mi’raj Rasûl SAW. Sedangkan ketiga pendapat terakhir di atas, tidak ditemukan mana yang paling kuat keabsahaannya.[14]
Jumlah raka’at shalât pada awal difardlukan adalah dua raka’at, kemudian setelah hijrah, pengalihan qiblat dari al-Aqsha ke al-Haram Mekah, ada yang empat raka’at (zhuhur, ashar dan ‘isya) ada pula yang tiga raka’at (maghrib). ‘A`isyah a.a menerangkan:
فُرِضَتْ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ هَاجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفُرِضَتْ أَرْبَعًا وَتُرِكَتْ صَلَاةُ السَّفَرِ عَلَى الْأُولَى
Shalât difardlukan awalnya dua raka’at, kemudian Rasûl SAW hijrah, maka difardlukan ada yang empat raka’at. Sedangkan shalât diperjalanan tetap pada ketentuan semula. Hr. Al-Bukhari, dan Muslim.[15]
Dengan demikian ketika Rasûl hijrah dari Mekah pada akhir bulan shafar dan tiba di Madinah tanggal 12 Rabi’ul-Awwal, jumlah rakaat shalat itu masih dua raka’at. Sedangkan perintah shalat jum’at turun waktu transit di Bani Salim, selama perjalanan hijrah antara Quba dan Yatsrib (Madinah).
[1] Al-Suyuthi, al-Dur al-Mantsur, I h.64
[2] Al-Zarqani, Manahil al-Irfan, II h.51
[3] al-Qurthubi (w.671), al-Jami li Ahkam al-Qur`n, jz I h.162
[4] Ta’zhim Qadr al-Shalah, II h.695
[5] I’tiqad ahl-alsunnah, I h.172
[6] al-Tibyan Fi Tafsir Gharib al-Qur`an, I h.54
[7] Ibn al-Manzhur (630-711H), Lisan al-`Arab, I h.654
[8] Ibn Jarir al-Thabari (224H-310H), Jami al-Bayan, I h.101-102
[9] Fairuz Abadi, Tanwir al-miqbas min tafsir Ibn Abbas, h.3
[10] al-Tibyan Fi tafsir Gharib al-Qur`an, I h.54
[11] Mahmud Hijazi, al-tafsir al-Wadlih, I h.i4
[12] Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, (194H-256H) Shahih al-Bukhari, I h.136
[13] Mushannaf Abd al-Razaq, I h.452, Musnad Ahmad, III h.161, Sunan al-Turmudzi, I h.417
[14] Shafiy al-Rahman al-Mubarakfuri, Sirat Rasul Allah SAW, al-Rahiq al-Mahtum (selesai disusun 23-7-1976M), h.150-151
[15] Shahih al-Bukhari, III h.1431, Shahih Muslim, I h.478