AL-BAQARAH:3 seri 02 – Cara Shalat
c.Cara Shalat
Cara ibadah shalat telah ditetapkan oleh Rasûl SAW, baik ucap, sikap maupun gerakannya. Setiap mu`min mesti menegakkan shalat sesuai dengan apa yang diajarkan Rasûl SAW. Malik bin al-Huwairits (w.74H),[1] menerangkan bahwa dia pernah mendampingi Rasûl SAW selama dua puluh satu hari untuk mendapatkan bimbingan dalam segala aspek kehidupan. Tatkala kami ingat kepada keluarga yang ditinggalkan dan merindukannya, beliau bersabda:
ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا أَوْ لَا أَحْفَظُهَا وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
Pulanglah kalian kepada keluarga. Tegakkanlah shakat bersama mereka, berilah mereka pelajaran, perintahlah mereka! Rasûl SAW juga mengingatkan kembali segala hal yang kami telah hafal dan yang belum kami hafal. Beliau juga menandaskan: Shalatlah kalian sperti apa yang kalian lihat ketika aku shalat! Jika waktu shalat telah tiba, hendaknya ada salah seorang di antara kalian yang adzan, kemudian yang paling dewasa hendaklah menjadi imam bagi kalian. Hr. al-Darimi (181H-255H),al-Bukhari (194H-256H), Ibn Khuzaimah (223H-311H).[2]
Adapun cara ibadah shalat berdasar tuntunan Rasûl SAW terlukis pada hadits berikut:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ketika Rasûl SAW sedang duduk di masjid, seorang laki-laki masuk dan melaksanakan Shalat. Laki-laki itu menyampaikan salam, dan Rasûl SAW menjawabnya وَعَلَيْكَ السَّلَامُ فَارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ. Wa alaik al-Salam, ulangilah shalatmu! Kamu belum shalat! Setelah laki-laki itu shalat lagi, Rasûl tetap menyuruhnya lagi shalat hingga dua atau tiga kali. Lalu laki-laki itu berkata: عَلِّمْنِي يَا رَسُولَ اللَّهِ tolong ya Rasûl! ajarkanlah padaku cara shalat yang benar! Kemudian Rasûl SAW bersabada:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغْ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ بِمَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَسْتَوِيَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا
Jika kamu hendak shalat sempurnakanlah wudlu, kemudian menghadaplah ke qiblat, kemudian takbir. Bacalah apa yang mudah dari Al-Qur`ân, ruku’lah hingga tumaninah, berdirilah hingga tegak seimbang, sujudlah hingga tumaninah, bangiunlah dari sujud hingga duduk yang tumaninah. Kemudian lakukan apa yang tersebut tadi itu pada setiap ra’akaat dalam shalat. Hr. Ahmad (164-241H), al-Bukhari (194H-256H), Muslim (206H-261H), Abu Dawud (202-275H), Al-Tirmidzi (209-279), al-Nasa’iy (215-303H).[3]
4. وَمِمَّا رَزَقْنَاهُم sebagian dari apa yang Kami rezekikan pada mereka. Perkataan رَزَقْنَاهُم mencakup segala kekayaan atau harta yang didapat sebagai rezeki dari Allâh SWT, tanpa kecuali hasil usaha, barang temuan, upah kerja, pemberian orang, warisan, peternakan, maupun pertanian.
5. يُنْفِقُوْن mereka infaqkan.
Infaq yang diperintahkan syari’ah ialah membelanjakan harta untuk kepentingan jalan Allâh demi mandapatkan ridla-Nya. Dalam berbagai ayat Al-Qur`ân antara perintah shalat dengan perintah infaq senantiasa berurutan. Shalat sebagai lambang ibadah yang bersifat ritual, kontak langsung antara seorang hamba dengan sang Khaliq. Infaq sebagai lambang ibadah yang bersifat sosial berkaitan dengan kemaslahatan manusia dan kemaslahatan syari’ah al-Islâm., demi mencapai kesejahteraan individu dan masyarakat, di dunia kini dan di akhirat kelak.
Ditinjau dari sudut hukumnya infaq terpuji itu ada yang wajib ada pula yang tathawu atau sunat. Baik yang wajib maupun yang tathawu jumlahnya sangat banyak antara lain sebagaimana tercantum dalam gambar berikut:
Memperhatikan gambar di atas, jelaslah bahwa infaq terpuji itu cukup banyak ragamnya. Pembahasan secara rinci tentang infaq yang beraneka ragam itu akan diungkap secar berangsur dalam pembahasan masing-masing ayatnya. Adapun nilai atau pahala infaq besar kecilnya dipengaruhi oleh nilai keikhlasan, tujuan dan sasaran penggunaannya.
Infaq secara garis besarnya terdiri yang berfungsi sosial langsung sebagai konsumsi manusia, ada pula yang bersifat produktif. Infaq yang berfungsi sosial konsumsi seperti santunan kepada faqir, miskin, kerabat dan yang terlantar. Sedangkan yang bersifat produktif seperti mengeluarkan dana untuk kepentingan jihad di jalan Allâh SWT, pengembangan da’wah, biaya pendidikan, peningkatan kualitas sumber daya umat. Infaq semacam ini disebut قَرْضًا حَسَنًا bagaikan menanam saham atau tabungan yang keuntungannya, balasan pahalanya berlipat ganda, tiada terhingga. Allâh SWT berfirman:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allâh, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allâh), maka Allâh akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allâh menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. Qs.2:245
Berdasar ayat ini infaq fi Sabil Allâh (menegakkan agama Allâh) seperti menanam saham yang hasilnya berlipat-lipat tanpa batas, mendatangkan keuntungan yang tiada terhingga.
Rasûl SAW berasba:
مَنْ أَنْفَقَ نَفَقَةً فَاضِلَةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبِسَبْعِ مِائَةٍ وَمَنْ أَنْفَقَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ عَلَى أَهْلِهِ أَوْ عَادَ مَرِيضًا أَوْ مَازَ أَذًى عَنْ طَرِيقٍ فَهِيَ حَسَنَةٌ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
Barangsiapa yang menginfakan harta di jalan Allâh, nilainya tujuh rastus kali lipat. Barang siapa yang mengeluarkan nafaqah untuk dirinya, atau keluarganya, atau menengok orang sakit, atau untuk menyingkirkan kendala dari jalan, maka termasuk kebaikan yang nilainya sepuluh kali lipat. Hr. Ahmad, al-Bayhaqi.[4]
Berdasar dasar hadits ini, nilai ninfaq itu tidak hanya ditentukan oleh keikhlasan, tapi juga oleh obejk yang menjadi sasaran. Infaq yang sifatnya produktif mengembangkan Agama Allâh bernilai tujuh ratus. Sedangkan infaq yang sifatnya sosial konsumtif, nilainya sepuluh. Jelaslah infaq yang paling tinggi nilainya adalah yang bersifat produktif dalam jihad, menegakkan dan meninggikan agama Allâh al-Islâm, sehingga semakin tandang tiada tandingannya.
E. Beberapa Ibrah
1. Sifat Muttaqin berdasar ayat ini antara lain: (1) beriman kepada yang Ghaib, (2) menegakkan shalat, (3) menginfaqkan sebagian harta.
2. Dalam setiap harta yang dimiliki terdapat harta untuk orang lain yang mesih diserahkan dengan iinfaq, baik untuk kepentingan produktif, maupun konsumtif.
3. Shalat tidak boleh dipisahkan dengan infaq/zakat, karena merupakan satu kesatuan dalam iman.
[1] Shahabat keturunan al-Laytsi, berkedudukan lama di Bashrah. Muridnya antara lain Abu Qilabah, Abu ‘Athiyah, Abd Allah bin al-Walid.
[2] Sunan al-Darimi, I h.318, Shahih al-Bukhari, I h.226, Shahih Ibn Khuzaimah, I h.206
[3] Musnad Ahmad, II h.437, Shahih al-Bukhari, I h.263, Shahih Muslim, I h.298, Sunan Abi Dawud, I h.226, Sunan al-Turmudzi, II h.104, Sunan al-Nasa`iy, II h.124,
[4] Musnad ahmad, I h.195, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, III h.374