06. Ramadlan bulan ritual dan social keluarga (kajian tafsir al-baqarah:187)
bagian keenam:
Ramadlan bulan ritual dan social keluarga
(kajian tafsir al-baqarah:187)
Â
- Teks Ayat dan Tarjamahnya
Ø£ÙØÙلَّ Ù„ÙŽÙƒÙمْ لَيْلَةَ الصّÙيَام٠الرَّÙَث٠إÙÙ„ÙŽÙ‰ Ù†ÙسَائÙÙƒÙمْ Ù‡Ùنَّ Ù„Ùبَاسٌ Ù„ÙŽÙƒÙمْ وَأَنْتÙمْ Ù„Ùبَاسٌ Ù„ÙŽÙ‡Ùنَّ عَلÙÙ…ÙŽ اللَّه٠أَنَّكÙمْ ÙƒÙنْتÙمْ تَخْتَانÙونَ أَنْÙÙسَكÙمْ Ùَتَابَ عَلَيْكÙمْ وَعَÙَا عَنْكÙمْ Ùَالْآَنَ بَاشÙرÙوهÙنَّ وَابْتَغÙوا مَا كَتَبَ اللَّه٠لَكÙمْ ÙˆÙŽÙƒÙÙ„Ùوا وَاشْرَبÙوا Øَتَّى يَتَبَيَّنَ Ù„ÙŽÙƒÙم٠الْخَيْط٠الْأَبْيَض٠مÙÙ†ÙŽ الْخَيْط٠الْأَسْوَد٠مÙÙ†ÙŽ الْÙَجْر٠ثÙمَّ أَتÙمّÙوا الصّÙيَامَ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ اللَّيْل٠وَلَا تÙبَاشÙرÙوهÙنَّ وَأَنْتÙمْ عَاكÙÙÙونَ ÙÙÙŠ الْمَسَاجÙد٠تÙلْكَ ØÙدÙود٠اللَّه٠Ùَلَا تَقْرَبÙوهَا ÙƒÙŽØ°ÙŽÙ„ÙÙƒÙŽ ÙŠÙبَيّÙن٠اللَّه٠آَيَاتÙÙ‡Ù Ù„Ùلنَّاس٠لَعَلَّهÙمْ يَتَّقÙونَ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma`af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. Qs.2:187
Â
- Tinjauan Historis
- Sabab al-Nuzul
عَنْ الْبَرَاء٠رَضÙÙŠÙŽ اللَّه٠عَنْه٠قَالَ كَانَ أَصْØَاب٠مÙØَمَّد٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ Ø¥Ùذَا كَانَ الرَّجÙل٠صَائÙمًا ÙÙŽØَضَرَ الْإÙÙْطَار٠Ùَنَامَ قَبْلَ أَنْ ÙŠÙÙْطÙرَ لَمْ يَأْكÙلْ لَيْلَتَه٠وَلَا يَوْمَه٠Øَتَّى ÙŠÙمْسÙÙŠÙŽ ÙˆÙŽØ¥Ùنَّ قَيْسَ بْنَ صÙرْمَةَ الْأَنْصَارÙيَّ كَانَ صَائÙمًا Ùَلَمَّا Øَضَرَ الْإÙÙْطَار٠أَتَى امْرَأَتَه٠Ùَقَالَ لَهَا أَعÙنْدَك٠طَعَامٌ قَالَتْ لَا ÙˆÙŽÙ„ÙŽÙƒÙنْ أَنْطَلÙÙ‚Ù ÙَأَطْلÙب٠لَكَ وَكَانَ يَوْمَه٠يَعْمَل٠Ùَغَلَبَتْه٠عَيْنَاه٠Ùَجَاءَتْه٠امْرَأَتÙÙ‡Ù Ùَلَمَّا رَأَتْه٠قَالَتْ خَيْبَةً Ù„ÙŽÙƒÙŽ Ùَلَمَّا انْتَصَÙÙŽ النَّهَار٠غÙØ´ÙÙŠÙŽ عَلَيْه٠ÙÙŽØ°ÙÙƒÙرَ Ø°ÙŽÙ„ÙÙƒÙŽ Ù„ÙلنَّبÙيّ٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ Ùَنَزَلَتْ Ù‡ÙŽØ°Ùه٠الْآيَة٠{ Ø£ÙØÙلَّ Ù„ÙŽÙƒÙمْ لَيْلَةَ الصّÙيَام٠الرَّÙَث٠إÙÙ„ÙŽÙ‰ Ù†ÙسَائÙÙƒÙمْ }ÙÙŽÙَرÙØÙوا بÙهَا ÙَرَØًا شَدÙيدًا وَنَزَلَتْ { ÙˆÙŽÙƒÙÙ„Ùوا وَاشْرَبÙوا Øَتَّى يَتَبَيَّنَ Ù„ÙŽÙƒÙمْ الْخَيْط٠الْأَبْيَض٠مÙنْ الْخَيْط٠الْأَسْوَد٠}
Dari al-Barra, diriwayatkan jika shahabt Rasul SAW melaksanakan ibadah shaum, kemudian tiba waktu maghrib dalam keadaan tidur, sebelum berbuka, maka tidak makan hingga keesokan harinya. Sesungghunya Qais bin Shirmah al-Anshari, pada suatu ketika melakukan shaum dan masa berbuka telah tiba, meka bertanya pada istrinya apakah sudah siap makanan untuk berbuka? Istrinya menjawab, tidak ada, tapi akan saya cari dulu!. Setelah sepanjang hari bekerja, maka waktu maghrib itu merasakan ngantuk hingga tertidur. Ketika isterinya menyediakan makanan, ternyata suaminya telah tidur lelap, maka berkata: Wahai suamku, engkau rugi tidak sempat berbuka! Paginya ia shaum, dan pada tengah hari Qais pingsan. Kejadian tersebut diceritakan kepada Rasul SAW, maka turunlah ayat (Qs.2:187), maka shahabat menyambut gembira dengan amat sangat. Hr.al-Bukhari, al-Tirmidzi,[1]
- Mengubah hukum lama
Ibn jarir al-Thabari meriwayatkan bahwa dalam ajaran terdahulu, bila siang hari shaum, maka malamnya tidak boleh gaul suami istreri. Jika setelah tidur malam hari, maka tidak boleh makan dan minum hingga tiba waktu maghrib. Ayat ini turun sebagai perubahan hukum masa silam.[2]
- Tafsir Sekilas
- Ø£ÙØÙلَّ Ù„ÙŽÙƒÙمْ لَيْلَةَ الصّÙيَام٠الرَّÙَث٠إÙÙ„ÙŽÙ‰ Ù†ÙسَآئÙÙƒÙمْ”Telah dihalalkan bagimu pada malam shiyam bercampur dengan isterimu”. Perkataan Ø£ÙØÙلَّ Ù„ÙŽÙƒÙمْ لَيْلَةَ الصّÙيَام٠mengisyaratkan halalanya di malam shaum, baik ramadlan atau pun shaum lainnya. Perkataan الرَّÙÙŽØ«Ù (Rafats) menurut bahasa berarti perkataan porno yang kemudian menjadi istilah kinayah untuk hubungan suami isteri.[3] Mujahid, sebagaimana dikuti Ibn Jarir mengartikan الرÙØ« pada ayat ini dengan الجÙماع (hubungan suami isteri).[4] Menurut Al-Azhari, perkataan Rafats maknanya mencakup atas kata-kata yang menjurus kepada keinginan seorang laki-laki yang berkaitan dengan isterinya.[5] Sedangkan yang dimaksud dengan malam ialah sejak terbenam matahari sampai terbit fajar. Dalam ayat ini, jelaslah bahwa di malam bulan Ramadlan, kaum muslimin dibolehkan bergaul suami isteri. Setelah turun ayat ini, shahabat banyak yang menggauli isterinya di malam hari sehingga ada yang sampai kesiangan mandi jinabat. Diantara shahabat ada yang merasa ragu tentang shaum orang yang kesiangan mandi jinabat, apakah sah atau tidak. Abu Bakar bin Abdurrahman berkonsultasi kepada Aisyah tentang hal ini. Aisyah menandaskan:
كَانَ النَّبÙيّ٠صَلَّى الله٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ ÙŠÙدْرÙÙƒÙه٠الÙَجْر٠جÙÙ†Ùبًا ÙÙÙ‰ رَمَضَانَ ÙÙÙ‰ غَيْر٠ØÙلم٠ÙَيَغْتَسÙل٠وَيَصÙومÙ.
“Adalah Rasulullah saw pernah kesubuhan (terbit fajar), padahal masih junub bukan karena mimpi (tapi karena jima’), kemudian beliau mandi dan melaksana-kan shaum. HR Bukhari, [6]. Hadits ini menunjukkan bahwa jika terlanjur shubuh tiba, padahal belum mandi jinabat, maka shaumnya sah. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa shaum itu tidak disyaratkan suci dari hadats. Yang disyaratkan suci dari hadats adalah thawaf dan shalat. Dengan penjelasan ini pula suami isteri tidak perlu merasa ragu untuk melakukan jima di malam Ramadlan.
- Ù‡Ùنَّ Ù„Ùبَاسٌ لَّكÙمْ وَأَنْتÙمْ Ù„Ùبَاسٌ لَّهÙنَّ “Dia pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka”. Ayat ini menggambarkan betapa erat keterkaitan antara suami dan isteri. Pakaian yang selalu berkaitan, berfungsi sebagai perlindungan, keindahan, kenyamanan, ketenangan, dan keni’matan. Itulah lambang kehidupan suami isteri. Mereka bersatupadu dalam ikatan pernikahan, satunya sama dengan dua, duanya sama dengan satu. Suami isteri masing-masing diumpamakan pakaian, merupakan perlambangan bahwa diantara mereka saling membutuhkan, saling melengkapi dan saling mengasihi. Ada juga yang berpendapat bahwa لباس merupakan lambang yang mendatangkan ketenteraman, sebagaimana dilukiskan pada Qs.7:189. Disebutkan pula bahwa suami isteri itu bagaikan satu pakaian, karena tatkala mencurahkan kebutuhan biologisnya bersatu, melekat bagaikan pakaian yang dikenakan pada tubuh.[7] Suami isteri satu sama lain bagaikan satu tubuh, saling merasakan baik dalam bahagia atau pun duka. Oleh karena itu tak layak bagi salah satu diantara mereka menganggap dirinya paling dominan dan menyepelekan yang lain.[8] Ungkapan ini juga merupakan qarinah mengapa rafats itu dihalalkan pada malam ramadlan. Ditegaskan bahwa dalam malam shaum, suami istri bagaikan salaing memakai, memberi isyarat bahwa rmadlan, merupakan bulan keluarga. Jangan sampai terjadi, gara-gara terlalu memusatkan ibadah, kepentingan keluarga terabaikan.
- عَلÙÙ…ÙŽ الله٠أَنَّكÙمْ ÙƒÙنْتÙمْ تَخْتَانÙونَ أَنْÙÙسَكÙمْ “Allah mengetahui bahwa kamu tidak mampu menahan nafsu” Di kalangan ahli tafsir, terdapat perbedaan mengartikan ayat ini. Depag RI mengartikan ayat ini dengan “Allah mengetahui bahwa kamu tidak mampu menahan nafsumu“.[9] Menurut Bahctiar, terjemah ayat tersebut adalah “Allah telah mengetahui bahwa kamu telah menyiksa diri karena menahan nafsumu.[10] Sa’id Hawa, mengartikan ayat tersebut dengan:عَلÙÙ…ÙŽ الله٠أَنَّكÙمْ تٌظْلÙÙ…Ùونَهَا بÙالجÙمَاع٠وَالأَكْل٠وَالشّÙرْب٠بَعْدَ العÙشَاء٠أَو بَعْدَ النَّومÙ. “Allah mengetahui bahwa kamu telah menganiaya diri dengan jima’, makan dan minum pada bulan Ramadlan setelah shalat isya atau setelah bangun tidur”.[11] Dikatakan menganiaya diri, karena sebelumnya kaum muslimin melarang jima’ serta makan dan minum setelah tidur. Imam Ahmad, Abu Daud dan Hakim meriwayatkan hadits yang diterima dari Mu’adz Bin Jabal yang menerangkan bahwa pada awal masa Rasulh saw kaum muslimin hanya boleh makan dan minum serta senggama di malam Ramadlan itu sebelum tidur. Jika mereka telah tidur maka dilarang senggama, makan dan minum. Qais Bin Shirmah, dari golongan Anshar, setelah shalat langsung tertidur dan belum sempat makan dan minum, akhirnya waktu siang kepayahan hingga pingsan. Sedangkan Umar Bin Khathab menggauli isterinya setelah bangun tidur, kemudian merasa berdosa dan datang kepada Rasulullah saw, maka turunlah ayat 187.[12] Peristiwa ini menunjukkan bahwa sahabat, tatkala menerima ayat shaum, timbul perbedaan dalam memahaminya. Dengan ayat 187 ini perbedaan pendapat tersebut bisa diatasi dan ditunjukkan mana yang benar.[13] Kalimat عَلÙÙ…ÙŽ الله٠ini juga sebagai penjelasan tentang qarinah dihalalkannya rafats di malam Ramadlan. Allah SWT mengetahui bahwa manusia itu tidak akan mampu menahan kebutuhan biologisnya jika diharamkan siang malam selama bulan Ramadlan. Oleh karena itu Allah SWT hanya mengharamkan jima’ di siang hari, sedangkan malam hari dihalalkan.
- Ùَتَابَ عَلَيْكÙمْ وَعَÙَا عَنْكÙمْ”Allah mengampuni dosamu dan memaafkan kesalahanmu”. Jika ditinjau dari asbabun nuzul yaitu salah faham diantara kaum muslimin, maka ayat ini merupakan Tabsyir bahwa Allah SWT telah mengampuni kesalahfahaman mereka. Perbedaan faham di kalangan sahabat dalam hal ini memang wajar, sebab pada ayat 183 dikatakan bahwa shaum itu diwajibkan sebagaimana atas umat terdahulu. Sedangkan menurut syari’at terdahulu, setiap orang shaum dilarang jima siang maupun malam. Dengan demikian ajaran Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad berbeda dengan yang diturunkan kepada para nabi terdahulu. Adapun yang dimaksud كَمَا ÙƒÙتÙبَ pada ayat yang itu, hanyalah hukumnya. Sedangkan caranya antara shaum syari’ah Nabi Muhammad saw dengan Syari’ah lainnya terdapat perbedaan.
- Ùَلآنَ بَاشÙرÙوهÙنَّ وَابْتَغÙوْا مَاكَتَبَ الله٠لَكÙمْ ÙˆÙŽÙƒÙÙ„ÙوْاوَاشْرَبÙوْا Øَتَّى يَتَبَيَّنَ Ù„ÙŽÙƒÙم٠الخَيْط٠الأَبْيَض٠مÙÙ†ÙŽ الخَيْط٠الأَسْوَد٠مÙÙ†ÙŽ الÙَجْرٔMaka sekarang campurilah isteri-isterimu itu dan pilihlah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu. Makan dan minumlah sehingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam yaitu terbit fajar”.
Ayat ini berbentuk perintah, yang biasanya menunjukkan wajib. Namun menurut jumhur ulama, maknanya tidaklah menunjukkan wajib, melainkan hanya anjuran. Artinya menggauli isteri di malam bulan Ramadlan itu termasuk ibadah. Ada pula ulama yang berpendirian bahwa dengan ayat ini, kaum muslimin disunnahkan makan, minum dan bergaul suami isteri di malam shiyam Ramadlan. Adapun kalimat: Øَتَّى يَتَبَيَّنَ Ù„ÙŽÙƒÙم٠الخَيْط٠الأَبْيَض٠مÙÙ†ÙŽ الخَيْط٠الأَسْوَد٠مÙÙ†ÙŽ الÙَجْر٠“Sampai jelas bagimu benang putih dari benang hitam yaitu terbit fajar” adalah menunjukkan halalnya makan, minum dan jima.
Pada ayat tersebut, disebutkan adanya benang hitam dan benang putih. Di antara shahabat Rasul ada pula yang menafsirkan secara harfiah dengan membentangkan benang hitam dan benang putih untuk mengetahui batas waktu makan dan minum. Namun sebenarnya bukanlah demikian. maksud benang hitam adalah fajar kidzib dan benang putih adalah fajar shiddiq. Dalam hadits Bukhari Muslim diterangkan bahwa di zaman Rasulullah tiap menjelang fajar ada dua muadzin, yaitu Bilal dan Ibnu Ummi Maktum. Bilal Adzan sebelum waktu shubuh tiba, sedangkan ibnu Ummi Maktum adzannya tepat waktu shubuh. Kaum muslimin pada saat itu masih dibolehkan makan dan minum tatkala Bilal Adzan. Jika Ibnu Ummi Maktum adzan, baru mereka berhenti makan dan minum (Al-Asas: 425). Hal ini menunjukkan bahwa awal shaum itu adalah waktu shubuh.
- Ø«Ùمَّ أَتÙمّÙوْا الصّÙيَامَ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ اللَّيْل٠“Kemudian sempurnakanlah shaum sampai tiba waktu malam”.
Ayat ini merupakan penegasan atas wajib shaum sejak terbit fajar hingga terbenam matahari atau maghrib. Dengan demikian makan, minum dan pergaulan suami isteri di waktu malam tidak mengurangi nilai shaum.
- وَلاَ تÙبَاشÙرÙوهÙنَّ وَأَنْتÙمْ عَاكÙÙÙونَ ÙÙÙ‰ المَسَاجÙد٠“Dan janganlah kamu menggauli isterimu dikala kamu i’tikaf di masjid”.
Ayat ini mengandung dua pengertian:
- a) Secara tersurat mengandung arti batasan jima. Artinya kebolehan jima’ di malam Ramadlan itu dibatasi oleh i’tikaf. Dengan demikian jika beri’tikaf kemudian jima’, walau dilakukan di luar masjid, maka batallah i’tikafnya. Ayat ini juga berisi larangan jima’ di masjid.
- b) Secara tersirat ayat ini menunjukkan adanya syari’ah i’tikaf pada bulan Ramadlan. Salah satu syarat i’tikaf adalah dilarang berjima’.
- تÙلْكَ ØÙدÙود٠الله٠Ùَلاَ تَقْرَبÙوهَا “Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekati untuk melanggarnya. Ketentuan-ketentuan tersebut berupa perintah dan larangan, bahkan mencakup atas yang disunnahkan. Larangan mendekati, dan mempunyai makna Ikhtiati atau kehati-hatian supaya jangan sampai terlanjur melakukan pelanggaran. Larangan-larangan dalam Al-qur’an biasanya berbentuk pencegahan untuk mendekati, sebab kalau sudah dekat, sulit untuk dikendalikan. [14]
- ÙƒÙØ°ÙŽÙ„ÙÙƒÙŽ ÙŠÙبَيّÙن٠الله٠ءَايَاتÙÙ‡Ù Ù„Ùلنَّاس٠لَعَلَّهÙمْ يَتَّقÙونَ”Itulah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertaqwa”. Maksudnya segala aturan Allah, yang merupakan jalan lurus, baik berupa perintah, larangan, azimah ataupun rukhushahnya, merupakan bukti ayat Allah yang dijalankan kepada manusia untuk ditaati dan diperhatikan. Jika diperhatikan sejak awal, bab shaum itu diawali dengan لَعَلَّكÙمْ تَتَّقÙونَ dan diakhiri dengan لَعَلَّهÙمْ يَتَّقÙونَ agar menjadi manusia taqwa. Hal ini mengandung arti betapa pentingnya ibadah shaum untuk meningkatkan taqwa. Ujung ayat ini merupakan taqrir dan penegasan tentang hukum-hukum yang dijelaskan itu mempunyai tujuan agar yang diseru bisa menjadi manusia yang taqwa. [15] oleh karena itu, shaum yang bernilai adalah yang ditindak lanjuti dengan peningkatan taqwa, mengendalikan diri dari hal-hal yang tidak berguna. Rasul SAW bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزّÙور٠وَالْعَمَلَ بÙÙ‡Ù Ùَلَيْسَ Ù„Ùلَّه٠Øَاجَةٌ ÙÙÙŠ أَنْ يَدَعَ طَعَامَه٠وَشَرَابَهÙ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan kotor, maka tidak ada hajat bagi Allah dalam meninggalkan makan dan minumnya“. HR. Bukhari (w.256H), dan Abu Dawud (w.275H). [16] Penyarah hadits berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Ùَلَيْسَ Ù„Ùلّه٠Øَاجَةٌ tidak ada hajat bagi Allah pada hadits tersebut berarti tidak ada hak menerima pahala dari Allah SWT. Dengan kata lain, orang yang shaumnya tidak membekas pada pengendalian diri dari perbuatan dosa tidak akan mendapat pahala dari Allah SWT.[17]
- Beberapa Isyarat Ayat
- Ramadlan selain bulan shaum, membaca al-Qur`an, berjihad, berinfaq, juga merupakan bulan keluarga, sehingga urusan kehidupan suami istri langsung disebut dalam ayat shaum.
- Dengan lugasnya kalimat Ø£ÙØÙلَّ Ù„ÙŽÙƒÙمْ لَيْلَةَ الصّÙيَام٠الرَّÙَث٠إÙÙ„ÙŽÙ‰ Ù†ÙسَائÙÙƒÙمْ (dihalalkan rafats suami istri di malam hari) pada pangkal ayat, memberi isyarat: (1) Dengan ditegaskan oleh perkataan Ø£ÙØÙلَّ Ù„ÙŽÙƒÙمْ (dihalalkan bagi kalian, artinya tidak boleh diharamkan)bahwa ibadah di bulan ramadlan tidak boleh mengabaikan kebutuhan biologis suami istri. Seorang suami tidak boleh menolak untuk memenuhi kebutuhan biologis istrinya. Seorang istri tidak dibenarkan menolak untuk memenuhi kebutuhan suaminya di malam hari, walau dengan alasan beribadah. (2)penegasan لَيْلَةَ الصّÙيَام٠merupakan batasan bahwa boleh rafats itu hanya di malam hari. (3) kalimat الرَّÙَث٠إÙÙ„ÙŽÙ‰ Ù†ÙسَائÙÙƒÙمْ memberi isyarat keharmonisan suami istri mesti tetap dipelihara. Ibadah spiritual jangan sampai mengabaikan ibadah social. Kesehatan ruhani mesti diimbangi dengan kesehatan jasmani dan biologi. Perhatikan hadits berikut:
عَنْ أَبÙÙŠ الْعَبَّاس٠قَالَ سَمÙعْت٠عَبْد اللَّه٠بْن عَمْرÙÙˆ رَضÙÙŠÙŽ اللَّه٠عَنْهÙمَا قَالَ Ù„ÙÙŠ النَّبÙيّ٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ أَلَمْ Ø£Ùخْبَرْ أَنَّكَ تَقÙوم٠اللَّيْلَ وَتَصÙوم٠النَّهَارَ Ù‚Ùلْت٠إÙنّÙÙŠ Ø£ÙŽÙْعَل٠ذَلÙÙƒÙŽ قَالَ ÙÙŽØ¥Ùنَّكَ Ø¥Ùذَا Ùَعَلْتَ Ø°ÙŽÙ„ÙÙƒÙŽ هَجَمَتْ عَيْنÙÙƒÙŽ ÙˆÙŽÙ†ÙŽÙÙهَتْ Ù†ÙŽÙْسÙÙƒÙŽ ÙˆÙŽØ¥Ùنَّ Ù„ÙÙ†ÙŽÙْسÙÙƒÙŽ Øَقًّا ÙˆÙŽÙ„ÙأَهْلÙÙƒÙŽ Øَقًّا ÙَصÙمْ ÙˆÙŽØ£ÙŽÙْطÙرْ ÙˆÙŽÙ‚Ùمْ وَنَمْ
Dari Abu al-Abbas diriwayatkan bahwa ia mendengar Abd Allah bin Amr berkata: Rasul bersabda padaku: Saya mendapat kabar bahwa anda bangun malam terus terusan dan di siang hari, terusan ibadah shaum? Saya katakan pada beliau: Ya saya bertekad untuk itu! Rasul bersabda: Jika anda melakukan hal tersebut, matamu akan sayu, jiwamu akan lemah. Ingat bahwa nafsumu punya hak,yang mesti dipenuhi, keluargamu juga punya hak yang mesti kamu penuhi. Shaumlah, berbuka lah, dan shalatlah serta tidurlah. Hr. al-Bukhari.[18]. Masih dari Abdullah bin Amr, Rasul bersabda اقْرَإ٠الْقÙرْآنَ ÙÙÙŠ ÙƒÙلّ٠شَهْر٠(bacalah al-Qur`an pada setiap satu bulan), kemudian tatkala diminta tentang berapa paling banyak, maka beliau menandaskan “tiga hari” paling banyak. Hr. al-Bukhari[19]. Dalam riwayat Muslim diterangkan bahwa Ibn Amr mengatakan:
قَالَ Ù„ÙÙŠ رَسÙول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ اقْرَأْ الْقÙرْآنَ ÙÙÙŠ ÙƒÙلّ٠شَهْر٠قَالَ Ù‚Ùلْت٠إÙنّÙÙŠ أَجÙد٠قÙوَّةً قَالَ Ùَاقْرَأْه٠ÙÙÙŠ عÙشْرÙينَ لَيْلَةً قَالَ Ù‚Ùلْت٠إÙنّÙÙŠ أَجÙد٠قÙوَّةً قَالَ Ùَاقْرَأْه٠ÙÙÙŠ سَبْع٠وَلَا تَزÙدْ عَلَى Ø°ÙŽÙ„ÙÙƒÙŽ
Rasul SAW bersabda: Bacalah al-Qur`an dalam setiap satu bulan. Saya berkata:”aku mampu lebih dari itu”? Rasul SAW bersabda:”bacalah dalam dua puluh hari”. Saya berkata lagi: Saya bisa lebih dari itu? Rasul bersabda: “Bacalah dalam tujuh hari, jangan lebih dari itu!. Hr. Muslim.[20]
Hadits ini mengisyaratkan bahwa membaca al-Qur`an cukup menamatkannya dalam satu bulan. Namun kalau masih banyak waktu terluang, maka dalam tiga hari dan tidak boleh lebih dari itu, karena msti membaca dan mengkaji yang lain juga harus ada kegiatan yang lainnya.
- Kalimat Ù‡Ùنَّ Ù„Ùبَاسٌ Ù„ÙŽÙƒÙمْ وَأَنْتÙمْ Ù„Ùبَاسٌ Ù„ÙŽÙ‡Ùنَّ (suami merupakan pakaian bagi istri; dan istri sebagai pakaian bagi suami), memberi isyarat (1) pakaian bila digunakan langsung menempel yang mengambarkan betapa erat dan melekat hubungan suami istri; (2) pakaian mesti berfungsi sebagai pelindung dari bahaya luar, maka suami istri saling melindungi dan menjaga dari dampak negative; (3) pakaian berfungsi sebagai penutup aurat, maka suami istri mesti menjaga kehormatan, jangan sampai membuka aib di sembarang orang; (4) pakaian yang sehat mesti tetap bersih, maka suami istri mesti saling menjaga kesucian dan kebersihan keduanya; (5) pakaian merupakan lambang prestise dan kebanggaan, maka suami istri mesti memeiliki rasa bangga dengan pasangannya dan sekaligus menjaga kewibawaan pasangannya.
- kalimat عَلÙÙ…ÙŽ اللَّه٠أَنَّكÙمْ ÙƒÙنْتÙمْ تَخْتَانÙونَ أَنْÙÙسَكÙمْ (Allah maha tahu tatkala manusia mengkhianati diri dan sesamanya), memberi isyarat (1) jangan menghianati diri, maka jangan sampai berucap bersikap dan bertindak yang membahayakan diri; (2) jiwa dan raga adalah amanat yang mesti dijaga dan bila ada hak orang lain maka mesti dipenuhi; (3) dalam hak individu melekat pula hak orang lain yang mesti dipenuhi, karena semua itu merupakan amanah yang tidak boleh dikhianati.
- Kalimat Ùَتَابَ عَلَيْكÙمْ وَعَÙَا عَنْكÙمْ (Allah menerima taubat dan memafkan), memberi isyarat bahwa (1) kesalahan bisa diampuni bila ditaubati; (2) bulan ramadlan juga bulan bertaubat, maka rajinlah minta ampun, dan menjauhi kesalahan; (3) perbaikan diri mesti terus menerus dilakukan, dan jangan melakukan kesalahan secara berulang.
- Kalimat Ùَالْآنَ بَاشÙرÙوهÙنَّ (silakan bergaul suami istri jangan berjauhan sehingga menghambbat keharmonisan, serta optimislah atas apa yang telah Allah janjikan), memberi isyarat (1) keharmonisan suami istri mesti tetap dipelihara jangan berucap, bersikap dan bertindak yang mengganggu keharmonisan; (2) jika telah tiba waktu yang dihalalkan maka segeralah memenuhi apa yang dihalalkan tidak perlu dihambat. (3) Memenuhi kebutuhan suami istri termasuk ibadah, karena diperintahkan secara langsung
- Kalimat وَابْتَغÙوا مَا كَتَبَ اللَّه٠لَكÙمْ (hendaklah mengusahakan untuk menggapai apa yang telah Allah tetapkan), memberi isyarat bahwa (1) apa yang telah Allah halalkan maka jangan diharamkan; (2) menggapai apa yang telah Allah jaminkan, mesti tetap diusahakan; (3) untuk menggapai apa yang telah dotetapkan Allah itu mesti dengan وَابْتَغÙوا mengusahakan bukan hanya berdo’a. Perhatikan pula Qs.2:202 setelah Allah SWT menyebutkan bahwa manusia ada yang mengharap dunia saja, ada yang mengharap dunia akhirat, ada pula yang mengharap akhirat saja maka DIA tegaskan Ø£ÙولَئÙÙƒÙŽ Ù„ÙŽÙ‡Ùمْ نَصÙيبٌ Ù…Ùمَّا كَسَبÙوا وَاللَّه٠سَرÙيع٠الْØÙسَاب٠Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya. Qs.2:202
- kalimat ÙˆÙŽÙƒÙÙ„Ùوا وَاشْرَبÙوا Øَتَّى يَتَبَيَّنَ Ù„ÙŽÙƒÙم٠الْخَيْط٠الْأَبْيَض٠مÙÙ†ÙŽ الْخَيْط٠الْأَسْوَد٠مÙÙ†ÙŽ الْÙَجْر٠(dipersilakan makan dan minum di malam hari hingga terbit fajar), memberi isyarat (1) waktu malam ibadah shaum dipersilakan memenuhi kebutuhan konsumsi; (2) batas makan dan minum adalah terbit fajar, tidak ada keistimewaan mempercepat sahur dan melambatkan buka; bahkan menyegerakan buka memperlabat sahur adalah lebih baik لَا يَزَال٠النَّاس٠بÙخَيْر٠مَا عَجَّلÙوا الْÙÙطْرَ orang itu akan mendapat kebaikan selama mereka mempercepat buka ketika shaum. Hr. Muslim dan Al-Tirmidzi.[21]. Sahur juga sangat dianjurkan, karena nilai ibadah shaum bukan lapar dan dahaganya tapi menahan makan dan minum di siang hari. Oleh karena itu shaum tidak perlu lapar tidak perlu haus, maka siapkan shaum dengan sahur yang mengandung barokah تَسَØَّرÙوا ÙÙŽØ¥Ùنَّ ÙÙÙŠ السَّØÙور٠بَرَكَةً makanlah di waktu sahur, karena sahur itu mengandung barokah. Hr. al-Bukhari.[22] Hadits ini juga mengandung perintah untuk sahur dengan makanan yang membawa barokah yaitu menambah kebaikan di atas kebaikan atau mengandung maslahat, baik bagi jasmani maupun ruhani.
- Kalimat Ø«Ùمَّ أَتÙمّÙوا الصّÙيَامَ Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ اللَّيْل٠(sempurnakan ibadah dhaum hingga tiba waktu malam), memberi isyarat (1) ibadah shaum mesti dilaksanakan seoptimal mungkin kualitasnya mencapai kesempurnaan; (2) menahan makan dan minum, serta gaul suami istri di siang hari, malamnya dipersilakan, tapi mesti ada dampak pada pembinaan diri sehingga nilainya sempurna. Al-Ghazali (450-505H) memberikan penjelasan tentang langkah-langkah yang harus ditempuh agar mencapai kesempurnaan dalam ibadah shaum, yaitu: (a) Menahan pandangan dari sesuatu yang tercela dan dari hal-hal yang melengahkan diri dari dzikir, (b) Menahan lidah dari omongan yang tidak baik seperti dusta, mengumpat dan mengadudomba, (c) Menahan pendengaran dari hal-hal yang dibenci Allah SWT., (d) Menjaga anggota badan dari berbagai perbuatan dosa dan mengendalikan perut dari makan yang subhat, (e) Menyedikitkan makan waktu buka walaupun makanan yang halal, (f) Hati, pikiran dan perasaan hendaknya senantiasa terkait dengan khauf dan roja’ kepada Allah SWT.[23]
- Kalimat وَلَا تÙبَاشÙرÙوهÙنَّ وَأَنْتÙمْ عَاكÙÙÙونَ ÙÙÙŠ الْمَسَاجÙد٠(janganlah menggauli mereka takala kalian sedang I’tikaf di masjid) memberi isyarat (1) bergaul suami istri di malam shaum dipersialakan, kecuali sedang I’tikaf di masjid. Oleh karena itu, jika akan I’tikaf, baik suami maupun istri mesti pamitan atau musyawarah berdua, jangan sampai hak suami istri tidak dipenuhi tanpa keridoannya. Diriwayatkan dari Aisyah, bahwa Rasul SAW pernah minta izin padanya dengan bersabda يا عائشة ذريني أتعبد الليلة لربي  (wahai A’isyah sudikah dikau mengizinkanku untuk beribadah pada Allah malam ini?) Kemudian Aisyah menjawab والله إني لأØب قربك ØŒ وأØب ما سرك (demi Allah sesungguhnya aku sangat mencintai berada di dekatmu, dan aku sangat senang apa yang engkau senangi). Kemudian Rasul SAW bangun dan melaksanakan ibadah.[24]. hadits ini memberi isyarat bahwa jika seorang suami ingin beribadah semalaman hendaklah atas persetujuan istrinya. Akhlaq Rasul SAW seharusnya dicontoh oleh para suami dan para istri, bila hendak beribadah yang menimbulkan menganggu kesenangan pasangannya. (2) Adanya I’tikaf di bulan ramadlan dengan diisi aktifitas sesuai dengan apa yang dicontohkan di jaman rasul SAW. Timbul pertanyaan kalau selama I’tikaf tidak boleh gaul suami istri, jadi apa saja mengisi kegiatan I’tikaf tersbut? Perhatikan hadits berikut:
- Hadits dari Abu Hurairah, Rasul SAW bersabda:
مَنْ Ù†ÙŽÙَّسَ عَنْ Ù…ÙؤْمÙÙ†Ù ÙƒÙرْبَةً Ù…Ùنْ ÙƒÙرَب٠الدّÙنْيَا Ù†ÙŽÙَّسَ اللَّه٠عَنْه٠كÙرْبَةً Ù…Ùنْ ÙƒÙرَب٠يَوْم٠الْقÙيَامَة٠وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى Ù…ÙعْسÙر٠يَسَّرَ اللَّه٠عَلَيْه٠ÙÙÙŠ الدّÙنْيَا وَالْآخÙرَة٠وَمَنْ سَتَرَ Ù…ÙسْلÙمًا سَتَرَه٠اللَّه٠ÙÙÙŠ الدّÙنْيَا وَالْآخÙرَة٠وَاللَّه٠ÙÙÙŠ عَوْن٠الْعَبْد٠مَا كَانَ الْعَبْد٠ÙÙÙŠ عَوْن٠أَخÙيه٠وَمَنْ سَلَكَ طَرÙيقًا يَلْتَمÙس٠ÙÙيه٠عÙلْمًا سَهَّلَ اللَّه٠لَه٠بÙه٠طَرÙيقًا Ø¥ÙÙ„ÙŽÙ‰ الْجَنَّة٠وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ ÙÙÙŠ بَيْت٠مÙنْ بÙÙŠÙوت٠اللَّه٠يَتْلÙونَ ÙƒÙتَابَ اللَّه٠وَيَتَدَارَسÙونَه٠بَيْنَهÙمْ Ø¥Ùلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهÙمْ السَّكÙينَة٠وَغَشÙيَتْهÙمْ الرَّØْمَة٠وَØÙŽÙَّتْهÙمْ الْمَلَائÙكَة٠وَذَكَرَهÙمْ اللَّه٠ÙÙيمَنْ عÙنْدَه٠وَمَنْ بَطَّأَ بÙه٠عَمَلÙه٠لَمْ ÙŠÙسْرÙعْ بÙه٠نَسَبÙÙ‡Ù
Barangsiapa yang menolong mengatasi kesulitan mu`min di dunia, Allah SWT akan menghilangkan kesusahannya di akhirat. Barangsiapa yang membantu memudahkan orang yang kesulitan, Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan diakhirat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah SWT senantiasa menolong hamba-Nya, selama hamba itu menolong sesamanya. Barangsiapa menempuh jalan mencari ilmu, Allah akan memberikan kemudahan baginya ajalan ke surga. Bila suatu kelompok berkumpul di salah satu rumah Allah, lalu membaca kitab Allah, dan mempelajarinya secara mendalam di antara mereka, Allah SWT akan menurunkan bagi mereka ketentraman dan rahmat yang melimpah. Mereka juga dikerumuni Malaikat, Allah juga menyebut-nyebut kebaikan mereka kepada yang ada di dekat-Nya. Barangsiapa yang lalai beramal, tidak mungkin dapat mencapai derajat yang dimiliki oleh yang tersebut tadi. Hr. Muslim.[25] Dalam hadits ini disatukan kegiatan masjid dengan urusan mu’amalat sesame manusia. Oleh karena itu kegiatan dalam I’tikaf berdasar isyarat hadits ini antara lain (a)membantu orang lain dalam mengatasi kesulitan dan kesusahan; (b)menutupi aib orang lain; (c)menolong yang membutuhkan bantuan; (d)meningkatkan kemampuan dan pemahaman ilmu pengetahuan; (e)membaca kitab Allah; (f) berdiskusi tentang isi al-Qur`an. Dengan demikian hadits ini memberi isyarat bahwa menjemput lailatul-Qadar yang nilainya seribu bulan itu bukan hanya dengan menganggur tapi dengan membikin rencana mengatasi permasalahan umat untuk kemajuan sekitar seribu bulan yang akan datang.
- Abi Sa’id al-Khudri meriwayatkan hadits :
اعْتَكَÙÙŽ رَسÙول٠اللَّه٠صَلَّى اللَّه٠عَلَيْه٠وَسَلَّمَ ÙÙÙŠ الْمَسْجÙد٠ÙَسَمÙعَهÙمْ يَجْهَرÙوا بÙالْقÙرَاءَة٠وَهÙÙˆÙŽ ÙÙÙŠ Ù‚Ùبَّة٠لَه٠ÙÙŽÙƒÙŽØ´ÙŽÙÙŽ السّÙتÙورَ ÙˆÙŽÙƒÙŽØ´ÙŽÙÙŽ وَقَالَ أَلَا ÙƒÙلّÙÙƒÙمْ Ù…Ùنَاج٠رَبَّه٠Ùَلَا ÙŠÙؤْذÙيَنَّ بَعْضÙÙƒÙمْ بَعْضًا وَلَا يَرْÙَعَنَّ بَعْضÙÙƒÙمْ عَلَى بَعْض٠ÙÙÙŠ الْقÙرَاءَة٠أَوْ قَالَ ÙÙÙŠ الصَّلَاةÙ
Rasul SAW beri’tikaf di masjid kemudian mendengar orang membaca al-Qur`an dengan suara nyaring, padahal beliau sedang berada di kemah khusus maka beliau menyingkapkan penutupnya dan bersabda”ingatlah kalian itu sedang munajat kepada Tuhan, maka janganlah yang sebagian menggangu yang lain. Janganlah meninggikan suara di atas yang lain dalam membaca al-Qur`an atau dalam shalat. Hr. Ahmad.[26] Berdasar hadits ini kegiatan I’tikaf terdiri (a) munajat berdzikir berdo’a; (b) membaca al-Qur`an; (c) shalat, yang satu sama lain tidak boleh ada yang merasa terganggu.
- Dalam hadits riwayat Muslim,[27] dari Aisyah diterangkan bahwa ketika Rasul SAW sedang I’tikaf di bulan ramadlan, tiba-tiba ada shahabat yang konsultasi tentang hokum menggauli istri di siang hari ramadlan, kemuian Rasul SAW menyuruihnya untuk mengqadlo selama dua bulan, kalau tidak mampu maka mesti fidyah untuk 60 orang miskin. Dengan demikian selama I’tikaf rasul SAW juga menerima konsultasi umat.
- diriwayatkan oleh Muslim[28] dari Abi Hurairah, ketika Rasul SAW sedang I’tikaf di masjid, ada shahabat yang datang minta dihukum dari perbuatan dosa zina yang dia lakukan. Kemudian Rasul SAW menyelidiki kebenarannya dan menyidangkan dan memutuskannya untuk merajam. Dengan demikian I’tikaf juga diisi kegiatan mengkaji hokum, menyidangkan dan mengadili umat.
- Kalimat تÙلْكَ ØÙدÙود٠اللَّه٠Ùَلَا تَقْرَبÙوهَا (itulah merupakan ketentuan Allah, maka janganlah dekat-dekat pada pelanggaran), memberi isyarat bahwa (1) apa yang diuraikan pada ayat sebelumnya merupakan ketentuan Allah SWT yang mesti ditaati; (2) jangan sekali-kali melanggar aturan, bahkan mendekati pada pelanggaran. (3) ibadah ramadlan mesti mendidik disiplin aturan, baik yang berkaitan dengan kehidupan individual maupun kehidupan social.
- Kalimat ÙƒÙŽØ°ÙŽÙ„ÙÙƒÙŽ ÙŠÙبَيّÙن٠اللَّه٠ءَايَاتÙÙ‡Ù Ù„Ùلنَّاس٠(demikian, Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya bagi manusia), memberi isyarat bahwa semua peraturan merupakan bagian dari ayat Allah yang mesti dijadikan bahan kajian, pelajaran dan dilaksanakan. Utamanya ayat 187 ini menyatukan peraturan shaum, I’tikaf, dengan kehidupan social terutama kehidupan suami istri. Oleh karena itu setiap mu`min dituntut menggunakan kecerdasannya mana yang pantas diutamakan, mana pula yang bisa ditangguhkan. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ada seorang shahabat bertanya kepada Rasul SAW tentang amal yang dicintai Allah SWT, maka beliau bersabda
Ø£ÙŽØَبّ٠النَّاس٠إÙÙ„ÙŽÙ‰ اللَّه٠تَعَالَى أَنْÙَعÙÙ‡Ùمْ Ù„Ùلنَّاس٠, ÙˆÙŽØ£ÙŽØَبّ٠الأَعْمَال٠إÙÙ„ÙŽÙ‰ اللَّه٠تَعَالَى سÙرÙورٌ تÙدْخÙÙ„Ùه٠عَلَى Ù…ÙسْلÙÙ…Ù , أَوْ تَكَشÙÙ٠عَنْه٠كÙرْبَةً , أَوْ تَقْضÙÙŠ عَنْه٠دَيْنًا , أَوْ تَطْرÙد٠عَنْه٠جÙوعًا , وَلأَنْ أَمْشÙÙŠÙŽ مَعَ أَخ٠ÙÙÙŠ Øَاجَة٠أَØَبّ٠إÙلَيَّ Ù…Ùنْ أَنْ أَعْتَكÙÙÙŽ ÙÙÙŠ هَذَا الْمَسْجÙد٠يَعْنÙÙŠ مَسْجÙدَ الْمَدÙينَة٠شَهْرًا
Manusia yang paling dicintai Allah SWT adalah yang paling bermanfaat bagi manusia. Amal yang paling dicintai Allah adalah memberikan kebahagiaan bagi sesame muslim, atau memberikan bantuan mengatasi kesulitan sesamanya, atau membayarkan utang, atau membebaskan sesamanya dari kelaparan, dan bepergian bersama saudaranya dalam memenuhi kebutuhan. Aku lebih mencintai semua itu di banding dengan I’tikaf di masjid ini (masjid nabawi) selama satu bulan. Hr. al-Thabarani, [29]
Hadits ini dinilai oleh ulama Muhaditsin seperti al-Suyuthi dan al-Albani sebagai hadits hasan. Dalam kitab lainnya dinilai sebagai haditsn hasan lighairi, karena walau ada yang dl’aif sanadnya, seperti Abdurrahman bin Qais, tapi dikuatkan oleh sanad yang lainnya. Berdasar hadits ini memberi manfaat, memberi bantuan atau menolong sesame manusia yang membutuhkan pertolongan lebih utama disbanding I’tikaf satu bulan di masjid Nabawi. Kita tahu bahwa I’tikaf itu sangat mulia dan utama, tapi jangan sampai mengabaikan sesame yang membutuhkan bantun. Dengan demikian, ketika mau I’tikaf ataupun ibadah yang sifatnya ritual, utamanya yang hukumnya tidak diwajibkan mesti dipertimbangkan bila ada sesame muslim yang membutuhkan bantuan. Oleh karena itu, seseorang yang tenaganya sangat dibutuhkan oleh halayak ramai, janganlah mengorbankan kepentingan mereka hanya untuk I’tikaf. Itulah mungkin salah satu hikmahnya mengapa Rasul SAW dan shahabatnya tetap aktif kegiatan di lapangan walau bulan ramadlan.
- Kalimat لَعَلَّهÙمْ يَتَّقÙونَ (mudah-mudahan mereka bertaqwa), memberi isyarat bahwa sasaran utama ibadah shaum adalah membentuk manusia taqwa. Setelah pada awal ayat shaum ditegaskan mudah-mudahan kalian taqwa, maka di pengunci ayat ini dengan kata ganti “mereka”. Dengan demikian keberhasilan shaum membentuk taqwa ataukah tidak, sangat tergantung pada upaya yang ditempuh orang mu`min. Perkataan taqwa sering diartikan “menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya”, tapi sebenarnya kalau ditinjau dari sudut hakikat istilahnya jauh lebih luas dari itu. Sebagaimana diuraikan pada kajian ayat sebelumnya taqwa adalah الإÙتÙّقَاء وَالØÙÙْظ٠عÙÙ† عÙقَاب٠الدّÙنْيَا وَالآخÙرَة menjaga diri dari segala hal yang berdampak negative baik dalam kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Orang yang bertaqwa akan melaksanakan yang membawa maslahat, walau tidak ada perintah. Orang yang bertaqwa akan meninggalkan yang mengandung mafsadat, walau tidak dilarang. Dia akan meninggalkan makanan yang kurang baik bagi kesehatan walau tidak diharamkan. Dia juga akan meninggalkan ucap, sikap dan tindakan yang berdampak negative atau membahayakan, walau tidak dilarang. Orang yang bertaqwa akan berbuat yang maslahat walau tidak diwajibkan. Semoga kita semua mampu mengoptimalkan ibadah ramadlan sebaik mungkin dan maqbul. Amin.
-=o0o=-
Â
Â
[1] Shahih al-Bukhari, II h.676, Sunan al-Tirmidzi, V h.210
[2] Ibn Jarir al-Thbari, Tafsir al-Thabari, III h.424
[3] (Al-Qasimi, Mahasin al-Ta`wil, III: 111)
[4] Tafsir al-Thabari, III h.488
[5] (Tafsir Al-Maraghi, II: 77)
[6] Shahih al-Bukhari, II: 234.
[7] Al-baghawi, I h.207
[8] Sa’id Hawab (Al-Asas: 419).
[9] Al-Qur`an dan tarjamahnya, (1981),h.45).
[10] al-Qur`an dan tafsirnya, (1981:27)
[11] Sa’id hawa,(Al-Asas fi al-Tafsir: 420)
[12] Tafsir al-Baghawi, I h.206
[13] (Al-Maraghi, II h. 78).
[14] (Al-Maraghi,II: 80).
[15] (Al-Qasimi, III: 125)
[16] (Shahih Bukhari, II h.228, Sunan Abi Dawud, II h.307) dari Abi Hurairah.
[17] (Ashan’ani, Subul al-salam, II h. 157)
[18] Â shahih al-Bukhari, I h.387
[19] shahih al-Bukhari, no.1842
[20] shahih Muslim, no.1964
[21] shahih muslim, no 1838, sunan al-Tirmidzi, no.635
[22] shahih al-Bukhari, no.1789
[23] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, I h. 235
[24] shahih Ibn Hibban, no.622 dan al-Atsar li al-Thahawi, no.4009
[25] Â Shahih Muslim, IV h.2074
[26] Musnad Ahmad, 11461
[27] shaih Muslim, no.1874
[28] shahih Muslim, 3202
[29] Thabarani, juz XI h.84, nomor 13468, menurut al-Albani hadits hasan (silsilah al-Shahihah, II h.602)