TAFSIR AL-NISA:01 seri 03 – DASAR MEMBANGUN KELUARGA
DASAR-DASAR MEMBANGUN KELUARGA
(Kajian surat al-Nisa:01 bagian ketiga)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. Qs.4:1
Prinsip Dasar Membangun Keluarga berdasar Qs.4:1
1. Menjadikan Taqwa Sebagai fondasi keluarga
Seruan taqwa pada ayat ini, tercantum hingga tiga kali yaitu:
a. إِتَّقُوْا ربَّكُم Bertaqwalah kepada Rabb-Mu. Perintah pertama tentang taqwa ini disambungkan dengan nama Allah sebagai Rabb, yang melambangkan pemelihara, pengasuh, penyantun, pengatur dan pemberi rezeki. Oleh karena itu taqwa di sini dapat diartikan taat dan patuh pada aturan, serta kemampuan menggunakan fasilitas untuk beribadah kepada Allah SWT. Dengan kata lain, taqwa yang pertama ini berkaitan dengan tanggung jawab manusia sebagai khalifah, yaitu pemegang mandat menggunakan ciptaan Allah SWT.
b. إِتَّقُوا الله Taqwalah kepada Allah!
Perintah taqwa yang dikaitkan dengan nama Allah, melambangkan keagungan, kegagahan, keperkasaan-Nya. Taqwa pada لَفْظُ الْجَلاَلَة mengandung arti taat beribadah kepada-Nya, menjaga hubungan baik, serta menjauhi hal-hal yang mengganggu komunikasi dengan Allah SWT. Dengan kata lain taqwa di sini, bertanggung jawab manusia sebagai abdullah atau hamba Allah SWT.
c. إِتَّقُوْا الأَرْحَام walau pada teksnya tidak dizhahirkan, tapi maknanya demikian. Taqwa di sini berarti menjaga hubungan baik dengan sesama manusia. Dengan demikian taqwa di sini sebagai manifestasi tanggung jawab manusia sebagai pengemban amanah, yang selalu berinteraksi sesamanya. Membangunan keluarga, tak mungkin bisa berdiri kokoh jika fondasinya kurang kuat. Oleh karena itu keutuhan dan kekokohan keluarga sangat dipengaruhi oleh kuat atau tidaknya landasan taqwa setiap anggota. Allah SWT berfirman:أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ Maka apakah orang-orang yang mendirikan bangunannya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan (Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Qs.9:109. Allah SWT mempertanyakan, bangunan manakah yang lebih kokoh dan kuat, apakah yang berdasar taqwa ataukah yang berdasar ma’siat. Tentu saja bangunan yang berdasar taqwa akan lebih kuat daripada yang berdasar ma’siat.
2. Menjadikan Tauhid sebagai landasan dan prinsip keluarga
Tauhid yang dijadikan prinsip berkeluarga tersirat pada: (1) kalimat إتَّقُوا ربكُم terutama tauhid rububiyah berarti mengesakan Allah SWT dalam hal perbuatan dan peraturan-Nya. Berprinsip tauhid rububiyah menjadikan syari’ah Allah SWT sebagai satu-satunya pedoman berumah tangga. (2) lafazh إتَّقُوا الله yang melambangkan tauhid uluhiyah berarti mengesakan perbuatan manusia hanya untuk Allah, baik dalam ucap, sikap, maupun tindakan, rasa rasio, maupun raga. Berprinsip tauhid uluhiyah berarti segalanya hanya untuk Allah.
3. Mensyukuri ni’mat Allah
Dalam surat An-Nisa ayat pertama ini ditegaskan bahwa Allah itu الَّذِي خَلَقَكُم yang menciptakanmu. Keluarga mesti berkeyakinan bahwa dirinya merupakan ciptaan Allah SWT. Suami berpendirian bahwa istrinya merupakan ciptaan Allah yang mesti disyukuri. Istri pun berpendirian bahwa suami itu merupakan ciptaan dan pemberian Allah SWT yang harus disyukuri. Prinsip tasyakur ialah menerima pemberian Allah apa adanya dan menggunakannya sesuai dengan kehendak pemberi. Kebahagiaan keluarga sangat dipengaruhi oleh kemampuan bersyukur atas ni’mat Allah SWT. Suami akan merasa puas atas keberadaan istrinya, bila ia bersyukur. Istri pun akan merasa puas atas keberadaan suaminya bila ia bersyukur. Sebaliknya bila tidak bersyukur, semua fihak tidak akan merasa puas atas pasangan hidupnya. Firman Allah :
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu kufur (atas ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih“. Qs.14:7
Berdasar ayat ini, dirasakan ni’mat atau tidaknya pemberian Allah SWT sangat tergantung pada sikap penerima. Jika penerima itu bersikap syukur, maka akan meraih keni’matan. Jika penerima itu bersikaf kufur, maka pemberian itu akan menjadi siksaan. Seorang suami yang syukur atas istri, akan meraih keni’matan dan kebahagiaan dengan istrinya. Jika dia kufur, maka istrinya akan menjadi siksaan. Demikian pula istri terhadap suami. Orang tua pada anak, juga sama akan tergantung pada sikap mereka. Jika orang tua merasa syukur atas keberadaan anaknya, maka akan menjadi keni’matan. Jika suami istri itu kufur atas pemberian Allah berupa anak, maka akan menjadi siksaan. Sikap tasyakur dalam kehidupan keluarga sangat penting artinya, dalam meraih bahagia.
4. Saling menyesuaikan diri dan menyerasikan anggota keluarga
Pada Qs.4:1 tersebut ditandaskan مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ bahwa Allah SWT menciptakan manusia dari satu diri. Suami-istri dan anggota keluarga lainnya pun berasal dari satu. Karena asalnya satu, dalam kehidupan berkeluarga harus berusaha menyatukan pandangan, saling menyesuaikan saling menyerasikan. Dalam kehidupan suami istri, walau aslinya sama-sama dari Adam, tapi telah dipengaruhi oleh latar belakang hidup yang berbeda. Mungkin saja suami mengalami pendidikan yang jauh berbeda dengan istrinya. Bisa juga orang tua kedua belah fihak memiliki karakter yang jauh berbeda. Sedangkan penyesuaian dalam pernikahan sangat diperlukan. Untuk itu perlu ada usaha dari kedua belah fihak untuk saling mema’lumi adanya perbedaan di kalangan mereka, dan mencari titik temu. Penyesuaian dan penyerasian anggota keluarga, bukan berarti menyamakan segala-galanya. Hal yang demikian tidak mungkin dilakukan. Yang perlu diusahakan adalah adanya saling pengertian. Dari saling pengertian ini, diharapkan terwujud kerjasama yang serasi, saling mendukung dan saling melengkapi. Kerja sama bukan berarti harus sama-sama kerja. Bukan pula pekerjaannya harus sama atau bekerja bersama-sama. Kerja sama bisa dilakukan dengan pembagian tugas, pengaturan managerial, dan saling bantu guna mewujudkan ketentraman, kebahagiaan, dan kesejahteraan keluarga.
5. Memelihara hak dan kewajiban
Kalimat وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا mengandung makna penetapan bahwa manusia memiliki jodoh berupa suami-istri. Status zauj tersebut harus tetap dipelihara, dan tidak boleh diubah apalagi dirusak, sampai kapan pun. Menjaga status zaujiyah tersebut dengan cara memelihara hak dan tanggung jawabnya masing-masing. Langkah ini tentu saja memerlukan kerjasama kedua belah fihak. Sang istri harus tetap mengakui suaminya sebagai suami dan kepala keluarga. Sang suami pun mengakui bahwa istrinya adalah istri yang dipimpin, bukan sebagai bawahan. Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ الْمَرْأَةَ كَالضِّلَعِ إِذَا ذَهَبْتَ تُقِيمُهَا كَسَرْتَهَا وَإِنْ تَرَكْتَهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيهَا عِوَجٌ Sesungguhnya wanita itu bagaikan tulang rusuk yang rawan, jika anda meluruskannya sekaligus, berarti anda mematahkannya. Jika anda membiarkannya, maka berarti anda menyenanginya yang tetap bengkok. Hr. Bukhari (194-256H), dan Muslim (206-261H)[1].
Perumpamaan istri bagai tulang rusuk, memberi isyarat bagaimana seharusnya sikap suami terhadap istri. Meluruskan istri tak ubahnya meluruskan tulang rusuk yang mudah patah. Jika sekaligus, tanpa kehati-hatian, akan patah. Jika dibiarkan akan tetap berada pada tabi’atnya. Oleh karena itu kepemimpinan suami di dalam keluarga tidak sama dengan kepemimpinan seorang manager di perusahaan, atau kepala di instansi pemerintahan. Suami sebagai pemimpin, tapi bukan atasan. Istri bagi suaminya adalah manusia yang dipimpin tapi bukan bawahan. Dalam kehidupan suami istri tertanam perasaan rahmah atau kasih sayang yang menyatu dengan mawaddah atau gairah cinta.[2] Mawaddah dan rahmah harus tetap dipelihara dan menyatu dalam qalbu kedua insan dengan status suami istri. Istri memiliki hak nafaqah, kepemimpinan, kewibawaan sekaligus kasih sayang dan cinta dari suaminya. Suami memiliki hak memimpin, berwibawa dan pelayanan kasih cinta dari istrinya. Inilah yang dinamakan status zaujiyah.
6. Mewujudkan keturunan Shalih
Kalimat وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً memberikan gambaran bahwa dari pernikahan mesti siap berketurunan. Walau mempunyai keturunan itu bukan kewajiban, tapi jika Allah memberinya, suami istri harus siap menerimanya. Kesiapan yang paling utama adalah mengkader putra dan putri agar menjadi generasi penerus yang shalih dan berkualitas. Allah SWT berfirman: وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang tuanya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo`a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni`mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. Qs.46:15
Dalam ayat ini tersirat (1) tanggaung jawab orang mempersiapkan generasi penerus yang berkualitas dan shalih sejak anaknya belum lahir dengan do’a serta ikhtiar, (2) masa kehamilan dan persusuan hingga tiga puluh bulan, (3) mendidik anak sejak kelahiran hingga berusia empat puluh tahun. (4) anak berkewajiban berbuat baik terhadap orang tua, (5) anak yang sudah berusia empat puluh tahun berkewajiban berterima kasih pada orang tua dengan menanggung kehidupan baik fisik maupun non fisiknya. (6) seluruh anggota keluarga banyak bersyuykur pada Allah menjalin hubungan baik sesema anggota dan selalu bertaubat.
7. Membentengi keluarga dari pengaruh negatif dan penyimpangan
Seruan taqwa yang kedua yang tercantum pada surat an-Nisa ayat pertama ini berbunyi وَاتَّقُو الله. Jika taqwa pada awal ayat ini berarti disiplin menjalankan aturan Allah SWT, taqwa yang kedua berarti pandai menjaga diri dari sikap, tindakan dan perbuatan yang membahayakan. Oleh karena itu langkah yang ketujuh ini adalah menjaga diri dan keluarga dari pengaruh negatif serta menghindari penyimpangan. Pengaruh negatif pada keluarga cukup banyak dan besar pengaruhnya. Jika anggota keluarga kurang memiliki kemampuan memfilter informasi, keutuhannya akan mudah tergoyahkan. (perhatikan pula Qs.49:6-7).
8. Menyinari keluarga dengan Kalimah Thayibah
Dalam lanjutan ayat, ditegaskan bahwa nama Allah itu اَلَّذِي تَسَاءَلُوْنَ بِهِ yang kalian sebut nama Allah itu dalam berinteraksi dan komunikasi sesama manusia. Dengan demikian langkah mewujudkan keluarga bahagia adalah menjadikan nama Allah atau kalimah thayibah sebagai pembasah bibir komunikasi sehari-hari. Dalam kehidupan keluarga kalimah thayibah itu, terus menerus diucapkan, agar jangan sampai menggunakan kalimat yang tidak layak dalam berbicara dan berkomunikasi sesama anggota. Rumah tangga mesti selalu disinari kalimah thayibah. Rumah tidak hanya membutuhkan penerangan fisik, tapi juga penerang ruhani. Rasulullah SAW bersabda:مَثَلُ الْبَيْتِ الَّذِي يُذْكَرُ اللَّهُ فِيهِ وَالْبَيْتِ الَّذِي لَا يُذْكَرُ اللَّهُ فِيهِ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ Perumpamaan rumah yang suka disebut nama Allah dengan rumah yang tidak disebut nama Allah di dalamnya, tak ubahnya dengan perumpamaan orang hidup dan mayit. Hr. Bukhari dan Muslim.[3]
Rumah tangga tanpa nama Allah diumpamakan Rasulullah SAW sebagai rumah tangga yang mati, berada dalam gelap gulita. Sedangkan keluarga yang senantiasa menyebut nama Allah, bagaikan orang hidup berada dalam rumah yang terang benderang. Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda:أَمَّا صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي بَيْتِهِ فَنُورٌ فَنَوِّرُوا بُيُوتَكُمْ ُShalat seseorang di rumahnya menjadi cahaya, maka sinarilah rumahmu dengan ibadah tersebut. Hr. ibn Majah.[4]
9.Menjalin silaturrahim
Langkah ini tersirat pada kalimat وَالأرْحَام yang mengandung ma’na وَاتَّقُوْا الأرْحَام jagalah hubungan baik dengan sesama anggota keluarga. Dengan kata lain jauhilah sikap, ucap dan tindakan yang menimbulkan krisis keluarga. Hubungan intern dan eksten keluarga harus selalu dijaga, karena tak mungkin manusia hidup tanpa interaksi dengan manusia lain. Tidak mungkin keluarga bisa terlepas dari hidup bertetangga dan bermasyarakat. Rumah bagaimana pun megahnya, seperti apapun lengkapnya fasilitas, tidak mungkin hidupnya bisa tentram tanpa menjalin hubungan baik dengan tetangga dan kerabat jauh maupun dekat. Oleh karena itu setelah Allah SWT memerintah untuk menjalin hubungan baik dengan-Nya, memerintah menjalin hubungan baik dengan sesama manusia.
10. Menjadikan Allah Sebagai Pengawas
Surat an-Nisa ayat pertama ini dikunci dengan kalimatإِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا Sesungguhnya Allah SWT menjadi pengawas kalian.
Dengan demikian keluarga, terutama suami istri harus berkeyakinan bahwa mereka itu tidak terlepas dari pengawasan Allah SWT. Karena Allah SWT sebagai pengawas, maka seluruh anggota bakal berhati-hati dalam bertindak. Tidak mungkin terjadi perselingkuhan di antara mereka, karena merasa tidak terlepas dari pengawasan Allah. Mereka bukan disebabkan saling mengawasi, tapi karena pengawasan Allah SWT sangat mereka sadari. Dengan pandangan semacam ini suami istri akan saling percaya. Semoga Allah SWT memberikan bimbingan kepada kita dalam mewujudkan keluarga yang bahagia, sakinah, mawaddah, rahmah, agamis, harmonis, dan romantis. Amin.