TAFSIR AL-NISA : 01 seri 02 – DASAR MEMBANGUN KELUARGA
DASAR-DASAR MEMBANGUN KELUARGA
Kajian tafsir al-Nisa:01 bagian kedua
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
lanjutan tafsir kalimat
5. مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
Perkataan نَفْس cukup banyak artinya, terkadang berarti diri, jiwa, nafsu, individu, bangsa, jenis, ruhani, nyawa dan terkadang berarti psykis. Ulama menafsirkan perkataan nafsin wahidah pada ayat ini, ada yang mengartikan jenis yang satu yaitu unsur tanah. Ada pula yang mengartikan diri yang satu yaitu Adam.[1] Allah menciptakan manusia, memang, dari satu diri yaitu Adam, dan juga dari satu jenis yaitu saripati tanah. Yang berbeda adalah prosesnya. Proses penciptaan Adam berbeda dengan proses penciptaan Hawa. Proses penciptaan Isa berbeda dengan proses penciptaan manusia lain. Dari berbagai kejadian manusia yang diterangkan al-Qur’an, kita dapat menyimpulkan bahwa tidak kurang dari empat macam manusia, ditinjau dari kejadiannya yaitu: (1) Manusia tanpa ayah dan ibu ialah Nabi Adam. (2)Manusia berayah tapi tidak beribu, ialah Hawa. (3) Manusia beribu tanpa ayah yaitu Nabi Isa. (4) Manusia berayah dan beribu yaitu pada umumnya. Itu semua melambangkan bahwa Allah satu-satunya Khaliq yang tiada tandingannya. Tidak ada yang mampu menyamainya satu pun.
6. وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا Dia ciptakan dari nafsin wahidah itu pasangan hidupnya. Perkataan زَوْج kadang-kadang berarti istri, kadang-kadang berarti suami, bahkan berarti jodoh atau pasangan hidup. Jamak dari perkataan زَوج adalah أَزْوَاج . Tidak hanya manusia yang memiliki زَوج melainkan segala makhluq Allah berzauj. Perhatikan firman-Nya:سُبْحَانَ الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ وَمِنْ أَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. Qs.36:36
Berdasar ayat ini, segala makhluq Allah itu mempunyai pasangan, baik manusia, tumbuhan, hewan maupun makhluq lainnya. Sedangkan yang dimaksud زَوجَها jodoh nafsin wahidah, pada ayat yang dibahas (Qs.4:1) ini, menurut al-Baydlawi ialah Siti Hawa yang menjadi istri Nabi Adam.[2]
7. وَبَثَّ مِنْهُمَا Allah mengembangbiakkan dari Adam dan Hawa itu. . رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً terdiri dari laki-laki dan perempuan yang banyak.
Setelah Allah SWT menciptakan Adam, lalu Hawa, kemudian mereka menjadi suami istri, maka berkembanglah turunannya. Bukan hanya Adam berpasangan dengan Hawa, keturunannya pun terdiri dari pria dan wanita yang banyak. Dari berbagai pasangan itulah semakin lama semakin berkembang hingga pertumbuhan manusia semakin meningkat. Entah berapa triliun manusia, telah diciptakan Allah SWT, dari manusia pertama hingga saat ini. Namun harus disadari bahwa semua itu asal mulanya hanya satu diri. Yang satu itu, merupakan ciptaan Allah SWT sebagai bukti kekuatan dan kekuasaan-Nya yang maha Mutlaq dan tidak terbatas.
9. وَاتَّقُوا الله oleh karena itu bertaqwalah kepada Allah! Menurut al-Damaghani, secara kebahasaan pengertian taqwa kepada Allah yang tercantum dalam al-Qur`an berma’na sebagai berikut:
Dengan demikian arti taqwa itu adalah (1) takut seperti yang tercantum pada Qs.22:1, (2) ibadah atau mengabdikan diri pada Allah seperti yang tercantum pada Qs.16:2, (3) disiplin menaatai aturan, seperti pada Qs.2:189, dan (4) tauhid yaitu mengesakan Allah menjauhi syirik, seperti yang tercantum pada Qs.4:1.
Dua kali seruan taqwa tercantum dalam satu ayat ini. Jika yang pertama perintah taqwa dikaitkan dengan kedudukan Allah sebagai Rabb, maka seruan kedua ini ditegaskan nama keagungan dan keperkasaan-Nya; Allah!. Nama Rabb sebagai lambang kasih sayang dan maha pemelihara, sedangkan nama Allah sebagai lambang kegagahan, keagungan, kekuasaan dan keperkasaan. Taqwa yang pertama berkaitan dengan seruan agar manusia pandai menjaga diri dan disiplin menjalankan aturan Allah SWT, serta menggunakan segala ni’matnya untuk kepentingan berbakti dan mengabdi. Taqwa yang kedua ini bermakna pandai menjalin hubungan baik dengan Allah, dan menjauhi perbuatan yang mengganggu keterkaitan dengan-Nya.
10. الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ Yang Nama Allah itu telah biasa kalian gunakan dalam berkomunikasi sesama manusia. Setiap manusia, dalam interaksi sesamanya, tidak akan terlepas dari panggilan Nama Allah. Orang yang percaya atau pun tidak terhadap Tuhan, tak mungkin bisa melepaskan diri dari pengucapan nama-Nya. Nama Allah telah menjadi buah ucap seluruh manusia, sejak manusia pertama hingga akhir zaman.
11. وَالاَرْحَامَ dan jagalah hubungan baik sesama manusia yang mendapat kasih sayang Allah SWT. وَالاَرْحَامَ pada hakikatnya berbunyi واتَّقُوا الارحَام yang berarti pandai-pandailah menjalin hubungan baik dengan sesama manusia, serta pandailah menjaga diri dari sikap, ucap dan perbuatan yang meretakkan hubungan dengannya. Ditinjau dari dusut bahasa perkataan أرحام merupakan bentuk jama dari رَحم yang terkadang berarti jalinan kasih saying, terkadang berma’na rahim ibu tempat janin ketika dikandung. Rasul SAW bersabda: قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : أَنَا اللَّهُ وَأَنَا الرَّحْمَنُ خَلَقْت الرَّحِمَ وَشَقَقْت لَهَا اسْمًا مِنْ اسْمِي ، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْته وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعْته Allah berfirman Aku adalah Allah, Aku adalah al-Rahman, menciptakan rahim yang namanya diambil dari nama-Ku. Barangsiapa yang menyambung tali silaturahim Aku akan menyambungnya, dan barangsiapa yang memutuskannya, maka Aku memutuskan hubungan dengannya. Hr.Ahmad.[3]
Tugas manusia bukan hanya menjalin hubungan baik dengan Allah sebagai Khaliq, tapi juga menjalin hubungan baik dengan sesama makhluq. Manusia tidak mungkin terlepas dari manusia lain. Sesuai dengan namanya, صِلَةُ الرَّحِم shilaturrahim mengandung arti jalinan kasih sayang atau persaudaraan dan kekeluargaan. Pentingnya shilaturrahim, tidak diragukan lagi. Dengan shilaturrahim kaum muslimin bisa menjalin hubungan baik dengan Allah SWT dan dengan sesama makhluq. Hubungan baik kedua jalur tersebut, mewariskan keharmonisan intern dan ekstern makhluq hingga menjadikan alam semesta damai dan terhindar dari malapetaka. Rasul SAW bersabda:
الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُولُ مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللهُ وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللهُ
Dari Aisyah diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda “Ikatan kekeluargaan tergantung di ‘Arsy, dia mengatakan barang siapa yang menghubungkan jalinanku, maka Allah akan menjalin hubungan dengannya. Barang siapa yang memutuskan jalinanku, maka Allah pun akan memutuskan hubungan dengannya”. Hr. Ahmad (164-241H), Muslim (206-261H), al-Bayhaqi (384-458H)[4]
Orang yang mampu shilaturrahim secara baik bakal mendapat keberkahan dalam rezeki dan usianya. Rasul SAW bersabda:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ أَوْ يُنْسَأَ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Anas Bin Malik berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:“Barangsiapa yang menginginkan diperluas rezekinya, dan dipanjangkan usianya, maka hendaklah menjalin shilaturrahim”. Hr. Muslim (206-261H), Abu Daud (202-275H), al-Nasa`iy (215-303H), al-Thabarani (260-360), al-Bayhaqi (384-458H). [5]
Sesuai dengan namanya, صِلَةُ الرَّحِم shilaturrahim mengandung arti jalinan kasih sayang atau persaudaraan dan kekeluargaan.
Untuk mendapatkan kasih sayang, mesti lebih dahulu menyayangi yang lain. Rasul SAW bersabda:إِنَّهُ مَنْ لا يَرْحَمْ لاَ يُرْحَمْ Sesungguhnya barangsiapa yang tidak menyayangi, niscaya tidak akan disayangi . Hr. Ahmad (w.241 H), al-Bukhari (w.256 H), Muslim (w.261 H), Abu Dawud (w.275 H), al-Tirmidzi (w.279H). [6]
Orang yang ingin disayangi Allah SWT mesti menyayangi manusia. Sabdanya:مَنْ لاَ يَرْحَمِ النَّاسَ لاَ يَرْحَمْهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ
Hadits dari Jarir Bin Abdillah menerangkan bahwa Rasulullah SAW bersabda “ Barangsiapa yang tidak menyayangi manusia, maka tidak akan mendapat kasih sayang Allah SWT . Hr. Ahmad (w.241 H), al-Bukhari (w.256 H), Muslim (w.261 H), al-Turmudzi (w.279H), Ibn Hibban (w.354 H).[7]
Hadits ini menunjukkan bahwa Allah SWT hanya menyayangi orang yang menyayangi sesamanya. Orang yang tidak menyayangi manusia tidak akan mendapatkan kasih sayang Allah SWT. Dengan demikian langkah menjalin kasih sayang harus dijadikan hal yang utama dalam shilaturrahim. Adapun kasih sayang tersebut harus dilandasi rahmat Allah SWT. Bukan kasih sayang yang didorong nafsu atau perasaan belaka. Kasih sayang yang dilandasi nafsu, tidak akan abadi. Sedangkan kasih sayang yang dilandasi rahmat Allah akan kekal sepanjang masa. Kasih sayang yang dilandasi rahmat Allah, tidak terhalang oleh perbedaan jabatan, kedudukan, ras, suku ataupun bahasa. Langkah menjalin kasih sayang sesama mu’min berdasar rahmat, yang bakal mendatangkan kasih sayang Allah antara lain tersirat pada firman Allah SWT berikut:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Qs.9:71
Dalam ayat ini tersirat langkah yang ditempuh dalam menjalin kasih sayang sesama mu’min agar mendapat rahmat Allah antara lain: (1) saling menolong, mengayom dan memimpin sesama, (2) amar ma’ruf nahyi munkar, (3) menegakkan shalat, (4) menunaikan zakat, (5) menaati Allah SWT dan Rasul-Nya. Saling tolong sesama mu’min hanyalah dalam kebaikan dan takwa. Orang mu’min tidak boleh menolong sesamanya dalam kema’siatan atau pelanggaran. Allah SWT berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
(tolong menolonglah da;am kebaikan dan taqwa. Jangan saling bantu dalam perbuatan dosa dan pelangaran).Qs.5:2
Amar ma’ruf dan nahyi munkar sesama mu’min, mengandung arti bahwa kasih sayang tidak boleh memberikan kesempatan berma’siat. Inilah perbedaan antara saling menyayangi berdasar nafsu, dengan yang berdasar rahmat. Menegakkan shalat berarti kepemimpinan yang dijalankan juga kepemimpinan shalat, dan menjalin kontak dengan Allah SWT. Manusia tidak boleh putus kontak dengan Allah gara-gara ingin kontak dengan manusia. Menunaikan zakat mencakup pada perbaikan kualitas ekonomi dan kesejahteraan umat, serta memenuhi hak dan kewajiban lainnya yang bersifat materi. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya mengandung konsekuensi agar setiap mu’min patuh atas aturan al-Qur’an dan sunnah dan menolak perintah siapa pun yang bertentangan dengannya. Oleh karena itu tidak ada alasan bagi manusia mentaati perintah ma’siat, walau dengan menolak taat itu mengganggu hubungan. Dengan kata lain jika ada kepentingan sesama manusia tidak sesuai dengan kepentingan Allah, maka yang didahulukan adalah kepentingan Allah dan Rasul-Nya.
12. إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا Sesungguhnya Allah SWT menjadi pengawas kalian. Allah SWT senantiasa mengawasi segala getaran jiwa, ucapan, sikap maupun perbuatan manusia, baik yang berhubungan dengan Allah, dengan sesama manusia, maupun dengan makhluq lainnya. Segalanya tidak akan terlepas dari pengawasan Allah SWT, yang menjangkau segala rahasia langit dan bumi serta isinya. Oleh karena itu tak sepatutnya manusia berbuat sewenang-wenang dalam menggunakan fasilitas yang disediakan Allah SWT.
bersambung ke seri 03
[1] Tafsir al-Thabari, IV h.224
[2] Tafsir al-Baydlawi, II h.138, Ibn katsir, IV h.218,
[3] Musnad Ahmad, II h.498
[4] Musnad Ahmad, II h.163, Shahih Muslim, IV h.1981, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, VII h.27
[5] Shahih al-Bukhari, II h.728, Shahih Muslim, IV h.1982, Sunan Abi Daud, II h.132, Sunan al-Nasa`iy, VI h.438, al-Mu’jam al-Awsath, V h.382, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, VII h.27
[6] Musnad Ahmad, II h.241, Shahih al-Bukhari, V h.2239, Shahih Muslim, VI h.1808, Sunan Abi Dawud, IV h.355, Sunan al-Turmudzi, IV h.318
[7] Musnad Ahmad, IV h.358, Shahih al-Bukhari, VI h.2686, Shahih Muslim, VI h.1809, Sunan al-Tirmidzi, IV h.323, Shahih Ibn Hibban, II h.211