03. SHAUM DAN BEBERAPA ASPEKNYA (Qs.2:184)
Bagian ketiga
Ibadah Shaum dan beberapa aspeknya
(kajian tafsir al-baqarah:184)
- Teks ayat 184
Â
أَيَّامًا مَعْدÙودَات٠Ùَمَنْ كَانَ Ù…ÙنْكÙمْ مَرÙيضًا أَوْ عَلَى سَÙَر٠ÙَعÙدَّةٌ Ù…Ùنْ أَيَّام٠أÙخَرَ وَعَلَى الَّذÙينَ ÙŠÙØ·ÙيقÙونَه٠ÙÙدْيَةٌ طَعَام٠مÙسْكÙين٠Ùَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا ÙÙŽÙ‡ÙÙˆÙŽ خَيْرٌ لَه٠وَأَنْ تَصÙومÙوا خَيْرٌ Ù„ÙŽÙƒÙمْ Ø¥Ùنْ ÙƒÙنْتÙمْ تَعْلَمÙونَ
- Tafsir kalimat ayat 184
- Makna Kalimat
- أَيَّامًا مَّعْدÙودَاتÙ
“hari-hari yang telah ditentukan“.
Kalimat ini merupakan keterangan waktu untuk kalimat sebelumnya. Dengan demikian lengkapnya pengertian itu ialah: “Telah difardlukan kepadamu ibadah shaum pada hari-hari yang telah ditetapkan bilangannya“. Yang dimaksud hari-hari yang telah ditentukan ialah: bulan Ramadlan sebagaimana terungkap pada ayat lanjutannya pada ayat 185.[1]
- Ùَمَنْ كَان َمنكم مَرÙيْضًا Ø£ÙŽÙˆ عَلَى سَÙَر٠ÙÙعÙدَّةٌ Ù…Ùنْ أَيَّام٠أÙخَرَ “Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan dan tidak shaum, maka hendaklah menggantinya di hari lain”.
Dalam ayat ini tidak ditemukan batasan sakit atau pun perjalanan. Sakit yang bagaimana yang membolehkan buka. Perjalanan bagaimana dan sejauh mana jaraknya yang membolehkan buka itu. Asy-Syaukani, mengatakan bahwa sakit dikaitkan dengan shaum terdapat dua hal. Jika sakit itu menimbulkan bahaya tatkala memaksakan shaum, maka buka adalah azimah (kemestian). Sedangkan jika shaum tidak membahayakan, melainkan hanya dirasakan masyaqah (dirasakan berat), maka buka itu hanyalah rukhshah (keringanan). Demikian pula kaitannya dengan safar (perjalanan). Bukan jarak yang menentukan boleh atau tidaknya berbuka, melainkan mendatangkan masyaqah ataukah tidak.[2] Menurut al-Qasimi, sakit dan perjalanan yang membolehkan buka shaum adalah yang menimbulkan masyaqah. Artinya, walau agak sehat, tetapi jika diperkirakan bertambah sakit, maka boleh memilih buka dibandiing dengan memaksakan. Buka bagi orang sakit dan dalam perjalanan adalah rukhshah[3]Â Jika seseorang melakukan shaum walau di perjalanan atau dalam keadaan sakit, maka sudah memenuhi kewajiban. Jika mereka berbuka, juga tidak mengapa, asalkan mengqadla di hari lain. [4]Â Umar ibn al-Khathab menerangkan:
غَزَوْنَا مَعَ رَسÙول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ ÙÙÙŠ رَمَضَانَ غَزْوَتَيْن٠يَوْمَ بَدْر٠وَالْÙَتْØÙ ÙÙŽØ£ÙŽÙْطَرْنَا ÙÙيهÙمَا
Kami mengalami perang bersama Rasul SAW di bulan Ramadlan dua kali, yaitu perang Badr dan Perang Fath Makkah, maka kami buka shaum pada kedua peristiwa tersebut. Hr. al-Turmudzi.[5]
Sedangkan pada perjalanan lainnya (bukan pada peperangan), Rasul SAW tetap menjalankan shaum, sebagaimana dikemukakan oleh Abd Allah bin Abi Awfa sebagai berikut.
سÙرْنَا مَعَ رَسÙول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ ÙˆÙŽÙ‡ÙÙˆÙŽ صَائÙÙ…ÙŒ
Kami bepergian bersama Rasul SAW, dan beliau tetap menjalankan shaum. Hr. al-Bukhari[6]
Berdasar kedua hadits ini, batasan perjalanan itu ditentukan oleh tingkat kesulitannya, bukan oleh jaraknya yang ditempuh. Jika mengambil alternatif buka ketika diperjalanan, konsekuensinya mesti qadla di hari lain.
Kapan mengganti atau qadla shaum itu harus dilaksanakan?
Dalam ayat ditegaskan ÙَعÙدَّةٌ Ù…ÙÙ† أيَّام Ø£Ùخَر (qadla di hari lain). Kalimat ini mengisyaratkan tidak ditentukan hari yang mana atau bulan apa, yang penting jumlahnya harus terpenuhi sesuai dengan utangnya.
Sering ditemukan pertanyaan, mana yang paling baik jika sakit atau perjalanan, apakah shaum tepat waktu atau buka untuk qadla di lain waktu. Hamzah Al-Aslami bertanya kepada Rasul SAW mana yang paling baik? Beliau bersabda:
Ø¥Ùنْ Ø´Ùئْتَ ÙَصÙمْ ÙˆÙŽØ¥Ùنْ Ø´Ùئْتَ ÙÙŽØ£ÙŽÙْطÙرْ
Shaumlah jika kau mau, dan buka jika kau mau. Hr. al-Bukhari[7]
Hadits ini mengisyaratkan boleh memilih antara tetap shaum di perjalanan atau berbuka, tergantung kepada kemampuan dan kemauan.
- وَعَلَى الَّذÙيْنَ ÙŠÙØ·ÙيْقÙونَه٠ÙÙدْيَةٌ طَعَام٠مÙسْكÙيْنÙ
“Orang yang tidak mampu shaum hendaklah memberi makan orang miskin. Perkataan ÙŠÙØ·ÙيْقÙونَه٠yang bentuk mashdarnya طَاقَة berarti “bisa shaum tapi repot”. Menurut al-Asfahani, perkataan الطَّاقَة berarti Ù†ÙŽÙْي القÙدْرَة kehilangan kekuatan,[8] atau “sesuatu yang tidak bisa dikerjakan manusia kecuali dengan susah payah.”[9] Perkataan ÙŠÙØ·ÙيْقÙونَه٠, juga mencakup orang-orang yang tidak dimungkinkan untuk qadla, seperti yang sudah lanjut usia, wanita hamil, atau menyusui.
Ibnu Abbas pernah ditanya tentang wanita hamil dan wanita menyusui dalam masalah shaum. Jawabnya, bahwa wanita hamil dan menyusui itu derajatnya sama dengan orang yang sudah lanjut usia. Mereka boleh meninggalkan shaum tapi wajib membayar fidyah yang diserahkan kepada orang miskin.[10]. Jadi ayat ini merupakan keringanan bagi orang yang tidak mampu shaum tepat waktu (di bulan Ramadlan), tidak pula di hari lain (untuk mengqadlanya). Kewajiban mereka untuk menggantinya adalah ÙÙŽÙÙدْ ÙŠÙŽØ©ÙŒ طَعَام Ù…ÙسْكÙيْن  fidyah dengan memberi makan orang miskin.
Ukuran fidyah, menurut Ibnu Abbas, minimal 1/2 (setengah) sha’ dari makanan pokok;[11] 1/2 sha’ adalah + 1,75 liter. Satu hari diganti dengan satu ukuran tersebut. Ulama lain menentukan ukuran fidyah itu berdasar kepada kafarat sumpah, yaitu Ù…Ùنْ أوْسَط٠تÙطْعÙÙ…Ùوْن أهْلÙيْكÙÙ… seukuran dengan yang biasa dimakan sehari.[12]
Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa ayat ini dimansuh oleh ayat berikutnya. Tatkala ayat ini turun, kaum muslimin mempunyai penafsiran yang berbeda. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa shaum itu sebagai takhyir. Artinya kaum muslimin diperbolehkan memilih antara shaum dan fidyah. Untuk menetapkan hukum, maka turun ayat perintah shaum bagi sipapun yang menyaksikan hilal ramadlan.[13]
- Ùَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا ÙÙŽÙ‡ÙÙˆÙŽØ®ÙيْرٌلَّهÙ
“Barangsiapa yang menambah kebaikan, maka kebaikan pula untuknya” Ayat ini masih berkaitan erat dengan masalah fidyah. Artinya, barangsiapa yang menambah fidyah sehingga melebihi ukuran biasa, maka itulah yang lebih baik. Menurut Al-Maraghi,[14] pelaksanaan tathawwu’ (melebihkan ibadah) di sini, antara lain dengan cara: (1) Berfidyah dengan melebihi ukuran semestinya. (2)Â Memberi fidyah kepada satu orang miskin dengan melebihi kebutuhannya. (3) Melaksanakan shaum disertai fidyah.
- وَأَنْ تَصÙومÙوْاخَيْرٌلَكÙمْ
“Shaum adalah lebih baik bagimu” Menurut Asy-Syaukani, ayat ini menunjukan bahwa shaum itu lebih baik dari pada fidyah, sebagaimana telah terungkap hadits-hadits yang begitu banyak menerangkan keutamaan shaum.[15]
- Ø¥Ùنْ ÙƒÙنْتÙمْ تَعْلَمÙونَ*
“Jika kamu mengetahui.” Perkataan تَعْلَمÙونَ “mengetahui” di sini bisa diartikan mengetahui tentang ilmu keagamaan, bisa juga diartikan mengetahui tentang akibat atau keutamaan yang dihadapi. Dengan kata lain, shaum itu lebih baik dilakukan, jika telah diketahui dampaknya. Oleh karena itu jika shaum dipandang tidak membahayakan, walau dalam keadaan sakit atau di perjalanan, maka lebih baik dilakukan daripada fidyah atau qadla. [16]
- Beberapa isyarat al-baqarah:184
- Kalimat أَيَّامًا مَّعْدÙودَات٠yang menetapkan waktu memberi isyarat perintah antara lain: (a) setiap muslim memperhatikan betul perkembangan zaman, baik situasi dan kondisi alam seperti peredaran bulan, untuk mengawali shaum atau penanggalan, matahari untuk mengatur kapan mulai imsak menahan dan kapan buka yang tepat, maupun alam sekitar. (b) ucap, sikap dan tindakan penuh perhitungan, pertimbangan serta menanamkan kedisiplinan, kapan memulai, kapan pula mesti mengkahiri.
- Adanya alternative bagi yang sakit yang tidak memungkinkan shaum sebagaimana diisyaratkan oleh kalimat Ùَمَنْ كَان َمنكم مَرÙيْضًا memberi isyarat antara lain (a) Perintah shaum tepat waktu berlaku bagi yang sehat yang tidak menimbulkan penyakit oleh menahan makan dan minum; (b) Kaum muslimin mesti tetap menjaga kesehatan. Walau ibadah shaum itu wajib dilaksanakan tepat waktu, tapi bila membahayakan kesehatan, maka boleh ditangguhkan. (c) Menjaga kesehatan, mesti diutamakan. Oleh karena itu jangan sampai menderita sakit atau bertambah penyakit gara-gara ibadah shaum. Ibadah shaum yang dilaksanakan mesti yang menyehatkan. (d) Kesehatan fisik dengan psikis mesti seimbang, kesehatan jasmani sama pentingnya dengan kesehatan ruhani. Cara ibadah shaum yang dilaksanakan mesti yang menyehatkan jasmani dan ruhani. (e) pada penggalan ayat ini tidak disebutkan penyakit apa, seberat bagaimana, dan sebab apa yang diberi ruhshah buka shaum dan diganti di hari lain. Tegasnya kalau muslim itu tidak kuat shaum tepat waktu, karena kebetulan terlalu panjang siangnya yang apabila memaksakan diri bikin salatri, bisa pinsan atau sebangsanya, maka bisa diganti waktu lain di hari yang lebih pendek siangnya. Atau kalau memungkinkan ingin tetap shaum, maka memakan suplemen yang bisa memenuhi syarat nutrisi yang dapat memenuhi kebutuhan makan selama duapuluh jam. Shaum bukan harus lapar atau haus, tapi menahan diri dari makan, minum, gaul suami istri sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, serta dari yang mengurangi nilainya..
- Adanya alternative bagi yang menempuh perjalanan yang tidak memungkinkan shaum yang dikawatirkan membahayakan bila tidak makan dan minum di sing hari, sebagaimana diisyaratkan oleh kalimat Ø£ÙŽÙˆ عَلَى سَÙَر٠ÙÙعÙدَّةٌ Ù…Ùنْ أَيَّام٠أÙخَرَ memberikan pelajaran bahwa Ramadlan tidak boleh menghambat apalagi menghentikan aktifitas perjalanan. Selama bulan ramadlan, kaum muslimin tidak hanya duduk bersimpuh di masjid. Aktifitas ekonomi, politik bahkan perang dalam arti yang luas tetap dilaksanakan. Jika ternyata dalam aktitifitas tersebut tidak mampu menahan makan dan minum, maka boleh berbuka dan dig anti di luar ramadlan. Pada jman Rasul SAW pun terbukti bahwa kemenangn perjuangan di bulan ramadlan cukup siginifikan. Buktinya antara lain: (1) Ramadlan tahun pertama Hijrah (Maret 623M), Rasul mengutus Hamzah disertai tiga puluh Muhajirin ke Saif al-Bahr, untuk missi da’wah, (2) di awal shaum yang bertepatan dengan awal disyari’atkannya shaum ramadlan tahun 2 H, kaum muslimin diutus untuk mengambil harta miliknya yang dijual oleh kafilah Abu Sufyan. Dengan demikian aktifitas ekonomi dan menuntut hak tetap dijalankan. (3) tanggal 17 ramadlan tahun 2 Hijri terjadi perang Badar, yang kemenangan gemilang diraih kaum muslimin mengalahkan kaum musyrikin, yang diabadikan dalam Qs.3:123. ÙŽ(4) tanggal 10 ramadlan tahun 8 Hijri, terjadi futuh Mekkah, membebaskan masyarakat mekah dari cengkraman jahiliyah. (5) tahun 8 H pula dilakukan penghancuran berhala yang ada di Ka’bah, sebagai lambang kemenangan gemilang bagi kaum muslimin. (6) akhir ramadlan tahun 8 H, Khalid bin al-Walid menaklukan penuasa Nakhlah dan membebaskan rakyatnya dari kekejaman penguasa serta menghancurkan berhala terbesar yang bernama Uzza. (7) ramadlan tahun 9 Hijri terjadi perang Tabuk. Pemerintahan Romawi mengeahkan100,000 tentara Byzantium dilawan 30 pasukan muslim. Kaum muslimin meraih kemenangan tanpa pertumpahan darah dan dapat membebaskan rakyat Tabuk dari kekejaman kaisar Romawi Tomur. (8) ramadlan tahun 9 H, kota Tha`if dapat ditaklukan, penduduknya dapat dibebaskan dari kekejaman penguasanya, dan masayarakatnya masuk Islam, serta berhala Latta dihancurkan, (9) ramadlan tahun 10 H, tersebarnya Islam ke jazirah Arab lainnya, negri Yaman dikuasai Islam. Dengan demikian selama ramadlan produktifitas da’wah, politik, ekonomi maupun perjuangan meningkatkan kualitas umat tidak boleh terhambat.
- Adanya alternative fidyah bagi yang tidak mampu qodlo dengan memberi makan orang miskin, memberi iyarat bahwa kaum muslimin bukan merasakan bagaimana laparnya miskin tapi memberi solusi agar mereka jangan menderita kelaparan dan kekurangan pangan.
- Penigkatan kebaikan selama ramadlan diperintahkan dengan isyarat ayat Ùَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا ÙÙŽÙ‡ÙÙˆÙŽØ®Ùيْرٌلَّه٠yang kalimat ini berkaitan dengan kalimat sebelumnya yang tidak memisahkan antara ritual dan social. Dengan demikian peningkatan ibadah selama ramadlan tidak hanya dalam urusan spiritual ritual, tapi juga social kemsayarakatan.
- Kalimat وَأَنْ تَصÙومÙوْاخَيْرٌلَكÙمْ memberi isyarat bahwa shaum yang sehat, yang tidak menghambat aktifitas itulah yang terbaik. Oleh karena perioritaskan ibadah shaum tepat waktu dengan menjaga kesehatan jasmani, ruhani dan ekonomi.
- sedangkan pengunci ayat Ø¥Ùنْ ÙƒÙنْتÙمْ تَعْلَمÙونَ memberi isyarat bahwa (1) semua aktifitas ramadlan mesti didasari ilmu, shaum dan ibadah lain dilakukan dengan kecerdasan serta keilmuan. (2) Setiap muslim dituntut meningkatkan kecerdasaran penguasaan terhadap ilmu pengetahun. (3)_pengunci ayat ini mengecam yang merasa puas keawaman dan ketaqlidan. (4) Umat Islam mesti cerdas, berilmu dan tidak taqlid. (5) bulan ramadlan selain dijadikan majelis berdzikir, juga mesti dijadikan majelis berfikir. (6) ibadah mesti didasari kebenaran syari’yah dan pembuktikan ilmiyah, (7) bulan ramadlan merupakan bulan peningkatan aktifitas tadabbur syari’ah dan tafakkur ilmiyah.
Â
-=o0o=-
[1] (al-Qasimi, Mahasin al-Ta’wil, II h.78).
[2] Â (Fathul Qadir, I: 180)
[3] Mahsin al-Ta`wil, III h.78
[4] ( Tafsir Al-Maraghi, II: 71).
[5] Â Sunan al-Turmudzi, no.648
[6] Â Shahih al-Bukhari, no.1820
[7] (Shahih Bukhari, II h.237).
[8] Â al-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat al-Qur`an, h.320
[9] (Ash-Shabuni, 1977, Rawa’iul Bayan, I h. 189).
[10] (al-Syawkani, Fathul Qadir, I h.181)
[11] Tanwir al-Miqbas min tafsir Ibn Abbas, h.25
[12] Â lihat Qs.5:89
[13] lihat ayat berikutnya (Qs.2:185)
[14] Â tafsir al-Maraghi, II h.72
[15] (Fathul Qadir, I h. 181)
[16] (Said Hawa, Al-Asas fi al-Tafsir:Â h.414).